Jaringan listrik dan internet pun merata. PAM memang tidak mungkin di daerah perbukitan seperti itu. Namun, air tidak menjadi persoalan, karena tersedia cukup mata air berkat terpeliharanya pepohonan.
Ya, sebuah daerah yang semakin asri, membuat kami selalu kangen untuk kembali. Hampir setiap tahun aku mudik ke kampung halaman, berkumpul bersama kakak-kakaku yang tinggal di berbagai kota lainnya. Reuni keluarga.
Ini memang kali pertama bagi Mas Wandi pada masa pensiunnya, berkumpul bersama kakak adiknya. Kupikir baru kali ini ia mengalami kegalauan. Aku duduk mendampinginya. Aku ajak dia bicara. Dan ia pun bercerita.
“Setiap kali berkumpul dengan kakak-kakak dan adikku, aku menjadi keki, minder, dan sedih,” katanya.
“Kenapa Mas?” tanyaku.
“Bagaimana dak sedih. Mereka bisa cerita tentang anak-anak, tentang cucu-cucu, tentang besan. Saya…, mau cerita apa…?” kembali air matanya mengalir. Ia sesenggukan.
“Oh, maafkan kami Mas,” aku menyela sambil telapakku mengelus punggungnya. Suasana menjadi sangat hening dan kaku. Air mataku pun ikutan menetes.
“Kalian tidak bersalah, tak perlu minta maaf,” lanjut Mas Wandi. “Aku memaklumi dan bisa mengerti.”
Sejenak cerita terhenti lagi. Air mata yang kembali tercurah menjadikan Mas Wandi tak mampu berkata-kata. Aku pun ikut larut dalam keharuan. Sesaat kemudian, Mas Wandi melanjutkan ceritanya,
“Sebenarnya, aku sudah dengan rela dan tulus menerima ‘takdir’ku ini, bahwa Tuhan tidak menganugerahi aku keturunan. Kecemasan memang bermula ketika usia perkawinanku dengan Arin menginjak lima tahun.
Kala itu kami masih selalu berharap dan berdoa, pasti Tuhan mendengarkan doaku. Ketika Arin genap usia 40, dan perkawinan kami sudah 15 tahun, harapan itu mulai pudar.