Pagi baru saja mekar. Kabut tipis di tepi Jalan Cempaka mulai surut ditelan matahari yang malu-malu. Di sanalah aku pertama kali melihat Pak Surya --- duduk tenang di bawah tenda robek, ditemani sebuah kompresor tua dan kotak alat tambal ban yang tampak lebih renta dari usianya.
Dia bukan tokoh dalam buku sejarah. Tak pernah masuk TV, apalagi viral di media sosial. Namun cara ia duduk, mengelap peluh sambil menambal ban motor tua, seolah memberi ruang bagi waktu untuk berhenti sebentar.
"Ada yang lebih berat dari beban ban bocor, Nak," katanya saat kutanya, apakah tak bosan menekuni pekerjaan ini setiap hari. "Yaitu ketika manusia berhenti percaya bahwa hidup ini bisa dijalani dengan sabar."
Aku datang bukan sebagai pelanggan. Aku datang sebagai pengamat --- seorang mahasiswa yang diminta menulis laporan jurnalisme sastra. Tapi sejak hari itu, aku lebih merasa sebagai murid dari lelaki yang tak punya ijazah tinggi, tapi sarat hikmah.
Pak Surya sudah menambal ban sejak usia dua puluh tiga. Kini ia hampir enam puluh. Tak ada papan nama, tak ada brosur, hanya mulut ke mulut dan reputasi jujur yang membawanya bertahan. Ia tahu nama setiap pelanggan setia, dan bisa mengenali karakter pemilik motor hanya dari sisa debu di rodanya.
Satu siang, aku ikut bersamanya menambal ban bocor seorang pengendara yang nyaris menangis karena harus mengantar anaknya ke rumah sakit. Pak Surya tak banyak bicara. Ia langsung sigap bekerja. Lima belas menit kemudian, ban selesai ditambal. Dan saat si pengendara hendak membayar, Pak Surya hanya tersenyum, "Nanti saja, lain kali. Hari ini saya hanya menambal, Tuhan yang membayar."
Aku mencatat setiap gerak-geriknya. Jari-jarinya cekatan, matanya awas, tapi ada kelembutan yang aneh dalam caranya memutar mur dan mengoles lem tambal. Seolah ia bukan sedang bekerja, tapi merawat sesuatu yang lebih dari sekadar karet bocor --- mungkin harga diri, mungkin harapan orang lain.
Hari terakhir aku mengunjunginya, Pak Surya berkata, "Orang kota sibuk mengejar cepat. Padahal yang paling butuh cepat itu bukan mereka, tapi waktu yang mereka habiskan untuk hal-hal yang tidak mereka cintai."
Aku menyudahi catatan hari itu dengan perasaan campur aduk. Di balik debu dan oli, Pak Surya mengajari lebih banyak dari ruang kuliah mana pun. Tentang kerja yang dilakukan bukan demi pujian, tapi demi kelangsungan hidup --- bukan hanya hidup sendiri, tapi hidup orang lain yang mungkin tak pernah sempat bilang terima kasih.
Di mataku, ia bukan sekadar tukang tambal ban. Ia adalah penjaga ritme --- seorang filsuf pinggir jalan --- yang dengan kesunyian dan ketekunannya, mengajarkan pada dunia bahwa pekerjaan paling mulia adalah yang dilakukan dengan sepenuh jiwa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI