Resensi dan Notasi Buku “Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda”
Penulis: Reggie Baay
Penerbit: Komunitas Bambu
Tahun: 2010
Tebal: 297
Mendengar istilah “Nyai”, tentu kita akan menghubungkan dengan istilah pasangannya yaitu “Kyai”. Dalam benak kita sudah terasosiasi bahwa istilah “Kyai” dan “Nyai” berkaitan dengan sebutan seorang pemimpin agama khususnya Islam terlebih spesifik sebuah julukan yang berhubungan dengan dunia pesantren. Istilah “Kiai” sendiri memiliki sejarah yang panjang sebelum Islam ada. Dalam sebuah artikel diulas mengenai asal usul kata “Kiai” sbb: “Kata, Kyai atau Kiyai, disinyalir sudah lama digunakan, jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia. Sejak kebudayaan china menyebar di Indonesia. Istilah ini dibentuk dari dua kata, yaitu ‘Ki’ dan ‘Yai’. ‘Ki’ adalah sebutan untuk laki-laki yang dituakan, dihormati atau memang sudah tua. Sedang ‘Yai’ adalah kata yang asalnya dari dialek daerah-daerah asia tenggara Indochina, yang terpengaruh bahasa sanskrit dan Pali. ‘Yai’ artinya besar, luas, atau agung. Kata ini masih digunakan di thailand, burma, kamboja. Dan jawa kuno. Maka, jika digabung, Kiyai berarti seorang laki-laki yang dihormati. Dalam segala kapasitas. Bukan hanya bidang ‘agama’ saja”(Asal Mula Kata Santri, Kyai, Pesantren, Sunan, Wali Dan Guru - http://qurunkedua.blogspot.co.id/2014/04/asal-mula-kata-santri-kyai-pesantren.html). Dalam perkembangannya, istilah “Kiai” bermakna orang yang terpandang atau dihormati dalam masyarakat tertentu bahkan berjabatan tertentu di era kolonial. Di era Mataram Islam, istilah “Kiai” berkembang menjadi penamaan senjata perang yang dimiliki oleh orang-orang kerajaan (tombak Kyai Pleret, Kyai Setan Kober milik adipati Jipang Arya Penangsang dan keris Kyai Naga Siloeman yang dipercaya merupakan milik Pangeran Diponegoro). Selain untuk penamaan senjata, “Kyai/Nyai” ini dipakai juga untuk menamai alat musik (gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nagawilaga milik keraton Yogyakarta). Istilah “Kiai” pun disematkan untuk nama hewan milik para tokoh maupun milik kerajaan (kuda Kyai Gagak Rimang milik adipati Jipang Arya Penangsang maupun Nyai Debleng Sepuh, kerbau bule milik keraton Solo). Selain disematkan pada orang, senjata dan hewan, Kyai/Nyai ini disematkan sebagai penamaan roh-roh yang berkuasa di wilayah tertentu (Kyai Sapu Jagad, sebutan untuk ‘penunggu’ gunung Merapi). Dan akhirnya, istilah “Kiai/Nyai” mengerucut menjadi sebuah sebutan yang berhubungan dengan jabatan dan pemahaman keagamaan dalam hal ini Islam.
Jika istilah “Kiai” mengharuskan adanya sebutan “Nyai”, namun pada suatu masa, istilah “Nyai” pun pernah memiliki konotasi dan stigma tertentu. Buku karya Reggie Bay dengan judul “Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda” memaparkan kajian sosio historis yang mengungkap secara deskriptif dan sistematis bagaimana istilah “Nyai” memiliki stigma sosial tertentu di era kolonialisme Hindia Belanda. Dalam Bab Pertama Reggie Bay mengulas permulaan keberadaan seorang Nyai dalam struktur sosial masyarakat Hindia Belanda sbb: “Ketika para pegawai VOC tiba di Nusantara sekitar 1600, dimulailah kemunculan para nyai. Perempuan pribumi yang tidak hanya mengurus rumah tangga orang kolonial tetapi juga tidur dengannya dan pada banyak kasus, menjadi ibu dari anak-anaknya. Hal itu bukanlah hal baru pada abad ke-17. Namun kedatangan VOC membuatnya berangsur-angsur menjadi ciri dan sifat sebuah sistem yang cukup kekal dalam kehidupan masyarakat Eropa di Hindia Belanda”(hal 1). Pergundikan ala Hindia Belanda ini bukan tidak mendapatkan reaksi keras dari petinggi VOC, salah satunya Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4 Jan Pieterszoon Coen yang mengecam pergundikan ini sebagai “mengarah kepada berbagai perilaku janggal, tidak terkendali dan membahayakan kepentingan kolonial” (hal 2), sehingga Coen mengusulkan kepada Heren van De Compagnie (Tuan Tujuh Belas) agar mengirimkan perempuan Eropa ke Hindia Belanda. Sayangnya para perempuan Eropa ini setiba di Hindia Belanda justru banyak menjalani kehidupan menyimpang dan bermabuk-mabukkan dan disebut Coen “kumpulan orang tak bertuhan” (Hal 3). Saat Coen digantikan oleh Gubernur Jenderal Carel Reyniersz dan Joan Maetsuyker antara 1650-1653, kebijakkan yang diterapkan Coen dihapuskan dan mereka mendukung pergundikan di Hindia Belanda karena melihat keuntungan ekonomis dibalik pergundikan “karena biaya pelayaran perempuan Eropa tentu harus ditanggung oleh laki-laki sendiri. Keterikatan dengan tanah kelahiran membuat para perempuan Pribumi ingin tetap tinggal di Timur sehingga mereka pasti akan membujuk suami mereka untuk melakukan hal serupa” (hal 4). Bahkan ketika EIC (East Indian Company) atau Serikat Dagang Hindia Timur mengambil alih Hindia Belanda paska kebangkrutan VOC dan pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels sebagai representasi kekuasaan Prancis di Belanda dan Hindia Belanda, kondisi pergundikan di Hindia Belanda tidak dapat ditiadakan dengan mudah. Sekalipun, “Orang Inggris pun dibuat heran oleh banyaknya hubungan pergundikan serta kenyataan bahwa kalangan elite pun menikah dengan perempuan asli di Asia” (hal 16), namun “Sikap orang Inggris yang tidak membenarkan pergundikan di Hindia Belanda serta merta menjamin lenyapnya pergundikan di bawah pemerintahan mereka. Warga Inggris pun terkadang hidup secara terang-terangan dengan gundik Asia. Ketika itu bahkan terdapat kisah pergundikan yang sangat terkenal dan menarik perhatian. Kisah tersebut menjadi abadi karena munculnya berbagai jenis roman dan sandiwara yang diagung-agungkan di kemudian hari, yaitu kisah antara Edward William dan Nyai Dasima” (hal 17-18). Pada akhirnya, “Sekeras apapun usaha orang-orang Inggris untuk menghentikannya dari kehidupan masyarakat Indies, pergundikan telah menjadi tradisi sepenuhnya di Hindia Belanda pada awal abad ke-19” (hal 19), tulis Reggie Bay.
Pada Bab Kedua, Reggie Bay mengulas perihal peningkatan hubungan pergundikan di Hindia Belanda pada periode 1860-1870 sbb: “Sejak paruh kedua abad ke-19, jumlah hubungan pergundikan di Hindia Belanda meningkat tajam. Sampai sekitar tahun 1860, hubungan tersebut masih disembunyikan karena biasanya terjadi antara majikan dengan budak rumah tangga. Pada 1860-an dan 1870-an telah terjadi sejumlah perubahan penting yang tidak hanya membuat pergundikan antar-ras semakin jelas terlihat, tetapi juga lebih luas dan memperoleh karakter baru” (hal 21). Tahun 1860 merujuk pada keputusan penghapusan perbudakkan di Hindia Belanda yang berdampak pada “laki-laki Eropa yang ingin hidup dalam pergundikkan terpaksa mencari gundik di antara orang-orang bebas di Nusantara. Hubungan pergundikkan pun hanya dapat dilakukan berdasarkan kesukarelaan perempuan Pribumi. Para laki-laki Eropa kemudian menemukkan solusinya dalam kepengurusan rumah tangga mereka. Para perempuan Pribumi memang mendapat bayaran untuk pekerjaan rumahtangga yang dilakukan, namun pada praktiknya mereka juga hidup bersama sang majikan” (hal 21). Sementara tahun 1870 merujuk pada penetapan Undang-Undang Agraria De Waal tanggal 9 April 1870 yang dikeluarkan menteri penjajahan yang bernama Engelbertus de Waal yang menyebabkan peningkatan migrasi orang-orang Eropa ke Hindia Belanda karena “tanah di Jawa dan Madura selanjutnya dapat diberikan dalam bentuk erfpacht kepada penduduk Belanda atau Hindia Belanda serta badan-badan usaha dan perdagangan yang berkedudukan di pulau-pulau tersebut” (hal 22). Dan periode 1870-an merupakan periode kejayaan pergundikan karena, “Disetiap lapisan sosial dapat ditemukan pegawai rendah, juru tulis, pegawai perkebunan, pemilik toko, residen, bahkan hakim dan anggota Raad van Indie yang hidup dengan nyai. Selebihnya pergundikkan tidak hanya dijumpai dalam masyarakat sipil Hindia Belanda, tetapi juga (bahkan pada skala besar) di tangsi-tangsi tentara kolonial dan pekebunan di koloni”. (hal 23). Pesatnya arus orang Eropa ke Hindia Belanda dan migrasi orang-orang desa ke perkotaan di Hindia Belanda setelah tahun 1870, menyebabkan pergundikkan tersebar luas lewat kepengurusan rumah tangga yang dilakukan perempuan pribumi. Saluran kontak antara laki-laki Eropa dan perempuan Pribumi yang kelak disebut Nyai dan gundik mereka “dilakukan lewat perdagangan seperti di warung, toko kecil atau tenda jualan dimana sang laki-laki bertindak sebagai pelanggan dan perempuan sebagai pelayan. Meskipun demikian, kebanyakan kontak terjadi dalam kepengurusan rumah tangga” (hal 28).
Sebagaimana dikatakan dalam bab sebelumnya bahwa pernyaian dan pergundikkan telah menyebar luas pada 1870 dalam masyarakat sipil, tangsi militer dan perkebunan, maka tiga bab berikutnya, Reggie Baay memfokuskan dinamika dan persoalan-persoalan pernyaian dan dampaknya dalam sistem sosial kemasyarakatan Hindia Belanda dengan lebih mendalam. Bab Ketiga mengulas perihal pergundikkan dengan cukup panjang lebar di dunia sipil khususnya kerumahtanggaan (hal 35-88) dan Bab Keempat mengulas fenomena dan sebaran pernyaian di kalangan tangsi militer (hal 89-127) serta Bab Kelima pembahasan realita pernyaian di perkebunan-perkebunan di Jawa dan Deli (129-161).
Kita mendapatkan informasi yang cukup lengkap pada Bab Ketiga mengenai siapakah para Nyai baik terkait asal usul mereka, mengapa mereka memilih jalan hidup sebagai seorang Nyai serta perlakuan apa yang mereka terima sebagai seorang Nyai dari lelaki Eropa yang mengambil mereka sebagai gundik. Mengenai latar belakang sosial seorang Nyai dijelaskan, “Tidak banyak yang diketahui mengenai latar belakang gadis atau perempuan Pribumi yang menjadi gundik laki-laki Eropa. Hal yang umum diketahui adalah bahwa sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga Pribumi miskin di Jawa” (hal 51). Dari latar belakang para Nyai yang berasal dari keluarga miskin, dapat kita duga bahwa motofasi mereka untuk menjadi seorang Nyai tentu saja adalah kebutuhan ekonomi sebagaimana dikatakan, “Hanya ada sedikit nyai yang hidup dalam pergundikkan dengan orang Eropa atas dasar cinta…Tidak jarang cinta juga ikut memainkan peran penting dalam hubungan ini…Bagi kebanyakan nyai bisa dikatakan bahwa hidup dalam pergundikkan adalah cara bertahan hidup, sebuah permasalahan yang pragmatis” (hal 53). Yang lebih memprihatinkan adalah perlakuan yang diterima para Nyai banyak menyisakan keprihatinan dan kepedihan. Para Nyai kerap mendapatkan berbagai julukan yang merendahkan keberadaan mereka sebagaimana dijelaskan, “Para gundik sering disebut dengan meubel (perabot) atau inventarisstuk (barang inventaris. Sebutan itu dapat diartikan secara harfiah karena pada pelelangan yang dilakukan oleh orang Eropa yang akan pindah atau kembali ke negeri asalnya, para nyai pun ikut dilelang sebagai bagian dari inventaris mereka. Para nyai juga kerap disamakan dengan boek (buku) atau woordenboek (kamus). Hal ini berkaitan dengan fungsi mereka sebagai penerjemah atau pengajar bahasa Pribumi kepada majikan atau suami mereka” (hal 59). Bukan hanya diperlakukan sebagai barang, para Nyai pun kerap menerima perlakuan kekerasan sebagaimana dikatakan, “Di dalam harian-harian Indies bahkan muncul cerita-cerita pendek dengan penganiayaan terhadap para gundik Pribumi sebagai teman utamanya” (hal 61)