Mohon tunggu...
F. Sugeng Mujiono
F. Sugeng Mujiono Mohon Tunggu... Lainnya - Pensiunan

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wandi, Kegelisahan Menjelang Lansia

14 Januari 2022   08:00 Diperbarui: 14 Januari 2022   08:05 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jaringan listrik dan internet pun merata. PAM memang tidak mungkin di daerah perbukitan seperti itu. Namun, air tidak menjadi persoalan, karena tersedia cukup mata air berkat terpeliharanya pepohonan. 

Ya, sebuah daerah yang semakin asri, membuat kami selalu kangen untuk kembali. Hampir setiap tahun aku mudik ke kampung halaman, berkumpul bersama kakak-kakaku yang tinggal di berbagai kota lainnya. Reuni keluarga.

Ini memang kali pertama bagi Mas Wandi pada masa pensiunnya, berkumpul bersama kakak adiknya. Kupikir baru kali ini ia mengalami kegalauan. Aku duduk mendampinginya. Aku ajak dia bicara. Dan ia pun bercerita.

“Setiap kali berkumpul dengan kakak-kakak dan adikku, aku menjadi keki, minder, dan sedih,” katanya.

“Kenapa Mas?” tanyaku.

“Bagaimana dak sedih. Mereka bisa cerita tentang anak-anak, tentang cucu-cucu, tentang besan. Saya…, mau cerita apa…?” kembali air matanya mengalir. Ia sesenggukan.

“Oh, maafkan kami Mas,” aku menyela sambil telapakku mengelus punggungnya. Suasana menjadi sangat hening dan kaku. Air mataku pun ikutan menetes.

“Kalian tidak bersalah, tak perlu minta maaf,” lanjut Mas Wandi. “Aku memaklumi dan bisa mengerti.”

Sejenak cerita terhenti lagi. Air mata yang kembali tercurah menjadikan Mas Wandi tak mampu berkata-kata. Aku pun ikut larut dalam keharuan. Sesaat kemudian, Mas Wandi melanjutkan ceritanya,

“Sebenarnya, aku sudah dengan rela dan tulus menerima ‘takdir’ku ini, bahwa Tuhan tidak menganugerahi aku keturunan. Kecemasan memang bermula ketika usia perkawinanku dengan Arin menginjak lima tahun. 

Kala itu kami masih selalu berharap dan berdoa, pasti Tuhan mendengarkan doaku. Ketika Arin genap usia 40, dan perkawinan kami sudah 15 tahun, harapan itu mulai pudar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun