Sebagai contoh, tokoh seperti Angelika Neuwirth mengembangkan pendekatan historis-literer terhadap al-Qur'an, memandangnya sebagai teks yang berkembang dalam konteks komunitas awal Muslim dan mengalami proses "komunitas pembacaan". Sementara Nasr Abu Zayd, meski berlatar Muslim, mengusulkan pendekatan hermeneutika yang memicu kontroversi besar di dunia Islam. Pandangan seperti ini kini diajarkan di banyak fakultas Islam, dan tidak sedikit mahasiswa Muslim yang terdorong untuk mengadopsinya tanpa sikap kritis yang memadai.
Tantangan bagi Pendidikan Islam
Masuknya tafsir orientalis ke dalam ruang pendidikan Islam menimbulkan sejumlah tantangan besar:
-
Krisis Otoritas Ilmu
Dalam tradisi Islam klasik, ilmu tafsir dikembangkan oleh ulama dengan sanad keilmuan yang jelas dan berdasarkan disiplin-disiplin tradisional seperti ulum al-Qur'an, nahwu, balaghah, dan usul al-fiqh. Tafsir orientalis justru memutus rantai otoritas ini dan menggantinya dengan pendekatan akademik Barat yang mengedepankan netralitas, skeptisisme, dan pendekatan positivistik. Akibatnya, mahasiswa yang tidak dibekali ilmu alat Islam akan mudah terombang-ambing dalam paradigma asing yang mengikis otentisitas teks. Reduksi Spiritualitas
Al-Qur'an bukan hanya teks, melainkan wahyu. Pendekatan orientalis yang memperlakukan al-Qur'an secara sekuler dan historis cenderung mengabaikan dimensi spiritual, etis, dan transenden. Pendidikan Islam harus menjaga agar pemahaman terhadap al-Qur'an tetap utuh---mencakup akal dan hati.Keterbatasan Literasi Kritis
Banyak pelajar Muslim yang mengakses karya orientalis tanpa memahami konteks epistemologis dan ideologisnya. Akibatnya, tafsir Barat diterima begitu saja sebagai "ilmu objektif", padahal mengandung bias-bias metodologis tertentu. Tanpa kemampuan membedakan antara kritik ilmiah dan narasi tendensius, pendidikan Islam rentan mencetak generasi yang tidak percaya pada warisan intelektualnya sendiri.Globalisasi Kurikulum
Masuknya kurikulum Barat ke universitas-universitas Islam, baik karena kerja sama internasional maupun tuntutan akreditasi global, mendorong adopsi bahan ajar dari literatur orientalis. Hal ini mengharuskan guru dan dosen memiliki kompetensi tinggi agar bisa menyampaikan materi secara kritis dan kontekstual.Solusi: Rekonstruksi Pendidikan Tafsir
Menghadapi tantangan ini, pendidikan Islam tidak boleh bersikap eksklusif atau defensif semata. Sebaliknya, diperlukan langkah-langkah proaktif yang membangun sinergi antara tradisi dan modernitas, antara teks klasik dan pendekatan kontemporer.
Penguatan Ulum al-Qur'an dan Ilmu Alat
Mahasiswa harus dibekali dengan dasar-dasar ulum al-Qur'an, bahasa Arab, logika, dan metodologi tafsir klasik agar mampu memahami perbedaan antara metode orientalis dan tradisional. Tanpa fondasi ini, mereka akan rapuh dalam berdebat atau menganalisis pemikiran asing.-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!