Membahas gender umumnya kita akan ikut teringat pada kesenjangan gender. Bagaimana seorang perempuan harus memiliki sisi feminin, dan laki-laki harus memiliki sisi maskulin.
Selama ini banyak dari kita yang berpikir bahwa perempuan adalah satu-satunya korban dari pengkotak-kotakan gender. Padahal laki-laki juga kerap menjadi korban dari pengkotak-kotakan ini. Hanya saja jarang terlihat, ibarat ini adalah teori gunung es.
Ambil contoh pada kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual. Bukan maksud untuk menjustifikasi perempuan, bila korbannya adalah perempuan, masyarakat lebih maklum, meski korban juga sering dipersalahkan pada apa yang bukan persoalannya.Â
Namun akan berbeda bila laki-laki yang menjadi korban. Kerangka maskulinitas telah menjebak laki-laki untuk diam saja pada apa yang dialaminya. Maskulinitas menuntut seorang laki-laki sebagai pihak dominan dan superior.
Selanjutnya adalah pada konsumsi produk. Seorang laki-laki mau tak mau harus menggunakam produk yang dilabeli sebagai produk maskulin. Shampo, pembersih wajah, sabun mandi, semuanya harus pakai yang khusus pria.
Bila ada yang kedapatan memakai produk yang umumnya dipakai perempuan maka akan diejek, bahkan dikucilkan dari pergaulan. Padahal penggunaan produk merupakan persoalan selera dan kecocokan pada kandungan produk.Â
Lagi dan lagi, soal selera. Jebakan maskulinitas dan femininitas menjebak kita pada batasan selera. Laki-laki seleranya harus seperti ini tidak boleh seperti itu, serta perempuan seleranya harus seperti ini tidak boleh seperti itu.
Berikutnya adalah produk perawatan kulit. Beberapa waktu ke belakang, laki-laki yang kedapatan menggunakan produk perawatan kulit di luar pembersih wajah akan dirundung karena berlaku keluar dari zona maskukin.Â
Pandangan tersebut beberapa tahun ini mulai memudar, sudah banyak pemasaran produk perawatan kulit untuk pria. Meski demikian, masih ada saja konsep jebakan maskulinitas di dalam pemasarannya.