Mohon tunggu...
Shelina Lauren
Shelina Lauren Mohon Tunggu... Lainnya - Program Studi Kimia

Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengaruh Anemia Defisiensi Besi Terhadap Penderita Restless Legs Syndrome Pada Ibu Hamil dan Tidak Hamil

7 Desember 2021   11:20 Diperbarui: 7 Desember 2021   11:53 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, terlihat bahwa ibu hamil dengan anemia (38,6%) lebih tinggi tingkat kemungkinan menderita RSL dibandingkan dengan ibu hamil tidak anemia (17,4%). Hal ini disebabkan karena ibu hamil mengalami penurunan konsentrasi besi dan ferritin dalam cairan serebrospinal. Selain itu juga, ibu hamil dengan anemia memungkinkan terjadi gangguan penyimpanan zat besi pada sistem saraf, seperti penurunan kadar zat besi pada mesensefalon. Penurunan kadar besi di mesensefalon memiliki korelasi yang kuat dengan tingkat keparahan RLS. Pada umumnya ibu hamil mengalami RLS pada kehamilan trimester ketiga yang disebabkan karena adanya peningkatan estradiol sehingga mengakibatkan penghambatan sistem dopaminergik. Penderita RLS juga dialami lebih sering oleh kelompok wanita anemia yang tidak hamil, tetapi hasil tersebut tidak berbeda nyata secara statistik (p > 0,05). Dengan demikian, anemia defisiensi besi dan kehamilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi terjadinya RLS karena adanya perbedaan hasil yang diperoleh antara wanita hamil dan tidak hamil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wanita hamil dengan anemia lebih tinggi tingkat kemungkinan menderita RSL dibandingkan dengan ibu hamil tidak anemia.

Dalam mencegah terjadinya RSL maka diperlukan suatu strategi untuk mengurangi anemia defisiensi besi sebagai faktor utama keparahan RSL. Pada umumnya untuk mengurangi masalah anemia defisiensi besi di Indonesia masih berkisar pada suplementasi atau pemberian tablet besi. Namun ada strategi lain yang disarankan dan jauh lebih efektif yaitu dengan cara fortifikasi makanan. Fortifikasi merupakan metode penambahan zat gizi mikro ke dalam suatu bahan pangan makanan yang bertujuan untuk memenuhi kecukupan zat gizi mikro tersebut dalam tubuh. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa fortifikasi pangan merupakan strategi yang efektif untuk menanggulangi anemia karena memerlukan biaya yang lebih rendah dari suplementasi. Hal ini dibuktikan dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa fortifikasi makanan ampuh digunakan untuk mencegah anemia defisiensi besi, sehingga dapat terhindar dari penyakit RLS.

Hasil penelitian Gunawan et al. (2021) mengungkapkan bahwa fortifikasi NaFeEDTA (sebagai fortifikan Fe) minuman susu fermentasi kulit buah naga merah dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan status gizi remaja putri. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan secara signifikan pada kadar hemoglobin dan status gizi remaja putri sebelum dan sesudah dilakukan intervensi, namun tidak ada perbedaan pada kelompok kontrol. Sehingga susu fermentasi kulit buah naga merah yang terfortifikasi dapat digunakan untuk mencegah anemia defisiensi besi akibat dari pengeluaran darah ketika remaja putri sedang menstruasi.

Selanjutnya hasil dari penelitian Yasa (2016) mengungkapkan bahwa fortifikasi mikrokapsulasi besi pada biskuit tepung komposit pisang, ubi jalar, tempe, dan wortel dapat berkontribusi untuk memenuhi 41,5% AKG besi per hari apabila dikonsumsi per sajian biskuit sebesar 50 gram. Dengan demikian, biskuit terfortifikasi mikrokapsulasi besi dapat digunakan sebagai alternatif pencegahan anemia defisiensi besi dan terhindar dari penyakit RLS.

Adapun saran yang diajukan dalam proses fortifikasi besi agar jauh lebih baik adalah dengan cara meng-enkapsulasi fortifikan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah adanya reaksi antara zat gizi mikro tertentu dengan komponen kimiawi dalam bahan makanan sehingga terbentuk perubahan nilai mutu makanan yang tidak disukai oleh konsumen. Contohnya fortifikasi zat besi pada makanan menimbulkan adanya perubahan cita rasa makanan yaitu tercium bau seperti karat dari proses oksidasi zat besi. Oleh karena itu, zat besi yang akan ditambahkan kedalam makanan sebaiknya dibuat dalam bentuk mikroenkapsulasi agar lebih tahan terhadap reaksi oksidatif, mempermudah penggunaannya dalam makanan, dan tidak menyebabkan adanya perubahan sifat fisik dari bahan yang difortifikasi (Purnamasari 2009).

DAFTAR PUSTAKA

  • Adriani, M., dan Bambang, W. (2012). Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta: Kencana Penada Media Group.
  • Allen, R.P., Chen, C., dan Winkelman, J.(2012). Long-Term Efficacy and Augmentation Assessment of an Alpha-2-Delta Ligand (Pregabalin) Compared With A Dopamine Agonist (Pramipexole) In Restless Legs Syndrome: Results Of A Randomized, Double-Blind, Placebo-Controlled Trial. Neurology, vol. 79, no. 11.
  • Ariani, D., dan Maliya, A. (2021). Gambaran Karakteristik Responden dengan Restless Legs Syndrome pada Pasien yang MenjalaniHemodialisa di Rumash Sakit UNS Surakarta. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
  • Bhidayasiri, R. (2009). Restless Leg Syndrome: a Common disorder, yet uncommonly diagnosed. Preciding in: lecture on movement disorder. Bandung.
  • Cotter, P.E., dan O’Keeffe, S.T. (2006). Restless leg syndrome: is it a real problem?. Ther Clin Risk Manag, vol. 2, no. 4, hal. 465 – 475.
  • Gunawan, D., Dewi, D., dan Astriana, K. (2020). Fortifikasi Fe Minuman Susu Fermentasi Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus) Meningkatkan Kadar Hemoglobin dan Status Gizi Remaja Putri Anemia. Journal of Nutrition College, vol. 10, no. 2, hal 156 – 163.
  • Imran, R. (2021). Restless legs syndrome (RLS). [Daring]: https://drrashidimran.com/2021/08/05/restless-legs-syndrome-rls/ diakses pada 07 Desember 2021.
  • Hamdan, M., dan Machin, A. (2009). Join Scientific Meeting on Neurology Continuing Medical Education and Pain: Restless Legs Syndrome. Surabaya: Universitas Airlangga.
  • Mantadakis E., Chatzimichael, E.., Zikidou, P. (2020). Iron deficiency anemia in children residing in high and low-income countries: risk factors, prevention, diagnosis and therapy. Mediterr J Hematol Infect Dis, vol. 12, no. 1, hal. 1 – 12.
  • Patrick, L.R. (2007). Restless legs syndrome: pathophysiology and the role of iron and folate. Altern Med Rev, vol. 12, no. 2, hal. 101 – 112.
  • Proverawati, A., Erna, K.W. (2010). Ilmu Gizi: Keperawatan dan Gizi Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
  • Purnamasari, T. (2009). Fortifikasi Mikrokapsul Besi pada Permen Cokelat Untuk Mengatasi Defisiensi Besi pada Remaja Putri. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.
  • Telarović, S., dan ÄŒondić, L. (2019). Frequency of iron deficiency anemia in pregnant and non-pregnant women suffering from restless legs syndrome. Hematology, vol. 24, no. 1, hal. 263 – 267.
  • Widianti, A. T., Hermayanti, Y., dan Kurniawan, T. (2017). Pengaruh Latihan Kekuatan terhadap Restless Legs Syndrome Pasien Hemodialisis. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, vol. 5, no. 1, hal. 47–56.
  • Yasa, I. (2016). Fortifikasi Mikroenkapsulasi Besi Pada Biskuit Tepung Komposit Pisang, Ubi Jalar, Tempe, dan Wortel Sebagai Pencegah Anemia Defisiensi Besi. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun