Dalam rangka pelaksanaan anggaran negara yang efektif dan efisien, pemerintah melalui berbagai kebijakan berupaya menyeimbangkan kebutuhan operasional kementerian/lembaga dengan kondisi fiskal yang ada. Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan anggaran belanja negara adalah pengelolaan Uang Persediaan (UP), yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan operasional satuan kerja (satker).
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62 Tahun 2023 tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuangan, Uang Persediaan (UP) adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme Pembayaran Langsung (LS). Dengan keberadaan UP, proses pembiayaan kegiatan operasional menjadi lebih fleksibel dan responsif, karena dana sudah berada dalam pengelolaan bendahara dan dapat digunakan sewaktu-waktu, baik secara tunai maupun non-tunai.
Namun, dalam sistem pengelolaan UP juga terdapat mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang ketat. Salah satunya adalah kewajiban bendahara pengeluaran untuk melakukan revolving atau penggantian UP secara berkala dengan mengajukan Surat Perintah Membayar Ganti Uang Persediaan (SPM GUP). Berdasarkan regulasi yang berlaku, revolving harus dilakukan minimal satu kali dalam sebulan dan sebesar paling sedikit 50% dari total UP yang dikelola.
Tantangan Revolving di Tengah Kebijakan Efisiensi Anggaran
Pada tanggal 22 Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang menekankan perlunya efisiensi dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kebijakan tersebut merupakan langkah strategis pemerintah dalam merespons tekanan fiskal sekaligus mengoptimalkan penggunaan anggaran agar lebih tepat sasaran.
Implementasi kebijakan efisiensi tersebut berdampak langsung terhadap pelaksanaan kegiatan di satker. Sejumlah program dan kegiatan yang sebelumnya telah direncanakan dalam DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran), harus mengalami revisi atau realokasi, termasuk dalam hal penggunaan dana operasional. Akibatnya, frekuensi dan volume pengeluaran yang biasanya dibayarkan melalui UP turut menurun.
Kondisi ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi para bendahara pengeluaran. Di satu sisi, mereka tetap diwajibkan melakukan revolving UP minimal 50% per bulan. Di sisi lain, belanja yang dapat dibayarkan melalui UP menjadi berkurang secara signifikan. Jika tidak dilakukan penyesuaian, maka terdapat potensi ketidaksesuaian antara kewajiban pelaporan dengan realisasi penggunaan dana, yang dapat berdampak terhadap penilaian kinerja keuangan satker.
Strategi Penyesuaian Pengelolaan UP di Era Efisiensi
Untuk merespons kondisi tersebut, beberapa satker telah melakukan langkah penyesuaian dengan cara mengurangi nilai UP yang dikelola. Terdapat dua mekanisme utama dalam proses ini:
- Penyetoran Sebagian UP ke Kas Negara
Bendahara dapat melakukan penyetoran sebagian UP dengan terlebih dahulu membuat billing melalui sistem Modul Penerimaan Negara (MPN). Penyetoran dilakukan menggunakan akun: - 815111 untuk penyetoran UP Rupiah Murni (RM)
- 815113 untuk penyetoran UP dari sumber dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Setelah billing dibayar dan penyetoran selesai, nilai UP yang tercatat sebagai dana yang dikelola akan otomatis berkurang.
- Penihilan UP pada Saat Pengajuan SPM GUP
Alternatif lainnya adalah dengan menihilkan sebagian nilai UP pada saat pengajuan SPM GUP. Caranya adalah dengan menambahkan akun potongan SPM sesuai dengan sumber dana UP pada dokumen pengajuan. Dengan ini, setelah terbitnya SP2D GUP, nominal UP yang dikelola oleh bendahara berkurang sesuai dengan nilai yang dipotong.
Langkah penyesuaian ini bersifat strategis, karena dengan mengurangi nominal UP, maka kewajiban revolving minimal 50% dapat dipenuhi secara lebih realistis berdasarkan kebutuhan belanja operasional yang ada. Selain itu, pengelolaan UP menjadi lebih proporsional dan tidak menimbulkan idle cash yang tidak produktif.