Mohon tunggu...
Farhad Shameel Abdullah
Farhad Shameel Abdullah Mohon Tunggu... Penulis - TO BE AN IRRATIONAL MODE

Portofolio Review shameelabdullah.farhad@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Tren Produk Jurnalis Investigatif dalam Prespektif Cultural Studies

5 Agustus 2020   10:20 Diperbarui: 5 Agustus 2020   10:24 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Perkembangan dan institusional cultural studies telah lama bertautan dengan studi media. Media massa sebagai sarana komunkasi sebagian besar masyarakat adalah pokok perhatian cultural studies selama beberapa dekade. 

Media yang lebih menjadi kepemilikan semua orang yaitu Televisi merupakan media yang paling disorot dalam hal ini. Tetapi secara menyeluruh studi kebudayaan ini memiliki proyeksi yang cukup besar terhadap perkembangan media massa di dalama kehidupana masyarakat.

Kita tidak boleh lengah dalam memerhatikan fakta bahwa, di dunia yang makin dibanjiri oleh produk industri media, arena utama yang sepenuhnya baru telah diciptakan bagi proses pemolesan diri. Inilah yang mampu menghadapi kendala-kendala temporal dan parsial yang berlaku dalam interaksi tatap muka dan karena aksebilitas televisi dan ekspansi globalny6a ia semakin tersedia bagi banyak individu di seluruh dunia (Thompson, 1995: 43).

Pernyataan ini merupakan bentuk upaya dari pemerhati studi kebudayaan akan pentingnya menghapus sekat atau membiaskan keberadaan media baik televisi maupun konvensional sebagai alur komunikasi yang cari tanpa adanya sifat parsial didalamnya. 

Hal ini mengarah pada keinginan untuk menggunakan pendekatan multideimensional dan multiprespektif terhadap pemahaman tentang media yang mereduksi suatu wacana atau informasi yang dapat menjelaskan hubungan antara dimensi ekonomi , politik, sosial dan kultural media ini.

Media masa diartikan sebagai proses komunikasi dengan bantuan media dan digunakan untuk menacakup jangkauan target audiens yang lebih besar, konten yang yang dibagikan bersifat umum dan menyangkur kepentingan masyarakat umum. Prospek keberadaan media massa seiiring waktu memiliki kontrol sosial tersendiri sesuai trend dan kebutuhan pada zamannya. 

Keberadaan media tidak dapat dilepaskan dari budaya manusia sebagai sumber informasi dalam memamahi fenomena sosial maupun alam. Sejarah kehidupan manusia tercatat sebagai pertukaran inforrmasi dalam hal produksi kebudayaan dalam interpretasi hegemoni yang menyatukan seluruh umat manusia.

Hal yang sangat erat kaitannya dengan media masa ialah produk jurnalistik sebagai wadah pertukaran informasi yang menciptakan sirkulasi informasi terhadap masyarakat yang bersifat berkelanjutan. 

Pengolahan informasi dalam aktifitias jurnalistiik memiliki berbagai presepsi serta sarat akan media massa sebagai kontrol sosial. Menjamurnya media massa mainstream maupun alternatif memiliki repon yang berbeda terhadap aktualisasi masyarakat dalam mengintervensikan informasi tersebut dengan kepentingannya.

media massa mainstream maupun alternatif tetap memiliki kekuatan sebagai rujukan informasi masyarakat. Menurut McQuail (2005:58), “media beroperasi di ruang publik sesuai kepentingan pengguna, kegiatan utamanya adalah memproduksi, mendistribusikan konten simbolik, dan partisipasi bersifat professional, terarah serta bebas nilai kepentingan”. 

Untuk itu tulisan ini mencoba memberikan upaya bagaimana retorika yang terbentuk didalam masyakat akan banyaknya kepentingan yang ingin di representasikan terhadap pola pikir masyarakat akan informasi berbasis jurnalistik.

 Perkembangan Media Massa di Indonesia

Surat kabar hasil cetakan pertama kali diterbitkan pada tahun 1605 oleh Johan Carolus di Jerman dan menggunakan bahasa latin. Di indonesia sendiri surat kabar pertama kali terbit sejak zaman kolonial belanda. Pada tahun 1629 Jan Pieterzoon Coen memperkrasai penerbitan newsletter dengan nama “Memorie der Nouvelles” yang berisi berita-berita dari Belanda yang dibawa ke Indonesia. 

Surat kabar tersebut menggunakan tulisan tangan dan disebarkan kepada kaum elit di daeraj Batavia. Sementara surat kabar pribumi tercatat pertama kali muncul pada tahun 1850an dengan menggunakan bahasa melayu, dan pada tahun 1855 surat kabat “Bromartani” dengan meggunakan bahasa jawa terbit dikalanagan masyarakat jawa yang tersebar secara luas. Dan oada tahun 1943 terbitlah “Media Prijanji” dengan bahasa melayu yang berisi tentang gambaran situasi politik di Indonesia dari sudut pandang nasionalisme.

Kemudiana gambaran produk jurnalistik di era selanjutnya ialah di era pasca kemerdekaan surat kabar mulai digunakan sebagai alat manuver politik yang berutujuan menggunacang bahakan mendapatkan kekuasaan sebagai bentuk propaganda. 

Saking memburuknya kebebasan pers di era ini pada tanggal 1 Oktober 1958 dianggap sebagai hari matinya kebebasan pers di Indonesia dengan banyak penangkapan para wartawan serta di keluarkanya dekrti preseden sebagai bentuk mutlak regulasi akan mempersempit ruang gerak dan kebebasan pers. Lanjut ke era orde baru dimana pers sangat dikuasai oleh pemerintahan dan menjadi alat untuk menghegemoni kepentingan dalam pembuatan regulasi dan pelaksanaannya. 

Dalam masa ini muncul beberepa kegiatan pers yang mencoba mengadvokasi adanya korban-korban kasus hukum yang berkaitan dengan penutupan informasi berbasis media massa.

Di era rofromasi dengan adanya kebebasan pers seluas-luasnya maka sering kali ditemukan berbagai metode yang dilakukan oleh media pers dalam menginterpretasikan informasi dengan relevansi yanng berbeda-beda, kebebasan pers menjadikan informasi yang ada bersifat cair dan memahami konteks dengan informasi yang saling tumpang tindih.

Prespektif Komunikasi Media Massa dalam Culturla Sudies

Paul F. Lazarsfeld menggunakan istilah adminsitrative research dan critical research dalam memamahi komunikasi media masa. Yang dimaksudkan dengan adminsitratif ialah bagaiamana informasi diolah untuk memenuhi kepentingan institusi media, sedangkan kritikal berkembang dari prespektif marxis dengan menganalisa adanya perna dominan di media massa dalam mengkultuskan informasu yang hanya relevan pada kepentingan penguasa. 

Prespektif studi komunikasi lainnya ialah cultural studies approach yang mencoba mengkaji lingkungan simbolik yang dihasilkan oleh media massa dalam peran kebudayaan masyarkaat. James Carey (1989) berpendapat bahwa kajian komunikasi selama ini didomnisasi oleh model transmisisi komunikasi dimana komunikasi dipahami sebagai mengatransmisikan pesan dalam hal kontrol sosial. 

Dia menyarankan model pengganti dia sebut sebagai ritual view of communication, yang diamana berdasarkan prespektif ini tindakan mengkonsumsi surat kabar tidak lagi berkaitan dengan kontrol sosial ataupun pencarian infromasi yang terjaring melainkan sebagai upaya masyarakat sipil sebagai bentuk pemeliharaan dalam hal keyakinan berbgai komunikasi satu sama lain. 

Hal ini berkaitan erat dengan bagaiaman masyarakat memiliki kontrol sendiri akan media massa yang tersebar, bukan media massa sebagai kontrol sosial yang akhirnya terjadi informasi yang terpusat.

Hans George Gadamer : Konsep Lingkaran Hermeneutis

Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah retorika dan filsafat praktis (etika). Di dalam sejarahnya retorika dan hermeneutika memang selalu terkait. Retorika adalah seni untuk memaparkan pengetahuan. Sementara hermeneutika adalah seni untuk memahami teks. Teks ini memang dalam bentuk tulisan. Akan tetapi teks juga bisa memiliki arti luas, yakni realitas itu sendiri. 

Dalam arti ini juga dapat dikatakan, bahwa hermeneutika dan retorika saling membutuhkan satu sama lain. Retorika mengandaikan orang memahami teks. Sementara pemahaman tidak boleh berhenti di dalam diri seseorang saja, melainkan juga dapat disampaikan dengan jernih kepada orang lain. Gadamer sendiri berulang kali menegaskan, bahwa hermeneutika dan retorika lebih merupakan seni, dan bukan ilmu pengetahuan. 

Di dalam beberapa tulisannya, termasuk Truth and Method, yang merupakan karya terbesarnya, Gadamer mencoba untuk melepaskan hermeneutika dari wilayah ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial. Untuk melakukan itu ia kemudian kembali membaca tulisan-tulisan Plato. Menurut Gadamer hubungan antara pembaca dengan teks mirip seperti hubungan dialog antara dua orang yang saling berbicara. 

Dalam arti ini dialog kehilangan dimensi rigorus saintifiknya, dan menjadi percakapan rasional untuk memahami suatu persoalan. Selain itu Gadamer juga membaca tulisan-tulisan Aristoteles, terutama pada bagian etika. Gadamer menjadikan etika sebagai dasar bagi hermeneutika. 

Tujuan utamanya tetap yakni melepaskan hermeneutika dari ilmu pengetahuan yang cenderung rigorus, saintifik, dan sifatnya instrumental.
Gadamer juga dikenal dengan argumennya soal proses penafsiran, atau yang disebutnya sebagai lingkaran hermeneutis. Argumennya begini setiap bentuk penafsiran selalu mengandaikan pengertian dasar tertentu. 

Pengertian dasar itu disebut Gadamer sebagai antisipasi. Konsep lingkaran hermeneutis ini sangatlah dipengaruhi oleh filsafat Heidegger. Oleh karena itu konsep lingkaran hermeneutis yang dirumuskan Gadamer sangatlah berbau fenomenologi. 

Seperti sudah sedikit disinggung, menurut Gadamer, setiap bentuk penafsiran untuk memperoleh pemahaman selalu melibatkan pemahaman dasar lainnya. Artinya untuk memahami kita juga memerlukan pemahaman. 

Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah sebuah logika klasik, bahwa orang bisa memahami keseluruhan dengan terlebih dahulu memahami bagian-bagiannya. Hal yang sama dapat diterapkan untuk memahami suatu teks. Maksud utama dari keseluruhan teks dapat dipahami dengan berpusat pada bagian-bagian teks tersebut, dan sebaliknya bagian-bagian teks itu dapat dipahami dengan memahami keseluruhan teks.

Proses lingkaran hermeneutik sangatlah penting di dalam pembentukan pemahaman manusia. Dengan demikian kita bisa memastikan, bahwa walaupun filsafat Heidegger sangat mempengaruhi pemikiran Gadamer, namun keduanya tidaklah sama. Gadamer memang mendapatkan banyak sekali inspirasi dari Heidegger. 

Namun ia kemudian mengembangkannya serta menerapkannya pada hal yang lebih spesifik, yakni proses penafsiran tekstual di dalam literatur dan filsafat. Inilah inti dari Hermeneutika Gadamer. 

Ia memberikan kepada kita prinsip-prinsip untuk menafsirkan teks-teks dari masa lalu. Dan dengan itu ia membantu kita memahami apa artinya menjadi manusia dengan berdasarkan pada historisitas kehidupan itu sendiri.

Tren Junralistik Investigatif dalam Pemaknaan Hermeutika pada Masyarakat Indonesia

Dalam beberapa tahun belakangan alur produk jurnalistik yang dihasilkan sering kali kita temukan adanya pengunngkapan investigasi akan persoalan praktikal hukum yang notabennya memiliki cacat secara administrasi maupun regulasi. 

Semisal adanya upaya investigasi yang dilakukan oleh tim Narasi TV yang di pimpin oleh Najwa Shihab dalam mengungkap adanya praktik sel mewah di Lapas Sukamiskin yang menjadi sorotoan publik pada tahun lalu meberikan angin segar akan kebebasan pers dalam mengungkap malpraktik yang ada di berbagai sektor pemerintahan. 

Peran media sebagai kontrol sosial dalam hal ini menjadi masuk kedalam ranah pengungkapan ketidak sesuaian antara regulasi dengan praktik yang ada. Media mencoba memerikan informasi yang seksi diangkat kedalam wacana publik dengan memberikan sudut investigasi sebgaia metode yang sangat pas untuk digunakan.

Kemudian banyak sekali kasus-kasus investugasi yang banyak terungkap menguak ke wacana publik sebagai bukti bahwa kontrol sosial media dalam hal ini sudah mengambil alih pengawasan terhadap politik pemerintahan dengan indepensi yang kuat. 

Kemudian baru-baru ini media massa online dan majalah Tempo menguak adanya pengungkapan investigasi penghilanngan bukti buku merah oleh pegawai KPK dari pihak kepolisian yang informasi ini dikaitkan dengan penyerangan Novel Baswedan. 

Tren ini terus berlanjut sebagai produk jurnalistik alternatif atau anti mainstream sebagai kontrol sosial  sebagai respon dari hilangnya kepercayaan masyarakat akan produk media massa yang bersifat mainstream. Adanya fenomena ini memiliki respon sangat antusias dari masyarkat indonesia khususnya pengguna media sosial. 

Produk media investigasi sangat mudah untuk menguak kedalam wacana publik dan memiliki eksistensi tersendiri dalam upaya merasionalkan informasi yang ada. Dalam hal ini penulis mencoba menggunkan pendekatan hermeneutis dalam memahami konsumsu informasi masyarakat dalam konteks tren informasi berbasis investigatif.

Hermeneutika merupakan salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Hermeneutika berasal dari pehamanan kita dalam menginterpretasikan teks dalam berbagai amkan yang di ciptakannya. 

Dalam perkembangannya Hermeneutika menyatakan bahwa interpretasi bisa lebih jau dari sekedar mencari makna dalam teks, ia berkembang dan berproses mengikutik perkembangan sejarah umat manusia di berbagai era. Bagi Gadamer (1976) dan Iser (1978) Hubungan antar teks dan penikmat teks bersifat interaktif dimana pembaca mendekati teks dengan harapan dan antisipasi tertentu yang dimodifikasi dalam pembacaan yang digantikan oleh proyeksi baru.

Yang dimaksud dengan proyeksi baru ialah, pemahaman akan teks akan selalu berasal dari posisi dan sudut pandang orang memahami, tidak sekedar melibatakan reproduksi makna tekstual namun juga produksi makna baru oleh para pembacanya. Mungkin sama teks menstrukturkan aspek makna tertentu dengan megarahakan pembaca namun tetap saja ia tidak bisa menetapkan makna, sehingga ada otoritas rasionalitas subjek yang bermain dalam hal ini.

Mengkaitkan dengan fenomena produk jurnalisitik investigatif pemahaman masyarkat Indonesia dalam memproyeksi makna tersebut sering sekali menggunakan konotasi yang mengarah pada kontruksi makan mencari sisi bersebrangan. 

Perdebatan yang muncul dimasyarakat acap kali berhenti akan mengkonsumsi makna sebatas pengisi akal rasionalitas mereka tanpa membentuk proyeksi baru yang perlu diperdebatkan di dalam wacana publik. Sehingga upaya investigasi media yang telah dilakukan akan berhenti di situ serta tidak adanya tidak lanjut yan lebih besar akan tindakan konkrit yang dilakukan.

Meski tak dapat dipungkiri upaya dari media mainstream ataupun media kekuasaan untuk menutup konten investigatif ini cukup masif, namun perihal konsumi makan yang kurang mengalir di wacana publik akan mudah dipatahkan oleh isu dan konten mainstream yang mencaji serangan balik media kekuasan dalam memutus jalur proyeksi baru dalam menngkontruksi makna.

Berdasarkan gambaran tersebut, yang diperlukan oleh masyarakat untuk mendukung alur informasi  yang baik adalah keberadaan media massa yang tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan sosial, ekonomi maupun politik, dan lebih mengedepankan transparansi informasi kepada khalayak. 

Namun yang menjadi pertanyaannya, sejauhmana media massa di Indonesia dapat bersikap transparan, independen, dan lepas dari pengaruh pemerintah. Tidak bisa diabaikan, bahwa budaya kekuasaan paternalistik dan karakteristik tradisional yang cenderung menutup diri, masih melembaga dan berpotensi menghambat kontruksi makna baru dalam memporyeksikan isu-isu investigatif yang minim keberlanjutan kasus secara menyeleruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun