Mohon tunggu...
Santini
Santini Mohon Tunggu... Penulis - Freelance Penulis, Ibu Rumah Tangga

Hamba Allah yang senantiasa memperbaiki diri

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Korupsi: Selingkuh, Slogan dan Sri Sultan

2 April 2024   06:38 Diperbarui: 2 April 2024   06:38 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Pixabay.com

            Lalu kita ingat Pancasila, pada mulanya, adalah perihal yang Soekarno tawarkan kepada bangsa yang baru merdeka setelah sekian abad mengalami penjajahan. Tidak mudah memang menawarkan barang baru, apalagi agar semua orang menerimanya. Akhirnya setelah semua orang menerimanya, dimana orang-orang itu meletakkan? Kok bisa berterbangan.

Sri Sultan

Gelarnya Ngarsadalem Sampeyandalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Hing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Hingkang Jumeneng Kaping Sanga. "Keterlaluan! Sungguh keterlaluan. Sampai begitu berani mereka mencoba menyuap saya, coba, sebuah mobil Mercedes Benz dan sekoper penuh uang. Berani disodorkan ke muka saya guna mendapatkan fasilitas yang mereka inginkan. Akibatnya dapat menghalangi Dwi Dharma dan Tjatur Karya Kabinet Ampera..." ucapnya ketika konon ada pihak yang berusaha menyuap demi bisa import vetsin ke Indonesia.

Kita tahu kita bukan orang tersebut, seorang Sultan, dengan segala privilege yang dia punya: singgasana, wilayah, prajurit, dan nasab. Kita juga bukan pejabat menteri yang hanya dengan tanda-tangan bisa menghasilkan uang. Kita hanya rakyat, yang banyak, yang seperti rumput berjejalan dibawah pohon yang kokoh. Tapi rumput dan pohon kiranya sama, perlu tanah untuk hidup. Perlu juga matahari, udara, air dan elemen hidup lainnya.

Apa yang dilakukan Sri Sultan Hamengkubuwono IX itu bukan semata teladan dalam bernegosiasi antara penguasa dengan pengusaha yang berbalut luapan emosi. Sekurangnya, secuil peristiwa itu mengingatkan anak bangsa, siapa saja, pada waktunya, mungkin akan mendapati dirinya pada keadaan yang menggiurkan untuk dirinya sendiri. Sementara di tempat lain, anak bangsa yang lain, sedang terlantar, menunggu dan bertaruh nasib.

Penolakan Hamengkubuwono IX terhadap suap itu -yang berarti pula penolakan impor. Sama halnya bilamana seorang hakim menolak jual-beli putusan pengadilan, juga panitia seleksi calon pegawai negeri sipil menolak dibayar peserta seleksi supaya diloloskan. Atau Gubernur atau Bupati yang menolak menggelembungkan anggaran belanja, juga aparat polisi yang enggan jual-beli perkara kriminal. Serta berarti pula rakyat yang bisa menolak jual-beli suara saat pemilu. Penolakan itu nyatanya bisa diduplikasi. Di sisi lain, pengusaha itu -yang tidak pernah lagi diketahui namanya, apa yang dilakukannya adalah juga apa yang bisa kita lakukan dan akan terus terjadi. Kepentingan pribadi dan golongan hendak menggusur kepentingan hajat rakyat yang banyak.  

Tapi Hamengkubuwono IX, sama hal-nya dengan kita, manusia yang bisa saja luput lalu menjadi khilaf. Keadaan yang menggiurkan itu bisa menggoyahkan nurani. Tak ubahnya hari ini yang silih berganti berita tentang korupsi menghiasi dunia berita. Baik korupsi skala besar -baik nominal maupun jabatannya. Ataupun skala yang lebih kecil dibawahnya, dibawahnya, dan dibawahnya lagi. Korupsi -yang berarti penyelewengan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok yang mengakibatkan kerugian negara, kiranya memang berjenjang sesuai dengan hierarki kekuasaan yang berlaku. Jika akhirnya kita tahu kekuasaan yang bertingkat itu berlumutan oleh korupsi, suap, dan nepotisme, adakah cukup Pancasila hadir sebagai sebuah slogan? Pertanyaan, memang hanya akan menyudutkan kita pada kenaifan.

Pancasila

Pancasila, yang sudah hadir kiranya adalah titik temu semua kepentingan pendiri bangsa. Butir-butir sila itu, Soekarno temukan dari sudut pandang arif-nya dalam melihat kehidupan masyarakat Indonesia selama berabad-abad sebelum kemerdekaan. Bagaimana cara mereka hidup, bekerja, bermasyarakat, dan hal-hal lain yang banyak bertaut perihal "kata kerja yang aktif". Tak ayal, Soekarno sendiri mengutarakan bahwa Pancasila jika pun harus diperas menjadi satu sila, maka itu adalah gotong royong. Sebuah terminologi yang erat tapi tetap aktif dan dinamis sebagai nilai berbangsa.

Nilai-nilai Pancasila pada prosesnya memang harus merasuk dalam sikap-tindakan-perbuatan kita dalam keseharian dengan segala entitas kita di masyarakat. Bukan sebagai slogan yang menggelegar terus menguap hilang. Butiran sila itu memang harus ditanam, dipelihara, tumbuh berbuah untuk bisa dinikmati oleh diri sendiri maupun bersama.

Hamengkubuwono IX telah wafat, tapi sejarah terus berjalan menemui generasi hari ini dengan membawa bebannya. Beban itu, bukan hanya tentang Hamengkubuwono IX yang pernah menolak suap tapi juga tentang Soeharto yang membuka lebar pintu investasi untuk asing. Bukan hanya tentang Soe Hok Gie yang menabrak tapi juga nepotisme yang masih menggurita. Barangkali begitulah cara sejarah berulang.

Goenawan Mohammad benar, tulisannya pada tahun 2003 itu terbukti, privatisasi yang selingkuh itu diungkap Dandhy Laksono dalam Sexy Killers pada tahun 2019. Saya yang salah: perselingkuhan itu semakin lumrah, dan semakin tidak menimbulkan keributan atau kegaduhan. Mentok ia hanya trending di jagad media sosial kemudian berlalu oleh trending yang lain. Para pejabat yang selingkuh itu terus saja melenggang, tapi Goenawan Mohammad malah membersamai. Sementara Dandhy Laksono tetap berdiri di seberang dan masih membidik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun