Mohon tunggu...
Sevia Bella Avista
Sevia Bella Avista Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta NIM: 22104080009

Selanjutnya

Tutup

Seni

Film Baru, Gaya Lama Dilabrak Habis

20 Juni 2025   19:51 Diperbarui: 20 Juni 2025   20:42 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya absurd dan spontan film ini tampak dalam kekacauan yang dipertahankan, termasuk momen tak terduga seperti "Feni mantep jatuh". (Dok. Pribadi) 

Pendekatan tersebut menjadikan proses kreatif sebagai bagian dari narasi itu sendiri. Film ini secara sadar menampilkan kekacauan produksi, termasuk kesalahan teknis, gangguan kru, atau dialog yang terpotong karena tawa pemain. Alih-alih disembunyikan, elemen-elemen ini justru menjadi nilai utama yang memperkaya penyampaian cerita.

 Salah satu momen dalam bagian akhir film yang memperlihatkan gaya santai dan penuh improvisasi khas GJLS, bahkan di bagian kredit.  (Dok. Pribadi)
 Salah satu momen dalam bagian akhir film yang memperlihatkan gaya santai dan penuh improvisasi khas GJLS, bahkan di bagian kredit.  (Dok. Pribadi)

Dari segi isi, film ini juga mengangkat berbagai isu sosial kontemporer seperti pinjaman online, perjudian digital, tekanan ekonomi keluarga, hingga relasi rumah tangga yang timpang. Isu-isu ini dibungkus dalam komedi absurdis yang cerdas dan jenaka, membuat penonton merenung tanpa merasa digurui.

"Awalnya saya pikir cuma bakal nonton film lucu-lucuan," ujar Dyah. "Tapi ternyata banyak sindiran sosialnya juga, apalagi pas tokoh ibu-ibunya cerita tentang utang, rumah tangga, sampai anak-anak mereka. Jadi berasa dekat, kayak cerita tetangga sendiri tapi dibikin lebay."

Film ini juga menjadi tonggak penting bagi GJLS, grup komedi yang dikenal melalui platform digital seperti YouTube dan podcast. Dengan memboyong gaya khas mereka ke layar lebar, film ini menandai transisi konten digital ke format sinema yang lebih terstruktur namun tetap mempertahankan spontanitas khas dunia daring.

Menurut pengamatan awal, respons penonton cukup positif, terutama dari kalangan muda yang akrab dengan gaya bercanda GJLS. Namun, sebagian penonton dari kalangan umum menganggap film ini terlalu bebas dan "berantakan" secara struktur. Meski begitu, keberanian mengeksplorasi pendekatan baru tetap diapresiasi sebagai langkah maju dalam perfilman nasional.

Film ini juga menghadirkan alternatif di tengah dominasi film-film bergenre horor dan drama romantis yang kerap bermain aman dengan formula lama. Dengan estetika sederhana dan minim efek visual, kekuatan utama film ini terletak pada pendekatan naratifnya yang tidak lazim namun jujur dan komunikatif.

Secara produksi, film ini menunjukkan bahwa inovasi dalam sinema tidak harus bergantung pada bujet besar atau teknologi tinggi. Keberanian untuk menampilkan proses, improvisasi, dan ketidaksempurnaan justru membuka ruang baru bagi kebebasan berekspresi dalam industri film lokal.

GJLS: Ibuku Ibu-Ibu lulus sensor dan tayang resmi untuk 17 tahun ke atas, sesuai ketetapan Lembaga Sensor Film RI. (Dok. Pribadi) 
GJLS: Ibuku Ibu-Ibu lulus sensor dan tayang resmi untuk 17 tahun ke atas, sesuai ketetapan Lembaga Sensor Film RI. (Dok. Pribadi) 

Dalam durasi sekitar 1jam 35menit, GJLS: Ibuku Ibu-Ibu menjelma menjadi lebih dari sekadar hiburan komedi. Ia menjadi bentuk eksplorasi kreatif yang tidak hanya menyajikan cerita, tetapi juga mempertanyakan bagaimana cerita seharusnya disampaikan di layar lebar. Dalam konteks tersebut, film ini berperan sebagai pernyataan artistik sekaligus eksperimen format, memperluas batas kemungkinan dalam sinema Indonesia.

Film ini juga mencerminkan dinamika baru dalam ekosistem kreatif Indonesia, di mana konten digital tidak lagi dipandang sebagai lawan sinema, melainkan sebagai sumber regenerasi ide dan talenta. GJLS yang awalnya dikenal sebagai pengisi konten komedi daring, kini membuktikan bahwa karakter dan gaya khas mereka dapat diadaptasi ke medium yang lebih besar tanpa kehilangan keaslian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun