"Soalnya, kalau aku nangis, Papa tambah marah."
"Papaku juga benci kalau aku nangis, sih."
"Kok, Papa kamu suka pukul, sih? Pakai setrikaan, lagi," tanyaku. "Papa aku juga jahat. Tapi nggak pakai setrikaan pukulnya."
"Soalnya, Papa nggak sayang aku."
"Tapi, Papa juga nggak sayang aku. Pukulnya tetap pakai tangan, kok."
Pada kutipan-kutipan terlihat bahwa kekerasan fisik juga terjadi di tengah keluarga ini. Sosok Papa melampiaskan kemarahannya bukan hanya melalui kata-kata kasar, tetapi juga melalui perbuatan fisik yang melukai anggota keluarganya, seperti memukul istri dan juga anaknya. Perlakuan fisik yang diterima oleh Mama dan si anak bukan hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga menimbulkan trauma emosional yang membekas dalam ingatan mereka. Hal yang seharusnya ada dalam hubungan keluarga yang fungsional adalah perasaan aman, nyaman, dan penuh kasih sayang. Keluarga yang fungsional juga saling menjaga, memberikan dukungan, dan memenuhi kebutuhan emosional satu sama lain, bukan malah melukai ataupun melakukan kekerasan pada anggota keluarga lainnya.
Â
""Memangnya, kenapa, sih, Papa kamu kasih kamu nama 'P'?" tanyaku, sambil mengutak-atik barang-barang di atas meja.Â
"Papa juga benci aku. Tapi, dia kasih aku nama betulan. Bukan cuma satu huruf."
"Nah, itu yang Papa aku bilang," sahut P Si Anak Pengamen yang Ternyata Bukan Pengamen.Â
"Kata dia, orang punya nama. Dia nggak menganggap aku orang, jadi aku nggak dikasih nama."