Mohon tunggu...
Shelty Julia
Shelty Julia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Obrolan Ringan dengan Teman Patriot Energi

29 Agustus 2017   23:10 Diperbarui: 29 Agustus 2017   23:20 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Lima belas hari bercerita tentang energi membuat saya lama-lama kehabisan ide dan bahan cerita juga di hari ke-13 ini. Belum lagi harus membagi waktu dengan kesibukan pekerjaan dan saya sempat cukup tidak sehat selama beberapa hari. Kesulitan mencari bahan tulisan juga dikarenakan saya belum sempat kembali ke kantor untuk mencari bahan-bahan cerita dari komputer kantor. Karena kehabisan ide itulah, akhirnya saya berbincang mengobrol ringan dengan salah seorang teman kuliah saya yang kebetulan sempat menjadi patriot energi batch 1 di Kepulauan Mentawai. Harapan saya, ada cerita baru yang bisa dibagi dan cukup menarik untuk diceritakan ulang. Karena ngobrolnya pun mengobrol ringan tanpa catatan, bahlan lebih banyak disertai dengan obrolan yang kurang berfaedah, jadi tulisan ini pun saya buat dengan mencoba mengingat seadanya saja. Ngobrol ringan pun diawali dengan, bagaimana kondisi desa tempat dia ditempatkan. 

Menurut teman saya, desa yang menjadi daerah penempatan dia tidak begitu tertinggal. Lokasinya pun tidak begitu terpencil, bahkan bisa disebut sebagai kawasan pusatnya pulau-pulau di Mentawai. Mungkin secara ekstrim bisa dibilang seperti kawasan Semanggi-nya Jakarta ya. Awal mula mereka merasa membutuhkan listrik adalah ketika pendidikan dasar (SD) sudah mulai beroperasi. Awalnya hanya ada SD sampai dengan kelas 2, kemudian berkembang dan jadilah tersedia SD sampai kelas 6. Dengan semakin meningkatnya level pendidikan, anak-anak desa pun semakin perlu belajar dan mengerjakan tugas sekolah. 

Sementara listrik tidak ada, desa pun sudah gelap gulita ketika matahari terbenam. Anak-anak pun tidak bisa belajar di malam hari. Karena salah satu alasan inilah, ketika kementerian ESDM membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terpusat, warga sangat antusias dan berterima kasih. Terlebih lagi ketika PLTS telah dapat beroperasi dan kini desa sudah tidak gelap gulita lagi di malam hari. Anak-anak pun bisa belajar lebih malam dan menuntut ilmu lebih rajin. 

Meskipun berada jauh dari kota besar dan tidak memiliki sinyal telepon, beberapa warga desa memiliki telepon genggam. Kini, mereka bisa mengcharge telepon genggam mereka meskipun tetap belum bisa berhubungan dengan daerah luar, tapi mereka bisa memutar musik kesukaan mereka keras-keras dari telepon genggam. Lumayan untuk meramaikan dan memberi warna baru saat senja di desa tersebut. Karena lokasinya yang menjadi kawasan pusat, tidak ada masalah berarti dengan masuknya PLTS ke desa tersebut. Warga desa pun sudah cukup familiar dengan teknologi-teknologi semacam itu. 

Lain lagi dengan cerita desa tetangga yang terletak jauh lebih tertinggal dengan akses yang masih sulit dijangkau. Dia bercerita bahwa ada satu desa yang bahkan memerlukan beberapa jam perjalanan dari desa tempat dia tinggal untuk mencapai desa tersebut. Dengan letaknya yang jauh lebih terpencil, lokasinya pun mirip dengan jaman pra-sejarah. Menurut dia, bisa saja bahkan dinosaurus masih hidup di desa tersebut karena kawasannya yang masih terdapat pohon-pohon besar dan jalanan yang berlumut. Konon katanya, film Kong pun menggunakan desa-desa di kepulauan tersebut sebagai area syuting mereka. 

Untuk melintasi desa tersebut perlu ekstra hati-hati karena jalannya masih berlumut dan licin. Mungkin lebih baik jika bertelanjang kaki saja agar lebih aman dan dapat mencengkram lebih baik. Di desa ini, beberapa tahun yang lalu pernah ada pemberian bantuan oleh pihak luar berupa panel surya serta lampu led untuk masing-masing rumah. Namun, saat ini sudah tidak dapat berfungsi secara maksimal. Menurut dia, ada beberapa alasan hal tersebut bisa terjadi. 

Salah satunya adalah ketidaksiapan budaya dan kondisi sosial warga desa tersebut untuk menerima teknologi baru seperti itu. Mereka merasa sangat asing dan bahkan takut untuk berdekatan dan mengoperasikan lampu tersebut. Karena kurangnya sosialisasi juga, warga tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika panel surya dan lampu tidak dapat berfungsi secara maksimal. Padahal, bisa jadi penyebabnya hanyalah masalah kecil yang sebenarnya bisa diperbaiki dengan pembekalan ilmu yang baik. Pada akhirnya, beberapa warga memilih untuk menjual komponen panel surya dan lampu-lampu led tersebut ke kota-kota besar dan menggunakan uangnya untuk memenuhi kebutuhan pokok. 

Mereka merasa belum siap dengan suntikan teknologi ke desa mereka. Mereka pun kadang tidak tahu kemana harus bertanya ketika terjadi gangguan atau kerusakan pada panel surya dan lampu led. Kasus ini tidaklah asing, dan sangat mungkin terjadi di daerah-daerah lainnya. Oleh karena itu, dalam setiap pemberian teknologi baru, aspek sosial dan budaya dan keberterimaan warga tidak boleh diabaikan. Penting untung menggaet warga agar merasa sama-sama memiliki dan sadar bahwa teknologi ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi seluruh warga selama dilakukan perawatan, pengawasan dan pengoperasian sesuai prosedur.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun