Mohon tunggu...
T Hindarto
T Hindarto Mohon Tunggu... -

Peminat Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

RESENSI FILM DAN ULASAN KRITIS "SURAT DARI PRAHA"

4 Februari 2016   12:06 Diperbarui: 4 Februari 2016   14:15 1432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film yang terinspirasi oleh para pelaku sejarah eksil (pelarian) di luar negeri khususnya kehidupan Ronny Marton yang muncul dalam film ini menokohkan peran sebagai teman Jaya sesama eksil (Kisah Pilu Eksil 1965 yang Melatari “Surat dari Praha”) semakin menarik karena penuh dengan penghidupan ingatan akan romantisme masa silam melalui kehadiran sejumlah lagu yang menghanyutkan hati dan menimbulkan fantasi cinta yang penuh emosional yang dimainkan oleh Larasati (buah karya Glenn Fredly yaitu Nyali Terakhir) melalui permainan pianonya di panggung opera dan lagu yang dinyanyikan Jaya di sebuah kafe (buah karya Glenn Fredly yaitu Sabda Rindu).

Melalui film berjudul Surat Dari Praha, setidaknya kita dapat memetik beberapa hal penting sbb: Pertama, keberanian para eksil untuk tetap bertahan di negara asing saat mereka berstatus stateless (tanpa kewarganegaraan) sebelum akhirnya mereka berhasil memperoleh kewarganegaraan atas bantuan organisasi kemanusiaan. Mereka yang adaptiflah yang berhasil bertahan hidup dan memenangkan kejamnya kehidupan. Pekerjaan apapun mereka lakoni untuk menyambung hidup sekalipun mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang layak sebagaimana gelar kesarjanaan yang telah mereka peroleh. Kedua, film berlatarbelakang pergolakkan politik tahun 1965 bukan sekedar membongkar kekerasan sebuah rezim yang telah mengubah wajah Indonesia dan mengubah nasib (pekerjaan dan percintaan) sejumlah orang termasuk para eksil di luar negeri namun memproduksi pengetahuan baru mengenai pentingnya berdamai dengan masa silam dan tidak terpenjara dalam belenggu kebencian dan stigmatisasi.

Upaya untuk mendorong pemerintah agar memohon maaf terhadap korban pembantaian masal paska peristiwa 1965 yang dilakukan oleh rezim Orde Baru oleh sejumlah aktifis dan organisasi kemasyarakatan dan pegiat Hak Asasi Manusia hanya akan menimbulkan resistensi mengingat kondisi sosiologis dan kultur masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya terbebas dari warisan epistemologi hasil konstruksi Orde Baru.

Film dan Novel dengan mengambil tema dan latar belakang gejolak politik 1965 dapat menjadi upaya yang lebih produktif dan konstruktif dalam menghapus warisan epistemologi hasil konstruksi Orde Baru. Film dan novel sebagai bagian dari karya sastra harus menjadi media pembebasan dan pembentukkan kontruksi baru epistemologi paska Orde Baru. Semakin banyak film-film sebagaimana Surat Dari Praha, maka semakin banyak pengetahuan baru diproduksi sebagai wacana epistemologi paska Orde Baru yang mendekontruksi wacana epistemologi sebelumnya.

Catatan kritis untuk Film Surat Dari Praha, sekalipun lagu syahdu nan membuai kalbu berjudul Sabda Rindu, namun lagu ini terlalu modern nada dan liriknya untuk sebuah lagu yang menurut alur cerita adalah lagu yang diciptakan pada tahun 1972, sehingga saat mendengarkan keindahan nada dan syair lagunya, kita tidak “terlempar” kepada sebuah zaman yang berkarakteristik tahun 1970-an namun lebih kepada “mendinamisasi” kalbu masing-masing penontonnya untuk menghargai cinta dan kesetiaan yang semakin mengalami distorsi di era teknologi informasi ini. Setidaknya ini penilaian subyektif saya. Mungkin bagi penonton lainnya mereka memiliki pengalaman emosional yang sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun