Mohon tunggu...
Shabirin Arga
Shabirin Arga Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis, Pengamat Sosial dan Politik

Penulis Muda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Negara dan Agama, Haruskah Bermusuhan?

17 Februari 2020   19:28 Diperbarui: 17 Februari 2020   19:35 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Narasi Agama dan Negara kini dibenturkan kembali, kata musuh yang mengusik dan menganggu alam pikiran rakyat beragama, bukankah ungkapan tersebut begitu ekstrim dan radikal untuk diucapkan di depan publik?

Perdebatan Agama dan Negara muncul kepermukaan pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ini, yang diawali dengan terjadinya revolusi kaum muda Turki dibawah kepemimpinan Mustafa Kemal Pasya pada tahun 20-an. Yang berpuncak dengan dihapuskannya khilafah di Turki. Kemudian pada akhirnya Turki lahir sebagai sebuah republik sekuler yang dengan tegas memisahkan urusan keagamaan dan urusan kenegaraan.

Pristiwa tersebut mempengaruhi cara pandang Presiden pertama Indonesia yaitu Soekarno terhadap Negara dan Agama, bahwa iasetuju atas gagasan tersebut, ditahun yang bersamaan seorang hakim Mahkamah Syariah di Mesir Syeikh Ali Abd Al-Raziq menulis buku dengan judul al islam wa Usul Al-hukmi mengatakan:

"Kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa Agama Islam tidak mengenal lembaga kekhalifahan (keNegaraan) seperti yang selama ini dikenal oleh kaum muslimin. Lembaga kekhilafaan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran Agama. Demikian pula tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran Agama."

Kenyataannya, statement dan gagasan usang tersebut sangatlah tidak relavan dengan faktanya. Sepertinya, memori dua pemikiran tokoh besar bangsa ini perlu diceritakan kembali, tentang pandangannya terhadap Negara dan Agama. Yaitu Muhammad Natsir dan Buya Hamka kemudian beberapa tokoh lainnya. Agar membuka pikiran dan cakrawala kaum-kaum yang alergi terhadap Agama. Kaum Alergi Agama kurang membaca bagaimana sumbangsing dua variabel tersebut bekerja dalam melahir 3 serangkai yang saling berkaitan yaitu manusia, sistem, dan karya.

Negara menurut Hamka diperlukan manusia karena pertimbangan-pertimbangan praktis, tetapi Negara itu bukanlah institusi keAgamaan itu sendiri secara langsung. Negara menurut pandangan Islam, kata Hamka, tidak lain daripada alat untuk melaksanakan hukum kebenaran dan keadilan bagi rakyatnya.

Agama adalah falsafah hidup manusia, yang membentuk cara pandang seseorang menjadi manusia yang visioner, jujur, integritas, cerdas, dan ideal. Sehingga dengan lahirnya manusia yang berkualitas akan mampu menciptakan sebuah sistem atau Negara dan menjalankan sistem tersebut dengan baik dan semaksimalkan mungkin. Apabila sistem yang dibangun baik dan dijalankan dengan baik  juga, akan menghasilkan dan memberikan karya dalam bentuk kesejahteran dan kemakmuran bagi semua orang.

Orang Islam, kata Natsir, mempunyai falsafah hidup dan idiologi sebagaimana Agama atau paham yang lain, dan falsafah serta idiologi itu dapat disimpulkan dalam satu kalimat al-Quran :

"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku"

Oleh karena itu segala aktivitas muslim untuk berbangsa dan bernegara harus ditujukan untuk pengabdian kepada Allah. Yang tentunya berbeda dengan tujuan mereka yang berpaham netral Agama. Untuk itu, Tuhan memberi berbagai macam aturan mengenai hubungan dengan Tuhan dan aturan mengenai hubungan di antara sesama makhluk yang berupa kaidah-kaidah yang berkenaan dengan hak dan kewajiban. Itulah sebenarnya yang oleh orang sekarang disebut "urusan kenegaraan".

Mengutip Menurut Ibn Khaldun, "bahwa peranan Agama sangat diperlukan dalam menegakkan Negara. Ia melihat peranan Agama dalam upaya menciptakan solidaritas dikalangan rakyat, dan rasa solidaritas akan mampu menjauhkan persaingan yang tidak sehat, justru seluruh perhatiannya terarah pada kebaikan dan kebenaran. Dengan Agama pula tujuan solidaritas menjadi satu. Apa yang diperjuangkan bersama itu adalah untuk semua warga dan semuanya siap untuk mengorbankan jiwa untuk mencapai tujuannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun