Kritisisme Metodologis
Pendidikan tafsir harus mencakup pelatihan untuk mengkritisi metode orientalis: apakah sebuah pendekatan memandang al-Qur'an sebagai teks manusia atau wahyu? Apakah ia mempertimbangkan tafsir sahabat dan tabi'in? Dengan demikian, siswa tidak hanya menghafal tafsir, tetapi juga memahami mengapa metode tertentu ditolak atau diterima.
Integrasi Kurikulum Islam-Barat Secara Adil
Pendidikan Islam dapat mengadopsi pendekatan modern Barat, seperti linguistik struktural, semiotika, atau analisis wacana, tetapi harus diselaraskan dengan nilai-nilai Islam. Guru tafsir masa kini harus menguasai dua dunia: teks klasik dan metode akademik kontemporer.
Pendidikan Spiritualitas dan Etika Ilmu
Tafsir bukan hanya proses rasional, tetapi juga spiritual. Pendidikan tafsir seharusnya menanamkan adab dalam membaca al-Qur'an, sehingga setiap penafsiran tidak semata hasil kajian teknis, melainkan buah dari penghayatan iman.
Penutup
Tafsir orientalis bukan hal baru, namun di era digital, ia mengalami reinkarnasi dalam bentuk yang lebih canggih dan mudah diakses. Dunia pendidikan Islam tidak bisa menghindarinya, tetapi harus menyiapkan generasi yang siap menghadapinya. Dengan memperkuat literasi tafsir, memperdalam ilmu alat, dan mengembangkan pemahaman kritis terhadap pendekatan Barat, pendidikan Islam dapat menjaga kemurnian wahyu sekaligus aktif berdialog dengan zaman.
Bukan saatnya lagi menolak mentah-mentah atau menerima buta karya orientalis. Justru inilah momentum untuk melahirkan mufassir muda yang memahami al-Qur'an dari akar tradisinya, namun tidak buta terhadap peta pemikiran global. Tafsir bukan milik satu peradaban saja, tetapi ruang kolaborasi ilmiah dan spiritual yang harus dikuasai umat Islam hari ini dan masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI