Mohon tunggu...
Shafira Mediana Putri
Shafira Mediana Putri Mohon Tunggu... Penikmat berita Politik dan Pemerintahan

Menulis adalah suatu cara untuk bicara.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketika Pelayanan Publik Tak Lagi Butuh Meja : Kebijakan WFA ASN

30 Juni 2025   12:15 Diperbarui: 30 Juni 2025   12:15 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ASN WFA (sumber : cakaplah.com)

Ketika Kementerian PAN-RB meluncurkan kebijakan Work From Anywhere (WFA) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), publik segera terbelah. Sebagian menyambutnya sebagai langkah maju yang humanis dan fleksibel; sebagian lain mencemaskan menurunnya kinerja dan lemahnya pengawasan. Perdebatan pun berkisar pada pertanyaan klasik: "Bagaimana negara bisa hadir jika pegawainya tidak di kantor?"


Namun, jika kita hanya melihat WFA sebagai isu teknis semata sekadar memindahkan meja kerja dari kantor ke rumah atau ke kafe, maka kita melewatkan momentum historis. Ini bukan sekadar relaksasi administratif. WFA adalah eksperimen besar yang memungkinkan negara belajar untuk bernapas di luar ruang-ruang kekuasaan fisik yang selama ini kita anggap sakral.

Dalam pendekatan teori kebijakan publik klasik, seperti yang ditawarkan oleh Lasswell, kebijakan adalah soal "siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana." Namun dalam pendekatan yang lebih mutakhir seperti adaptive governance (Folke et al., 2005), kebijakan tidak lagi hanya soal distribusi, melainkan juga kemampuan untuk merespons ketidakpastian, mengelola perubahan, dan membentuk struktur yang lentur. Di sinilah WFA menjadi relevan: ia adalah contoh kebijakan yang baik secara desain maupun implikasi menguji kelenturan sistem birokrasi modern.

Selama puluhan tahun, birokrasi Indonesia hidup dalam paradigma presensialisme. Hadir di kantor setiap hari adalah bentuk nyata dari dedikasi. Kursi yang terisi menjadi simbol "negara hadir." Ruang-ruang pemerintahan kita dipenuhi map, stempel, dan notulen rapat menjadi altar tempat ASN mempersembahkan waktu dan fisiknya, sering kali tanpa memastikan bahwa yang diberikan negara bukan hanya kehadiran, tapi solusi.

Di sinilah WFA menawarkan disrupsi epistemik. Ia mendobrak keyakinan lama bahwa kerja birokrasi harus selalu berada dalam bangunan fisik. Jika dirancang dengan baik, WFA bisa menjadi titik balik untuk menggeser birokrasi dari yang berorientasi pada prosedur menjadi berorientasi pada hasil (result-oriented bureaucracy), sebagaimana dianjurkan dalam teori New Public Management (NPM).

Tentu saja, agar ini bisa berjalan, kita tidak cukup hanya dengan mengizinkan ASN bekerja dari mana saja. Kita butuh infrastruktur pengawasan berbasis data, indikator kinerja yang tajam, serta sistem akuntabilitas digital yang tidak memberatkan namun transparan. Evaluasi berbasis output, penggunaan sistem penugasan daring terintegrasi, dan real-time performance monitoring harus menjadi tulang punggung. Tanpa itu, WFA bisa menjadi ruang abu-abu baru di mana tanggung jawab menjadi kabur.

Namun di balik perdebatan produktivitas, ada dimensi lain yang lebih jarang dibahas: dimensi spasial dan ekologis dari WFA. Indonesia memiliki lebih dari 4,7 juta ASN (BKN, 2024), dengan konsentrasi tinggi di wilayah-wilayah urban seperti Jabodetabek, Surabaya, dan Makassar. Dengan berlakunya WFA, sebagian dari mereka berpotensi "pulang kampung", bekerja dari daerah asal, tanpa harus melakukan migrasi fisik harian ke kantor pusat. Ini bukan sekadar fleksibilitas personal, tetapi migrasi mikro geospasial yang dapat berdampak pada struktur sosial ekonomi lokal.

Jika 10% saja dari ASN tersebut bekerja dari kota kecil atau desa asalnya, maka akan terjadi desentralisasi konsumsi, peningkatan daya beli lokal, serta transfer keterampilan digital ke komunitas akar rumput. Fenomena ini, jika dikawal serius, dapat menjadi alat pembangunan daerah yang bersifat organik tanpa perlu pemekaran wilayah administratif yang selama ini menimbulkan beban anggaran dan konflik kepentingan politik.

Lebih jauh lagi, ada dampak ekologis yang sangat nyata. Studi Kementerian ESDM (2022) menunjukkan bahwa sektor transportasi menyumbang lebih dari 27% emisi karbon nasional. ASN yang bekerja dari rumah dua hingga tiga hari dalam seminggu akan mengurangi jutaan perjalanan kendaraan bermotor setiap bulan. Dengan proyeksi konservatif, pengurangan emisi ini bisa mencapai 250 ribu ton CO per tahun, angka yang cukup signifikan untuk membantu target net zero emission Indonesia pada 2060.

Namun, kita tidak bisa mengabaikan sisi gelapnya. Jika tidak ditangani dengan kebijakan afirmatif, WFA juga bisa melahirkan digital divide baru yang jauh lebih tajam. ASN yang tinggal di kota dengan internet cepat, memiliki perangkat kerja memadai, dan lingkungan domestik yang nyaman akan mampu tampil optimal. Sementara ASN di daerah 3T, yang mungkin harus bekerja dari rumah dengan sinyal lemah, tanpa laptop layak, dan dalam tekanan ruang sosial yang tidak kondusif, akan tertinggal. Inilah bentuk baru dari "feodalisme digital," di mana kemewahan konektivitas menentukan jenjang karier dan performa birokrat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun