Mohon tunggu...
Rara
Rara Mohon Tunggu... Freelancer - Simple Present

Film adalah Seni Menikmati Tragedi

Selanjutnya

Tutup

Film

Before Trilogy (1995, 2004, 2013): Cinta dan Usaha-usahanya untuk Kembali Bermuara

5 Maret 2023   11:18 Diperbarui: 5 Maret 2023   12:35 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang kamu bayangkan tentang film romansa terbaik sepanjang masa? Saya pastikan apapun itu definisi film romansa yang kamu miliki dirangkum dengan ciamik oleh ketiga film ini; Before Sunrise (1995), Before Sunset (2004) dan Before Midnight (2013). Cinta adalah hal-hal terkait dengan rasa, komunikasi, waktu dan takdir. Sesederhana melihat orang di seberang kursi kereta mu yang sedang membaca buku, melirik dan merasakan apa yang kamu rasakan. Tepat seperti apa yang kamu rasakan. Ya, rasa jengkel saat penumpang lain berbicara dengan keras dan tidak kamu mengerti. Tapi takdir memang bekerja secara sembarang. Celine (Julie Delphy) mengiyakan ajakan Jesse (Ethan Hawke) untuk turun di Vienna, yang tentu saja bukan tujuan nya.

Sepanjang film, ketiganya bergerak dengan dua sudut pandang sekaligus. Tak lupa lewat dialog-dialog berbobot namun wajar untuk dijadikan topik obrolan. Pada film pertama, Celine dan Jesse menghabiskan satu hari bersama di kota yang asing, dengan orang asing dan perasaan yang asing. Celine terlihat sangat skeptis dengan sebuah komitmen. Jelas ia mempertanyakan banyak hal, namun yang paling kentara adalah cara cerdas nya menyampaikan pemikirannya tentang cinta. Melihatnya sebagai sebuah berkah sekaligus musibah. Lain Celine, lain Jesse. Berbicara tentang cinta, Jesse tergolong ngalir aja.

Walaupun didominasi oleh dialog, film ini tidak pernah sekalipun membosankan. Dan saking banyaknya topik pembicaraan, saya bahkan kebanyakan lupa dengan apa yang mereka omongin karena memang seperti melihat sepasang kekasih yang sedang berjalan-jalan untuk melepaskan rindu disepanjang hari saja. Tidak menaruh kecurigaan sedikit pun bahwa mereka adalah dua orang asing, atau bahkan pemain film.

Saya banyak tertawa karena pengemasan sinematografi yang estetik dipadukan dengan cara bertutur yang unik menjadi perpaduan yang menyenangkan. Sinisme yang diangkat oleh Celine dan Jesse tentang cinta atau bahkan tentang hidup terasa sangat cocok satu sama lain. Mereka sangat terbuka untuk saling kenal, saling bercerita dan saling mencinta.

Apakah ini yang disebut takdir?

Beralih ke film kedua, sekuel nya membawa kisah yang lebih dewasa. Saya suka pendahulunya, tapi yang ini saya justru lebih suka. Terakhir kita melihat Celine dan Jesse yang sepakat bertemu kembali dalam jangka 6 bulan. Namun terjawab sudah bahwa pertemuan mereka gagal dan apa alasan nya. Jarak film ini dengan yang kesatu adalah 9 tahun, kita melihat Jesse dan Celine bertambah tua, memiliki pemikiran yang lebih realistis dan tidak semenggebu-gebu masa muda nya. Namun mata itu tetap sama, tatapan Jesse kepada Celine adalah tatapan yang menampung rindu dan kini semua bermuara. Celine pun senada, seakan siap bertaruh waktu dengan Jesse sebagai pemenangnya.

Cerita yang dihasilkan terasa utuh, saat dibarengi dengan pendalaman karakter yang begitu kuat. Seperti biasa, cerita hidup hanya dengan melihat kedua tokoh berbincang-bincang. Saat cerita cinta di kisah pertama membawa kita pada secangkir cinta yang luber-luber, kali ini ditutup dengan sebuah fakta yang membuat kisah ini beralur berbeda. Jesse sudah memiliki istri dan seorang putra, sedangkan Celine kini memiliki kekasih sungguhan. Paruh terakhir kita sudah diberi cuplikan seperti apa sulitnya menghadapi kenyataan, apalagi saat takdir tak lagi memihak kita. Kalau saja ada waktu untuk mengutuk, maka paruh terakhir film ini lah waktunya. But the ending hits me different. Kalau kamu ada waktu pastikan kamu tak terlewat momen dari kisah cinta mereka yang manis dan ironis.

Apakah ini yang disebut takdir?

Dan penutup yang didamba-dambakan, akhir trilogi ini membawa kita pada pertanyaan pamungkas nya "Apakah dengan bersama kita akan bahagia?". Film ketiga ini memberi kita gambaran tentang hubungan yang sudah matang. Jelas saja, karena film ini berjarak 18 tahun dari yang pertama. Namun acting Julie Delphy dan Ethan Hawke sangat tidak masuk akal, seakan-akan karakter Jesse dan Celine selalu hidup dalam kehidupan nya. Film ini membawa kita pada konflik rumah tangga yang boleh jadi sesungguhnya. Dialog-dialog nya konfrontatif dan sarat emosi. Untuk pertama kalinya kita melihat Jesse dan Celine beradu argumen dengan seintens ini. Tentang hak asuh anak, tentang impian Celine, tentang beratnya menjadi orang tua dan tentu saja tentang cinta nya. Akhirnya saya tersadar bahwa pernikahan bukan hanya tentang cinta, tapi cinta lah yang membuat itu bertahan. Cinta hanya sebagian dari urusan-urusan yang memberi warna pada kehidupan pernikahan.

Hanya dengan melihat mereka bertengkar, saya merasa patah hati sungguhan. Celine mengucapkan kalimat yang menjadi 'penutup' kisah mereka. Saya hampir tak terima, tapi ending cerita ini membawa kita pada pertanyaan diawal. Kebahagiaan adalah keniscayaan bagi mereka berdua, tak pernah ada benang yang tak kusut, atau bahkan putus, namun selalu ada cara untuk digunakan menjahit. Tepat sebagaimana Jesse menjahit nya lagi satu persatu. Dan bagian favorit saya adalah kalimat terakhir dari dialog panjang mereka selama ini, "Tell me more about time machine". Trilogi ini memberikan kita gambaran tentang cinta yang dipelihara adalah tentang memelihara memori kolektif dan menjadikannya bagian dari cinta itu sendiri.

Apakah ini yang disebut takdir?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun