Tubuh, Ruang, dan Pikiran Ketika Simulacra dan Kapitalisme Memainkan Perempuan
Di atas meja kayu berkaki baja, dalam ruangan ber-AC sebuah coffee shop yang kerap dijadikan ruang bercengkrama anak muda masa kini baik untuk sekadar diam sebagai bentuk self-reward, maupun terlibat dalam diskusi yang menggubah ulang cara berpikir soal bias gender dalam kehidupan sosial terlihat wajah feminisme kontemporer yang kian kompleks.
Berbicara soal gender, penulis terpaku pada satu fenomena mutakhir standar kecantikan kini bukan lagi cerminan realitas, melainkan sebuah simulasi. Dalam dunia di mana informasi mengalir deras dan pilihan terlihat melimpah, perempuan justru dicekoki oleh representasi tunggal tentang kecantikan ideal tinggi semampai, hidung mancung, kulit bersinar, rambut lurus ala K-Drama. Iklan dan media sosial menyodorkan gambaran homogen yang jauh dari konteks genetika dan keberagaman budaya kita. itukan ciri-ciri yang cantik sekarang? atau masih ada yang lain, mungkin lebih dari itu cantik yang sering kita lihat dibeberapa platform edarkan standarnya.
tulisan ini dibuat hanya sebagai catatan kecil dalam diskusi orang belakang seperti pribadi ini. lanjut!
Dalam dunia yang kian ditandai oleh kecepatan, visualitas, dan konektivitas instan apa yang disebut sebagai budaya velocity perempuan terlihat mendominasi ruang-ruang digital dari tren skincare, tutorial makeup, hingga konten keseharian. Namun, dominasi ini tidak lantas bermakna kebebasan. Sebaliknya, di balik citra kebebasan berekspresi dan "self-love", tersembunyi logika yang lebih dalam perempuan justru menjadi pusat komodifikasi tubuh dalam sistem konsumerisme digital.
Fenomena ini bisa dibaca melalui lensa Postmodernisme, yang menekankan bahwa realitas kini lebih banyak dibentuk oleh simbol dan citra ketimbang substansi. Dalam perspektif Jean Baudrillard, tubuh perempuan telah direduksi menjadi Simulacra, citra yang menggantikan kenyataan, yang hadir dalam bentuk wajah mulus, tubuh ideal, dan gaya hidup estetik yang terus diproduksi dan dikonsumsi. Media sosial menjadi arena utama di mana tubuh tidak lagi hadir sebagai identitas personal, tetapi sebagai komoditas visual.
Lebih jauh, dalam sistem kapitalisme postmodern, konsumerisme memainkan peran kunci. Produk-produk kecantikan dan gaya hidup dijual bukan hanya sebagai barang, tetapi sebagai "makna" dan "harga diri." Perempuan didorong untuk terus membeli, memperbaiki, dan menampilkan versi ideal dari dirinya yang disesuaikan dengan algoritma dan selera pasar. Maka, meski tampak sebagai subjek aktif, perempuan sering kali justru menjadi objek konsumsi paling strategis dari kapitalisme digital.
Teori simulacra Jean Baudrillard menjelaskan hal ini dengan tepat standar kecantikan hari ini bukan realitas yang diserap dan diresapi, melainkan tiruan yang menggantikan realitas itu sendiri. Tubuh perempuan tak lagi menjadi identitas personal, melainkan objek yang harus diburu, ditiru, dan dikonsumsi. Perempuan tidak banyak bicara soal perjuangan mengendalikan tubuh, tapi lebih terjebak dalam mengikuti tren dan algoritma media sosial.
Fenomena ini adalah manifestasi kapitalisme lanjutan yang tidak hanya menjual produk kepada perempuan, tetapi juga menjadikan tubuh mereka komoditas pasar. Sebagaimana dikritik oleh Nawal El Saadawi, apakah tubuh tertutup atau terbuka, perempuan tetap jadi objek kapitalis pakaian atau kulitnya yang diperjualbelikan. Kapitalisme tak memedulikan moral, hanya potensi komoditas.
Nawal El Saadawi, seorang Feminis  dari Mesir, pernah mengungkapkan bahwa dalam sistem kapitalis, perempuan tak pernah benar-benar bebas dari eksploitasi baik ketika tubuhnya tertutup maupun terbuka. Jika perempuan berpakaian tertutup, maka kapitalisme akan memainkan nilai dan simbol dari pakaiannya: dijual sebagai identitas religius, kesopanan, atau kelas sosial. Sebaliknya, jika berpakaian terbuka, yang dieksploitasi adalah tubuh itu sendiri dikomodifikasi, dipamerkan, dan dijual dalam bentuk visual. Dengan kata lain, perempuan tetap menjadi objek pasar, apapun bentuk luaran tubuhnya.