YOGYAKARTA — Suasana pagi di Kotagede, Yogyakarta, pada Kamis (20/6) terasa begitu hangat dan penuh kebersamaan. Ribuan warga memadati masjid-masjid tua yang menjadi ikon kawasan bersejarah ini untuk menunaikan Sholat Idul Adha. Setelah ibadah berlangsung khidmat, tradisi yang tak pernah absen pun dimulai: menyantap lontong sayur bersama keluarga dan kerabat.
Kotagede, sebagai bekas ibu kota Kerajaan Mataram Islam, dikenal bukan hanya karena arsitekturnya yang penuh nilai sejarah, tetapi juga karena tradisi kulinernya yang kuat. Salah satu yang paling dicari usai Sholat Ied adalah lontong sayur khas daerah ini. Perpaduan lontong yang padat, kuah santan gurih, suwiran ayam kampung, telur bacem, hingga sambal krecek pedas, menghadirkan rasa rumahan yang menghangatkan suasana silaturahmi.
Warga dari dalam dan luar Kotagede pun turut serta dalam momen ini. Jalan-jalan sempit dan gang kampung dipenuhi aroma rempah yang menggoda. Banyak pedagang musiman menjajakan lontong sayur di depan rumah atau lapak tenda kecil, lengkap dengan meja kayu sederhana untuk makan bersama. Suasana ini menciptakan nuansa khas lebaran yang akrab dan penuh nostalgia.
Namun tahun ini, ada nuansa baru yang terasa: semangat cinta lingkungan yang mulai tumbuh di tengah tradisi kuliner ini. Beberapa penjual lontong sayur tidak lagi menggunakan plastik sebagai bungkus makanan. Sebagai gantinya, mereka kembali ke cara lama yang kini dianggap lebih bijak: memakai daun pisang dan wadah makan dari rumah.
Bu Yati (47), salah satu penjual lontong sayur di Kampung Alun-Alun, mengaku sudah dua tahun terakhir mencoba mengurangi pemakaian plastik saat jualan. "Awalnya karena ikut pelatihan dari komunitas lingkungan, lama-lama sadar juga, ternyata pakai daun pisang itu bikin masakan lebih enak dan harum," tuturnya sambil melayani pembeli.
Menurutnya, konsumen juga mulai terbiasa dengan perubahan ini. Sebagian besar membawa rantang atau wadah sendiri dari rumah. Selain lebih praktis, mereka juga merasa ikut berkontribusi dalam menjaga lingkungan kampung.
Upaya ini tidak berdiri sendiri. Dukungan juga datang dari kelompok-kelompok lokal seperti Komunitas Resik-Resik Kampung dan Bank Sampah Kotagede, yang sejak seminggu sebelum Idul Adha sudah menyebarkan pamflet bertema “Perayaan Minim Sampah.” Warga diajak untuk ikut menjaga kebersihan dengan membawa alat makan sendiri dan memilah sampah sisa makanan.
"Setiap tahun, setelah salat Ied, kita biasanya lihat banyak sekali sampah plastik berserakan, terutama bungkus makanan. Tahun ini alhamdulillah lebih bersih," kata Pak Rudi, relawan lingkungan yang ikut mengawasi kebersihan kampung usai perayaan. Menurutnya, perubahan ini bisa terjadi karena adanya kesadaran bersama antara pedagang, pembeli, dan warga sekitar.
Pemerintah Kelurahan Kotagede juga turut mengapresiasi inisiatif ini. Dalam sambutannya selepas salat, Lurah Kotagede mengingatkan pentingnya menjaga warisan budaya dan lingkungan secara beriringan. "Idul Adha adalah momen berbagi dan berkurban, bukan hanya untuk sesama, tetapi juga untuk bumi yang kita tinggali," ujarnya.
Tradisi menikmati lontong sayur di pagi Idul Adha memang tampak sederhana, namun di baliknya tersimpan semangat yang luar biasa. Bukan sekadar soal rasa, tetapi juga tentang bagaimana menjaga kebersamaan sambil merawat lingkungan. Di Kotagede, semangat Idul Adha kini tak hanya terlihat dari masjid-masjid yang penuh, tetapi juga dari jalanan yang bersih dan warga yang mulai sadar bahwa bumi pun perlu dirayakan.