Mohon tunggu...
Shasha Azzahra
Shasha Azzahra Mohon Tunggu...

murah senyum, gak mudah menyerah, kuat, supel, ceria... tapi kalo udah marah (perang dunia) :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Benci Didi

16 Januari 2015   08:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:02 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Dasar Didi manusia tidak bermoral…” tiba-tiba terdengar suara memecah kesunyian malam ini. Selidik punya selidik ternyata suara itu berasal dari seekor ikan cupang yang sudah tua renta dengan sirip yang berwarna pucat tanpa adanya pesona kecantikkan seperti disaat muda dahulu, tengkurap lunglai diatas lumut dari dalam sebuah selokan / got di salah satu ruko di kota Tangerang.

Sebut saja namaku Rani, aku adalah seekor ikan cupang yang dibuang oleh majikanku karena dianggap sudah tidak layak lagi untuk ditempatkan didalam toples-toples itu.

Sakit hati ini jika aku mengenang kelakuan Didi majikan aku yang terhitung sadis. Sadis menurutku, bagaimana tidak, sejak muda aku dikurung di toples kecil memang kelihatannya aku diberi makanan enak berupa kutu air makanan favorit  membuat tubuhku indah mempesona, akan tetapi dibalik itu semua aku diperas untuk menghasilkan telur-telur yang banyak sedemikian rupa sehingga dengan kata lain aku dijadikan mesin produksi untuk melestarikan jenis ku sendiri, dia tidak tahu rasanya melahirkan, “Jika dia punya otak dia pasti bertanya kepada ibunya bagaimana rasanya ibunya melahirkan dirinya…Itu cuma satu dia sendiri bagimana dengan diriku yang jika bertelur bisa ratusan bahkan kadang bisa ribuan”. Gerutu Rani dalam hati. Tapi itu semua aku anggap takdir sebagaimana aku yang lemah harus kalah daripada yang kuat, seperti kata para ahli filsafat jaman dulu. Cuma yang sangat teramat sakit hati ini adalah ketika melihat anak-anak ku dididik / dilatih oleh dia (Didi) untuk berkelahi antara satu sama lain, dimana setelah diseleksi yang paling kuat akan diadu oleh anak-anak atau bapa-bapa dari peranakan ikan cupang yang lain, dalam dua dekade ini aku sudah banyak menghasilkan keturunan dari jenisku sendiri, tapi selalu saja sama yang dilakukan majikanku hanya menuruti nafsu untuk mengambil keuntungan dari hasil penjualan anak-anakku dan bahkan yang paling menyedihkan ketika anak-anakku harus berkelahi sambil merobek-robek, saling melukai saudara sekandung, hanya untuk memperlihatkan dan menonjolkan egonya didepan majikanku yang bersifat semu, padahal jika mereka dianggap sudah tidak layak lagi atau sudah berumur tua, lemah, jelek, mereka akan dibuang tidak diperhatikan lagi sebagaimana seperti keadaan diriku sekarang ini.

“Hhhhhhh… “ Rani menghela nafas mengenang kisah hidupnya yang tiada berarti bagi dunia ini, Sambil merebahkan kepala diantara lumut-lumut pinggiran got, kembali Rani memejamkan matanya, memikirkan dan mengkhayalkan untuk apa dia hidup jika hanya penderitaan yang dia lihat dan rasakan, senang sebentar pada saat tubuhnya berkilauan indah bak dihiasi intan permata dari jutaan warna sisik dan sirip yang melekat ditubuhnya namun seiring waktu berlalu dan ketuaan serta kejelekannya mulai tampak dalam dirinya, dia kini dicampakkan begitu saja, ke tempat yang paling jorok, sekotor-kotornya tempat, jorok bercampur bau dari sampah dan limbah pabrik yang mengairi got tersebut.

Ingin rasanya teriak, tapi sadar siapa yang mendengarnya…? ingin marah namun marah pada apa? marah pada siapa? Sambil selonjorkan sirip, dibenak Rani hanya merenung memikirkan nasib buruk dirinya, dimasa tuanya tidak ada anak, cucu, family yang menemani bahkan hanya sekedar untuk diajak mengobrol sedikit apalagi diajak curhat.

Tragis Rani hanya bisa merebahkan kepalanya diantara lumut-lumut nan hijau gelap bercampur kotor dan bau sambil menunggu kedatangan Sang malaikat pencabut nyawa agar secepatnya membawa roh nya pergi melepas raga yang sudah lapuk nan jelek itu dengan meninggalkan segala pengalaman tentang kesombongannya dimasa muda, disaat tubuhnya masih dihiasi jutaan warna-warni kemewahan membuat dirinya serasa cantik seolah tidak ternoda.

Sendiri menanti maut tanpa mampu merasakan kebahagiaan seperti dahulu. Entah kapan Sang Malaikat itu datang, akankah malam ini? Besok? Lusa mungkin? Hanya takdir yang mampu menjawabnya. Rani hanya bisa menunggu dengan setitik harapan dan cita-cita yang dipendamnya didalam relung hatinya yang paling dalam, jika suatu saat Sang Pencipta mengijinkan dirinya kembali kedunia ini  sebagai wujud seorang manusia bukan seekor ikan cupang lagi dia akan menyayangi dan memelihara semua mahluk hidup dengan tidak menyiksa dan mengambil keuntungan dari mahluk hidup peliharaannya itu sendiri, juga tidak ingin sombong dan tidak ingin terbuai lagi dengan silaunya perhiasan-perhiasan, kemewahan, puja-puji palsu yang ditawarkan dunia ini atas dirinya.

Tanpa terasa akhirnya Rani tertidur pulas bertilamkan lumut kusam diantara sampah dan kotoran dengan bau yang menyengat, tanpa asa dan gairah hidup lagi, entah apakah sang malaikat atau sinar mentari pagikah yang akan pertama kalinya dia lihat saat dia membuka mata nanti? ataukah wajah Didi yang dibencinya itu?  Hanya Tuhan yang tahu…

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun