Mohon tunggu...
Shafa Varera
Shafa Varera Mohon Tunggu... Freelancer - Be better everytime

bercerita untuk berbagi dan bermanfaat. mom's of two child and a wife, blogger and listener

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Paguyuban Jaran Kepang Sediyo Utomo di Ngampin

27 Desember 2020   03:33 Diperbarui: 27 Desember 2020   03:38 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa bulan ini, secara tidak sengaja bertemu beberapa teman saat duduk di bangku SD lewat komentar di sebuah akun jejaring sosial. Kami berniat mengadakan reuni saat pandemi sudah berakhir. Kembali menjalin silaturahim, saling bertegur sapa, saling berkabar dan memberi ruang nostalgia. Banyak dari mereka yang masih tinggal di sekitar Kecamatan Ambarawa, beberapa yang sudah menikah tinggal bersama suami di daerah sekitar Kecamatan Ambarawa, tapi masih satu Kabupaten. Masih mudah dijangkau dan bisa berkumpul kembali.

Ada dua orang yang berada jauh, yaitu aku yang ada di sebrang yaitu di Pulau Lombok dan Dita, seorang teman yang tinggal dan menetap di Bekasi. Bedanya, aku sama sekali belum pernah ke Ambarawa sejak kuliah hingga memiliki dua anak, sedangkan Dita masih sering pulang ke kampung halaman minimal setahun sekali karena ada ibu dan keluarga yang masih tinggal disana. Berbeda denganku yang orang tua sudah berada di Lombok, Dita masih sering pulang ke Ngampin untuk melepas rindu dengan ibu dan adik-adiknya. 

Banyak hal yang kami ceritakan, aku banyak bertanya tentang Ngampin yang sudah banyak berubah. Sudah hampir sepuluh tahun aku tidak ke Ngampin. Saat masih kerja dulu, aku sering ke Surabaya untuk mengunjungi Bapak yang sedang proyek jalan tol, tapi tidak pernah ke Ngampin karena cuti hanya sebentar. Memilih bersama Bapak karena tak cukup waktu untuk ke Ngampin meski ada Mbah. Ada sedikit sesak karena ternyata sudah tak bisa lagi bertemu beliau yang tahun lalu meninggal tanpa sakit. Beliau jatuh di depan kamar mandi lalu sudah meninggal ketika dilarikan ke Rumah Sakit.

Aku bertanya pada teman-teman apakah Ngampin masih sama? Mereka bilang sudah banyak berubah. Memang melihat postingan beberapa teman disana, mungkin aku bingung jalan kalau disana sekarang. Bulek dan sepupu pun mengatakan kalau Ngampin sudah sangat berubah, tapi tetap membuat rindu.

Aku jadi teringat sebuah pagelaran budaya yang dulu sering digelar saat ada acara. Reog atau biasa dikenal dengan tarian jaran kepang. Aku masih ingat kalau ada yang 'nanggap' atau mengundang untuk menampilkan kesenian ini saat mereka ada hajat, pasti orang-orang ramai menonton. Reogan atau biasa disebut tari kuda lumping atau jaranan ini merupakan sebuah budaya yang menampilkan tarian menggunakan anyaman bambu berbentuk kuda sebagai simbol  gagahnya pasukan penunggang kuda yang menari dengan diiringi tabuhan alat musik tradisional dengan satu atau dua orang sinden sebagai penyanyinya. Ada pawang yang menjadi bagian dari pertunjukan karena akan ada atraksi kesurupan atau kerasukan. 

Penari akan bertindak diluar kewajaran seperti memakan beling, memakan kembang, memanjat pohon bahkan ada yang bertingkan lucu seperti perempuan atau seperti seorang pelawak tanpa kata seperti pantomim. Ada yang hanya ada di sekitar arena pertunjukan, tapi ada juga yang sampai kelaur arena dan disinilah fungsi pawang untuk mengendalikan mereka yang berlebihan. Beberapa kali, pemain yang menubruk orang yang sedang menonton bisa membuat penonton kesurupan juga. Hal itulah yang sering membuat saya takut, jadi ketika sudah mulai kesurupan, saya memilih menghindar. 

Lucunya, beberapa pemain memiliki ke khas an saat kesurupan. Mereka bertingkah yang sama setiap kali kesurupan dan terkenal sehingga banyak yang menanti mereka kesurupan. Mereka dengan tingkah lucu yang sama seperti bertingkah layaknya anak kecil, bertingkah seperti perempuan malu-malu atau hanya diam saja meminta makan. Banyak tingkah lucu, tapi ada juga yang menyeramkan. Biasanya, pawang akan segera menyembuhkan mereka yang bertingkah terlewat batas dan membiarkan mereka yang kesurupan yang tidak membahayakan. Beberapa teman yang kukenal pernah ikut menjadi pemain dalam pertunjukan ini mengatakan kalau mereka tidak sadar saat kesurupan. Ada beberapa yang tidak tahu makan apa akan muntah setelah sadar.

Pawang menjadi penyembuh mereka dari kesurupan dan mengakhiri pertunjukan. Pertunjukan ini cukup menjadi primadona saat kami masih kecil. Aku pun bertanya pada teman yang sampai sekarang masih aktif dan ternyata menjadi ketua organisasi budaya ini. Paguyuban Jaran Kepang Sediyo Utomo  Ngampin Lonjong adalah salah satu perkumpulan budaya yang masih aktif sampai sekarang mengadakan pertunjukan. Paguyuban ini beridiri tahun 1971 dan disahkan oleh Mendikbud tahun 1972. Bagus, salah satu teman saat duduk di bangku SD yang kini mengetuai perkumpulan ini. Mereka masih sering mengadakan pertunjukan baik sekitar Kecamatan Ambarawa maupun di luar Kecamatan Ambarawa sesuai panggilan.

Bagus mengatakan kalau ada 80 orang anggota yang berkomitmen melestarikan budaya tanpa dibayar. Semua anggota bermain tanpa bayaran, hanya bertujuan untuk melesarikan budaya agar tidak punah. Satu kali pertunjukan untuk area Kecamatan Ambarawa mereka mematok harga sekitar 2,5 juta hingga 4 juta, tergantung jauh dekat dan fasilitas yang diminta. Harga tersebut diluar pembuatan panggung dan soundsystem. Mereka gunakan uang sewa itu untuk akomodasi pemain dan sisanya masuk kas untuk pemeliharaan alat dan penambahan alat pertunjukan ataupun pembuatan kostum yang baru.

Bagus menceritakan kalau tidak semua menginginkan adanya adegan kesurupan. Beberapa hanya ingin melihat tariannya saja. Beberapa kali dalam pagelaran ada penari jaran kepang perempuan semua, tapi tentu tidak kesurupan. Mereka berkostum mirip lelaki, memerankan sosok lelaki  berkuda dengan gaya tarian yang lebih luwes. Mempermanis pertunjukan dan sebagai variasi tampilan. Hiburan rakyat ini sampai sekarang masih bisa dinikmati, meski masa pandemi membuat pertunjukan sementara harus vakum. Namun, masih banyak yang tetap setiap melestarikan budaya tanpa pamrih.

Masih banyak paguyuban yang lain di Kabupaten Semarang yang masih melestarikan banyak budaya setempat agar tidak hilang ditelan bumi. Kalau bukan generasi penerus yang peduli siapa lagi? Semua akan tergerus oleh zaman dan hilang ditelan bumi tanpa ada jejak. Tetap pertahankan nilai budayanya, sesuaikan untuk memberi makna yang baik dan memberi pesan moral yang baik bagi generasi selanjutnya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun