Mohon tunggu...
shinta tedjaningsih
shinta tedjaningsih Mohon Tunggu... Lainnya - work at travel industry

Happy wife happy mom likes traveling, hiking, cycling and photograph

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Menggapai Atap Dunia, Everest Base Camp 5365m

23 Juli 2021   22:44 Diperbarui: 24 Juli 2021   21:33 2126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto perjalanan pulang. Dokumentasi pribadi

Tak terbayangkan sebelumnya bahwa kami akan pergi ke Everest walau hanya sekedar sampai ke  Base Camp nya saja. Perencanaan perjalanan dilakukan berbulan-bulan sebelumnya. 

Melatih stamina fisik dan mental, bersepeda naik turun bukit, berenang , lari . dan treadmill  jadi menu sehari hari, selain  persiapan perjalanan : transportasi dan akomodasi juga berbagai persyaratan lainnya seperti ijin-ijin termasuk asuransi. Rencananya kami akan melakukan perjalanan tersebut selama 16 hari, yaitu 12 hari treking ditambah perjalanan Bandung-Kathmandu pulang pergi selama 4 hari.

Kami dibantu oleh lokal agen kami di Kathmandu untuk mempersiapkan segala macam kebutuhan pendakian seperti akomodasi, pengaturan guide, porter, suplai makanan dan ijin ijin yang disiapkan di Kathmandu. 

Dia berulang ulang menyampaikan bahwa trek ini aman. Pertanyaan-pertanyaan tak habis habisnya  mengenai equipment yang harus kami bawa, persiapan fisik , AMS (Accute Moutain Sikcnes)  juga ketinggian yang tidak biasa yang acap jadi momok bagi kami yang notabene tidak akrab dengan daerah ketinggian. Dia menjawab dan memastikan selama kita mengikuti semua arahan darinya, insya allah semua aman.

Everest Base Camp adalah route klasik, tempat tujuan akhir para trekker yang tak punya  keahlian khusus untuk mendaki kecuali mampu berjalan kaki, mental kuat dan "berfoto selfie",  juga tanpa memerlukan peralatan pendakian yang banyak . 

Karena kalau mendaki lebih ke atas lagi dari Base Camp, maka kita akan dicatat sebagai bagian dari "orang-orang gila" sejati yang mencoba menaklukan ego diri, menafikan akal sehat, menembus segala batas-batas kemampuan fisik dan mental manusia  mencapai ujung dunia, titik tertinggi .

Tantangan EBC  adalah "hanya" treking berjarak 65km dari  ketinggian 2790m menuju 5365m, namun turun naik nya ekstrim, jadi  maklum saja kalau trek tersebut  dilakukan dalam kurun waktu 8 hari naik dan 4 hari turun  termasuk 2 hari aklimatisasi. Para operator atau guide tidak pernah mau melalukan lebih singkat dari sini, karena akan sangat membahayakan bagi pendaki jika tidak cukup aklimatisasi.

Nama  Everest diambil dari nama seorang surveyor yang berasal dari Inggris George Everest yang  menemukan dan membuat pengukuran puncak gunung ini ketika beliau melakukan penelitian di India pada kurun waktu 1806-1813.

Sebelumnya hanya dikenal dengan nama Qomolangma yaitu sapaan sang gunung bagi penduduk di sisi utara ( Tibet side )  yang berarti "ibu semesta" dan Sagarmatha yang berarti "dahi semesta " yaitu  nama yang diberikan kepada gunung ini oleh penduduk di daerah Selatan ( Nepal side )

Kami berangkat dari Bandung  menggunakan Malindo Air melalui  Kuala Lumpur  dan tiba di  Kathmandu malam hari. Setiba di bandara Tribhuwana aura pendakian sudah terasa melihat banyaknya antrian pendatang dengan gaya casual dan menggendong ransel, 

Kami harus mengurus visa on arrival dengan  beberapa opsi tentang pembayaran mulai dari yang 7 hari, 15 hari, sebulan dan lain lain. Kami membayar visa USD 25 untuk 15 hari, memang pas pasan untuk menghabiskan waktu di Nepal. Semoga saja tidak ada penerbangan yang delay terutama kekhawatiran tentang penerbangan lokal  pergi pulang dari Kathmandu-Lukla dan sebaliknya.

Kathmandu adalah sebuah kota eksotik, kota yang berpenduduk ramah. Budaya Hindu Budha yang kental,  beralkurturalisasi dengan budaya kota dunia dan bersinggungan baik dengan para turis di seluruh dunia,  terutama mereka yang punya hobi treking.  dan  pendakian pegunungan Himalayalah yang menjadi magnet bagi mereka. Saya sendiri sudah beberapa kali ke Kathmandu, namun ini kali pertama melakukan pendakian bersama  suami dan kakak saya.

Hari pertama di Kathmandu, kami berjalan-jalan di sekeliling Thamel,  sebuah pusat perdagangan tradisional yang sibuk, berbagai kios-kios suvenir sampai kios-kios alat perlengkapan pendakian yang lengkap ada di sana, surga bagi para pendaki untuk berbelanja. Merek-merek Outdoor Gear terkemuka semua tersedia dari yang asli sampai yang KW, dari North Face sampai North Fake bisa kita temukan.

Nongkrong di Thamel itu salah satu yang paling saya suka, sambil minum kopi di kedai menikmati suasana keramaian hilir mudik para pendaki, suasana yang sukar diceritakan dengan kata-kata.

Himalayan Java Coffee : starbucks nya Nepal , foto dokumentasi pribadi
Himalayan Java Coffee : starbucks nya Nepal , foto dokumentasi pribadi
Pagi hari menikmati sarapan di sebuah hotel kecil yang sarat pendaki. Ada perasaan ciut namun bangga bisa bersama dengan para pendaki International dari berbagai negara dengan proporsi tubuh mereka yang tinggi tinggi. Selepas briefing dengan perwakilan agent dan guide kami menuju bandara domestik Kathmandu untuk penerbangan menuju Lukla, kota/ desa awal pendakian ke Everest. 

Di depan Counter Check-in , orang  sudah-hilir mudik berseliweran. Suasana serasa berada dalam sebuah bazar para penjual outdoor equipment.  Berbagai merk lalu-lalang di sana ; The North Face, Osprey, Karrimor, Lowe; Alpine, Salomon, Under Armour, Columbia, Berghaus dll,  mulai dari sepatu di ujung kaki sampai aksesoris di ujung rambut ada semua. Day packs, Carriers juga duffle bag berserakan di segala sudut ruang.

suasana di bandara domestik Kathmandu : foto dokumentasi pribadi
suasana di bandara domestik Kathmandu : foto dokumentasi pribadi
Penerbangan dari Kathmandu ke Lukla, bukannya lancar tanpa halangan. Ada Beberapa maskapai yang melayani rute Kathmandu-Lukla, semuanya terlihat begitu sibuk  karena beberapa penerbangan mengalami keterlambatan termasuk Sita air, maskapai yang akan kami pakai. 

Tidak masalah, kami hanya delay 3 jam. Semua sabar menanti, karena kami sudah dibekali informasi mengenai faktor keterlambatan untuk penerbangan Kathmandu - Lukla selain teknical problem, faktor utama lainnya adalah cuaca. Saat tidak ada pesawat yang terbang dari Lukla, sudah pasti tidak akan ada penerbangan dari Kathmandu ke Lukla. Pembatalan penerbangan bahkan bisa juga berhari-hari.

Landasan Lukla begitu sempit dan pendek sekitar 527 meter saja, hanya bisa didarati pesawat kecil yang bermuatan maksimal 17 orang berikut crew.

Penerbangan Kathmandu - Lukla memakan waktu tidak sampai satu jam. Tapi semenjak take off adrenalin sudah mulai diobok-obok. Dornier 228 pesawat kecil berbaling-baling pontang-panting menembus lorong di antara celah pegunungan, disenggol turbulensi berkali-kali. Kami merasa seperti capung yang sedang mengembara di tebing jurasic, sementara berpasang mata pterosaurus seolah sedang menaksir, seberapa layak capung ini jadi menu sarapan mereka.

landasan yang pendek terlihat dari cockpit pesawat : foto dokumentasi pribadi
landasan yang pendek terlihat dari cockpit pesawat : foto dokumentasi pribadi
Setibanya di Lukla kami disajikan menu brunch di sebuah "cafe" merangkap guest house sambil menikmati lalu-lalangnya orang di jalan, para pendaki, porter juga kelontang bunyi lonceng yang tergantung di  leher yak pengangkut barang

Melihat daftar menu di cafe ini, kami mulai percaya dengan omongan orang  tentang menu makan bercita rasa berbagai bangsa yang tersaji di sepanjang jalur pendakian EBC. Piza, spagheti, berbagai macam soup, toast, sandwich, ramen dan beragam menu internasional lainnya.

menu makan pagi : foto dokumentasi pribadi
menu makan pagi : foto dokumentasi pribadi
 Karena delay 3,5 jam tersebut, perjalanan trekking pertama Lukla -- Pakdhing baru dimulai selepas matahari melewati ubun -ubun. Chek point pertama harus kita lewati terlebih dahulu di Lukla, petugas memeriksa berbagai kelengkapan dokumen yang sudah dipersiapkan di Kathmandu. 

 Perjalanan seperti layaknya pemanasan, didominasi turunan curam, sedikit tanjakan, turunan lagi, tanjakan lagi hingga berakhir di Pakdhing sekitar jam 4 sore. Dan rencana hari pertama yang sedianya sebisa mungkin diusahakan sampai ke Monjo akhirnya batal akibat hari sudah terlalu sore ketika kita tiba di Pakdhing.

Pagi hari sesuai prediksi, udara cerah serta panorama indah dan ajaibnya badan pun tidak terasa lelah. perjalanan naik ke Namche dimulai dengan semangat juang yang meledak ledak, padahal saya sempat khawatir dengan kondoisi kaki yang biasanya kesakitan jika pendakian dibawa bermalam keesokan harinya sulit dibawa melangkah, namun tidak terjadi dalam perjalanan kali ini. Alhamdulillah.

.Perjalanan tidak melulu menanjak, karena paling tidak ada 2 kali kita lewati hanging bridge yang photonya sudah sangat populer di berbagai media. Untuk mengejar hanging bridge tentu saja punya satu konsekuensi wajib yaitu turun sejauh mungkin mendekati sungai tempat mengalirnya air lalu naik kembali ke desa dan jalan setapak. Turun dan naik setinggi 200 m - 800m  dalam perjalanan di rute ini adalah sebuah hal yang jamak dan lumrah.

Lelahnya kaki, terengahnya paru menghirup oksigen setidaknya terbayar dengan kepuasan akan indahnya bentang alam yang terpapar saujana kemanapun mata ini berpaling, sepanjang apapun kaki ini mengajak melangkah.

hanging bridge pertama :foto dokumentasi pribadi
hanging bridge pertama :foto dokumentasi pribadi
Tiba di Namche Bazaar menjelang sore. Penginapan kami masih jauh diatas bukit. Sesuai dengan namanya tempat ini sepenuhnya adalah memang sebuah bazaar, pusat perdagangan di Kumbu Region. 

Setiap hari sabtu ada hari'pasar' yang akan dikunjungi sejumlah penduduk sekitar yang sengaja berjalan turun atau naik berhari-hari menuju Namche untuk berbelanja berbagai barang yang dibutuhkan . Segala rasa takjub tertuju kepada para porter juga rombongan  Yak yang telah bersusah payah mengangkut semua barang2 dari Lukla.

Namche Bazaar : foto dokumentasi pribadi
Namche Bazaar : foto dokumentasi pribadi
porter yang membawa barang keperluan sehari2 : foto dokumentasi pribadi
porter yang membawa barang keperluan sehari2 : foto dokumentasi pribadi
Namche sendiri punya citra keunikan yang dramatis terkait tempatnya yang berupa terasering nyaris berupa amphitheatre raksasa mengarah ke bukit di seberang jurang yang menganga dalam. Sesuai program, kami tinggal 2 malam di Namche. Hari pertama setelah istirahat adalah dimulainya program aklimatisasi, menggapai ketinggian 3800m menuju Kumjung village atau bisa juga Everest View Hotel lalu kembali ke Namche di 3440m.

Namche dari ketinggian bak amphi theatre : foto dokumentasi pribadi
Namche dari ketinggian bak amphi theatre : foto dokumentasi pribadi
Aklimatisasi adalah sebuah upaya penyesuaian tubuh terhadap ketinggian (biasanya ketika ketinggian sudah mendekati 4000mdpl) dengan kondisi oksigen yang mulai menipis. Lazimnya kita akan diajak untuk naik mendaki setinggi 300-500m/hari dan turun kembali pada hari yang sama dan bermalam di tempat semula. 

Membiasakan diri untuk berjalan dengan ritme pelahan, beraktifitas ringan, usahakan tubuh tetap bergerak terutama di siang hari ketika masih ada sinar matahari. Minum cairan yang banyak, menkonsumsi kalori yang tinggi, dan beristirihat yang cukup di malam hari.

Setelah mengunjungi museum Sagarmatha Nasional Park dan museum Sherpa, perjalanan aklimatisasi dimulai menuju  Everest View hotel 3880m  (sepertinya ini Hotel tertinggi di dunia), lalu turun sedikit ke Khumjung village tempat dimana sang legenda Edmund Hillary mendirikan sekolah dan berbagai fasilitas lain untuk warga seputar Kumbhu Region. Bermalam kembali dan beristirahat yang cukup di Namche untuk selanjutnya bersiap naik ke Tengboche esok hari.

Tengboche adalah sebuah biara berada di ketinggian 3860 mdpl tempat para rahib biksu dan murid muridnya melakukan aktifitas spritual, seperti memberi santapan pemahaman betapa damainya alam ini kalau kita senantiasa berteman dengannya.

Hujan tak kunjung berhenti, bahkan sampai di penghunjung malam. Kami meringkuk di dalam kamar di salah satu guest house tak jauh dari biara

Pagi ini Hari ke 7 pendakian, sebelum melanjutkan perjalanan kami sempatkan menyambangi biara, ikut merenung bersama gaung do'a yang di senandungkan para biksu. Mencoba mengerti kenapa Andrew Lock sang pendaki Everest dalam bukunya Di Puncak 8.000  akhirnya merasa bahwa berdo'a di biara Tengboche adalah sebuah keharusan sebelum  dia melakukan beberapa pendakian ke puncak sang Sagarmatha.

gerbang biara Tengboche : foto dokumentasi pribadi
gerbang biara Tengboche : foto dokumentasi pribadi
Perjalanan berlanjut, diawali dengan perjalanan turun yang curam ke Debuche, melintasi jembatan gantung lainnya di Imja Khola yang fotonya sudah sangat terkenal dalam trip EBC ini.

Hanging bridge yang paling popular : foto koleksi Guide
Hanging bridge yang paling popular : foto koleksi Guide
Dingboche sebuah perkampungan di punggung bukit, di bawahnya ada sungai Imja Khola yang airnya berasal dari glacier yang bemula dari tumpukan salju yag mencair di Island Peak (imja Tse).

Kami menginap 2 malam di Dingboche, untuk melakukan aklimatisasi ke 2 dari ketinggian 4000an ke ketinggian 5000an. Disinilah guide akan menilai apakah kami layak untuk melanjutkan perjalanan atau cukup sampai disini.

Keesokan  hari kami melakukan  trekking menuju Chukung di ketinggian 4710 mdpl.  Duduk berselonjor mengusir penat di ketinggian, tak bosannya mengagumi gunung gunung yang mengikuti sepanjang perjalanan, sang Ama Dablam, Island Peak,  juga monster  8516 m Lhotse yang sudah mulai memperlihatkan diri di titik ini.

Sebelum matahari sampai di puncaknya, kami turun kembali ke Dingboche.  Sesampainya di guest house, Niru pemandu kami menegaskan supaya tak ada satupun dari kita yang tidur di siang itu. Salah satu dari program aklimatisasi adalah memang berakrab ria dengan aktifitas sang surya di siang hari.

Awal perjalanan menuju Lobuche berasa bonus bagi kaki ini karena jalan datar berumput begitu luas dan panjang. Rombongan Yak susul menyusul, sesekali terlihat satu dua ekor yang mencoba sembunyi-sembunyi menghindar dari sang gembala untuk mencicipi cemilan rumput pagi hari.Tak lama gembalapun  memergoki dan meneriaki mereka untuk kembali ke jalurnya, dan sang pembelot seperti tertawa-tawa, dan bergabung kembali dengan riang gembira ke rombongan semula.

Berjalan bersama yak pengangut barang : foto dokumentasi pribadi
Berjalan bersama yak pengangut barang : foto dokumentasi pribadi
Kami sampai ke Thugla di ketinggian 4600 mdpl untuk makan siang. Sebuah tempat dimana tepat di hadapannya terlihat bukit terjal yang seolah mengajak bercanda, menunggu didaki setelah perut ini kenyang.

Jauh di atas bukit  terpapar tumpukan  batu dan monumen untuk mengingat para pendaki yang mengakhiri pendakian hidupnya di Everest. Terlihat salah satunya bertuliskan Scott Fischer salah satu pendiri Mountain Maddness, Adventure travel service, yang turut menjadi korban pada bencana pendakian Everest pada bulan Mei 1996. Bencana tersebut merenggut 8 orang korban  ketika mereka terjebak dalam badai salju selama upaya turun dari puncak.

Monumen in memoriam Scott Fischer : foto dokumentasi pribadi
Monumen in memoriam Scott Fischer : foto dokumentasi pribadi
Tiba di Lobuche (4910), kami disambut hawa yang lebih dingin dari hari sebelumnya. Bangunan rumah dan guest house tidak sebanyak di Dingboche. Sumber listrik di sini sudah sepenuhnya  bergantung kepada Sollar Cell. 

Jadi tak heran kalau charging HandPhone sampai penuh dipatok harga 500 rupee, dan dengan alasan yang sama, tak terpantau satupun pengunjung  yang mandi menggunakan shower pemanas.  Ajaibnya , walau sumber listrik terbatas, sinyal data via  Everest Link masih setia memancar. "Ahhh..." bisa saja ini terjadi karena kita sudah begitu dekatnya dengan langit.

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba,. Rencana hari ini adalah berangkat pagi hari, lalu makan siang di Gorakshep dan berangkat ke EBC. Genangan air dari limpahan gletchier di sekitar guest house  di Lobuche sempat memakan korban para trekker yang memulai perjalanannya di pagi hari. Genangan air itu membasahi bebatuan dingin yang pada beberapa bagian sempat membeku membentuk lapisan tipis es yang licin.

Makan siang dan rehat sejenak setiba di Gorakshep, lalu bergegas menuju base camp.

Alhamdulillah, puji Tuhan kami akhirnya tiba di base camp walau sudah menjelang sore. Sudah banyak orang di sana , ada yang merenung, tertawa  gembira, berfoto ria bahkan ada yang melakukan meditasi, bahkan yoga.

Base camp Everest, berbatasan dengan Khumbu glacier sebuah glacier yang diapit oleh punggung gunung Everest dan Gunung Lhotse-Nuptse yang berdekatan dengan dataran tempat para pendaki mendirikan tenda-tenda di base camp, tempat segala pusat markas pendakian mulai dari penyuplai makanan, pusat perawatan kesehatan termasuk pemasok tabung tabung oksigen, pusat kendali informasi para pendaki dan lain lain. 

Meski begitu, apa yang saya harap akan melihat  adanya tenda para pendaki serta aktifitas mereka tatkala melakukan berbagai persiapan pendakian ke puncak, tak ada sama sekali

Musim pendakian biasanya baru dimulai beberapa hari kedepan di awal bulan Oktober atau lebih cepat kalau cuaca mendukung. Musim pendakian Everest biasanya dilaksanakan pada bulan Oktober-November, dan pada bulan Maret-April atau pada musim gugur (autumn) atau pada musim semi (Spring). 

Mereka biasanya menghindari musim panas karena salju kerap mudah mencair dan longsor. Avalanche (longsoran salju) berkali-kali terdengar berdentum di EBC ketika kami ada disana dan  juga tidak pada musim dingin karena biasanya cuaca buruk dan kerap terjadi badai salju.

Everest Base Camp 5365 m : foto dokumentasi pribadi
Everest Base Camp 5365 m : foto dokumentasi pribadi
Seperti biasa kami melakukan ritual wajib yaitu foto selfie sebelum beranjak pulang kembali dari base camp menuju Gorak Shep. Kami berupaya menyerap semua kenangan yang bisa kami serap, karena sesudahnya Guide kami menyuruh untuk segera pulang sebelum berakhirnya hari menuju malam di Gorakshep

Biasanya dalam  trek EBC ini masih disediakan sebuah  "bonus" yaitu  bukit  Kala Patthar 5650mdpl, tidak jauh dari Gorakshep. Mereka biasa mendakinya sedini mungkin untuk bisa mengejar Sunrise di Kala Pathar yang konon  merupakan tempat terbaik melihat sang puncak Everest. 

Tapi melihat kondisi awan yang berhari hari sebelumnya di Sagarmatha yang tak kunjung menipis menutup pandangan, ditambah lagi mengingat kondisi kami malam itu yang sudah kecapaian, tak terbayangkan berangkat ke Kala Pathar paling tidak jam 03 pagi lalu bolak balik ke Gorak Shep jam 7.00 untuk melanjutkan perjalan ke Periche  - ahhh sudahlah - , akhirnya bonus tersebut diputuskan untuk  tidak jadi kami ambil.

Tetiba raungan helikopter terdengar begitu nyaring, lalu ada 4orang yang masuk ke dalam heli, kami cari tahu apa gerangan yang terjadi. Ternyata itu adalah sebagian rombongan yang bersama mendaki dengan kami yang sudah tidak kuat untuk berjalan pulang.

Helikopter tersebut meraung raung merayu-rayu mengajak serta untuk ikut. Tapi mengeluarkan 2000 USD, serta merta menyadarkan kembali misi kami semula.

Setengah perjalanan dari Gorak shep ke Periche adalah jalan turun yang curam dan selebihnya jalanan di tepian sungai, dan diteruskan jalan panjang tapi relatif landai.

Menjelang senja akhirnya tampak dari jauh guest house di Periche. Seperti biasa setelah sarapan, kami memulai perjalanan kurang lebih pukul 7.00. Setelah Pangboche, Tengboche sudah menanti dengan tanjakan curam yang panjang, begitu curamnya sehingga kaki sudah seperti tak bisa melangkah lagi. Melangkah setiap setengah menit, lalu berhenti 2 menit kemudian. Banyak waktu yang dihabiskan untuk mendaki jalan ini.

Kami berusaha menghibur diri sendiri diri bahwa kami   sepertinya terlalu banyak menikmati perjalanan dan tentunya berfoto ria,  ketimbang berjalan kaki terus menerus, sebagai pelipur lelah dan  memang demikian akhirnya target hari itu -Namche- tak bisa dicapai.

Senja sudah menjelang,  petang kami baru sampai ke Kyangjuma, dan memutuskan untuk bermalam di sana. Pengelola guest house di Kyangjuma, ternyatamemiliki ketrampilan lebih. Dia ditemani asistenya  membuat kue kue kering yang enak, kami mengobrol banyak dengan mereka sambil mencicipi camilan kue yang luar biasa dan tidak ketinggalan juga mencharge ponsel dan baterei kamera.

Hari ini kami mencoba untuk membayar ketinggalan kemarin karena target Namche tidak terpenuhi. Akhirnya kami memutuskan untuk mencoba meraih Namche, sekaligus Pakdhing dan Lukla sekaligus.

Sesampainya di Namche jam 11 pagi kurang, aktifitas bazaar belum terlihat ramai. Kios- kios  belum banyak yang didatangi pengunjung, selain karena masih pagi, hari ini bukan hari sabtu. Tidak berlama- lama di Namche kami langsung menuju Pakdhing, dan bertemu lagi dengan Hanging Bridge yang mencengangkan. Aktifitas kembali seperti kala semula yaitu turun dan naik  berulang- ulang dengan turunan dan tanjakan yang curam. 

Bukan halangan berarti bagi para Yak sang  sapi gunung yang dengan anggunnya meloncat-loncat diatas undakan batu-batu tinggi walau punggungnya penuh dengan barang-barang amunisi dari para pendaki

Kurang lebih pukul 2-3  sore hari, kami sampai di Monjo untuk beristirahat dan makan siang. Sempat ada keraguan akankah bisa sampai di Lukla petang ini, ataukah menginap di Monjo hari ini. Waktunya serba tanggung mengingat waktu beristirahat yang lama di Monjo akan menjadi waktu yang mubazir kalau pilihannya menginap di sana. 

Tapi kalau berangkat sore bisa-bisa malam sudah gelap ketika sampai Lukla. Setelah berdiskusi dengan guide akhirnya kita putuskan langsung ke Lukla hari itu juga. Saya mencoba mengingat-ingat bahwa perjalanan Lukla-Monjo itu tidak terlalu lama dan tidak terlalu berat. Dan ternyata ingatan saya salah, karena sebelumnya dari Lukla-Pakdhing-Monjo itu adalah jalan menurun. Jadi pulang sekembalinya dari Monjo-Pakdhing ke Lukla adalah tanjakan yang panjang. 

Tak ayal Perjalanan terakhir yang sudah sangat melelahkan itu adalah perjalanan yang paling mengesankan sekaligus mengesalkan. Selain tanjakan yang panjang juga hari sudah malam jauh sebelum sampai di Lukla. Akhirnya jam 9 malam kami baru sampai ke Lukla.Berarti hari ini kami berjalan kurang lebih 14 jam, untungnya ini hari terakhir. Semangat pulang tetap menggebu.

Baru sekarang, setelah berhari hari melakukan trek yang melelahkan terasa bahwa badan ini seperti ingin sedikit dimanjakan, dan  showering satu satunya pilihan yang ada, walau ekspektasi lebih dari pada itu, apa boleh buat mandi air panas dalam keadaan penat dan cuaca yang dingin sudah bisa membuatku tidur lelap setelahnya.

Udara pagi agak berkabut, di bandara  Lukla terlihat hanya ada 2 pesawat kecil yang bolak balik dan parkir di apron. Dari pagar bandara yang hanya terbuat dari ram kawat kami bisa melihat pemandangan yang menakjubkan sekaligus membuat hati ciut, dimana ujung runway bandara adalah jurang yang dalam

Alhamdulillah puji Tuhan, kami akhirnya mendapat pesawat setelah direschedule karena lebih cepat satu hari, dan beruntung pula cuaca cerah sehingga kami langsung berangkat ke Kathmandu pagi itu juga dan tiba di Kathmandu dengan wajah gosong terbakar terik matahari, namun anehnya badan, kaki dan tangan tidak terasa pegal mungkin karena perjalanan yang panjang sehingga tidak terasa kecuraman yang extrim dan tubuh ikut menyesuaikan. 

Once in a life time experience, kalimat yang paling tepat untuk pendakian ke EBC. 

Siapa mau coba?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun