Mohon tunggu...
Robi Setyanegara
Robi Setyanegara Mohon Tunggu... -

Pengamat politik; Kandidat Master Ilmu Politik Universitas Indonesia; Aktivis Rumah Kepemimpinan; Dapat dihubungi di setyarobi@yahoo.com atau 085645057046

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca Demokrasi Kita: Kritik atas Gagasan Hatta tentang Sistem Pemerintahan

20 Oktober 2016   09:51 Diperbarui: 20 Oktober 2016   10:06 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini adalah tinjauan kritis terhadap pemikiran Hatta - terutama mengenai operasionalisasi pemerintahan - yang tertuang di dalam sebuah buku dengan identitas sebagai berikut:

Penulis : Mohammad Hatta

Judul : Demokrasi Kita : Pikiran-pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat

Penerbit : Sega Arsy, Bandung

Tahun : 2014

Di dalam catatan sejarah modern kenegaraan Indonesia, Mohammad Hatta merupakan tokoh yang memiliki sumbangsih sangat berarti bagi proses kemerdekaan dan masa sesudahnya. Buku yang akan ditinjau secara kritis dalam tulisan ini merupakan buah pemikirannya yang menitikberatkan pada konsep demokrasi yang dirasanya paling sesuai dengan konteks Indonesia. Namun demikian, dari segenap pemaparannya yang memukau, ternyata dalam gagasan Hatta tentang sistem pemerintahan dalam konsep demokrasi mengandung ketidakjelasan yang, menurut penulis, hal tersebut krusial untuk dikritisi.

Mula-mula Hatta menjelaskan tentang demokrasi yang tengah berkembang di negara Barat sejak abad ke XVIII yang berawal dari Revolusi Perancis. Menurutnya, demokrasi demikian itu di satu sisi tidak saja membawa manusia pada kebebasan, melainkan di sisi yang lain juga menjerumuskan kehidupan manusia pada tatanan individualisme. Semua manusia bebas seusai dengan kehendaknya dan atas kepentingan dirinya sendiri. Oleh karenanya, menurut Hatta, demokrasi tidak seharusnya melahirkan individualisme, tetapi harus mengarah pada kehidupan yang terbingkai dalam kolektivisme. Demokrasi juga harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat di mana rakyat memegang kendali tertinggi atas jalannya roda pemerintahan. Oleh karena di dalam konteks modern tidak mungkin demokrasi dilaksanakan secara langsung, dalam arti segala keputusan dan pengawasan terhadap pemerintah diserahkan kepada rakyat banyak, maka, menurut Hatta, perlu diadakan dewan rakyat yang selanjutnya disebut dengan parlemen sebagai perwakilan rakyat. Dari sinilah gagasan Hatta mulai menimbulkan kebingungan ketika ia kemudian menjelaskan sistem pemerintahan yang menurutnya sesuai dengan nilai-nilai demokratis.

Di dalam konsepnya tentang sistem pemerintahan, ia menempatkan kedaulatan rakyat pada posisi yang amat luhur. Kedaulatan rakyat itu kemudian diaplikasikan dalam parlemen yang dipilih oleh rakyat sebagai perwakilannya. Sebagai konsekuensinya, parlemen menjadi pengejawantahan dari kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh rakyat. Sebelum masuk ke dalam konteks Indonesia, ia sejenak menjelaskan pengalaman demokrasi yang terjadi di Eropa. Ia menulis, “Menurut dasar demokrasi sekarang (yang berkembang di Eropa), pemerintah dapat berdiri kalau diakui dan disetujui oleh parlemen”(hal 23). Karena ada unsur persetujuan parlemen, maka, lanjutnya, “pemerintahan yang semacam itu boleh dinamai pemerintahan rakyat” (hal 24).

Ternyata, pengalaman demokrasi di Eropa yang penerapannya lebih dekat pada sistem pemerintahan parlementer berhasil membuat Hatta terkesima dan turut mempengaruhi corak pemikirannya terhadap sistem pemerintahan di Indonesia. Bagaimanapun Hatta menekankan kedaulatan rakyat yang merupakan esensi dari model demokrasi. Pada bagian berikutnya, ia mulai masuk ke dalam konteks Indonesia dan memberikan pandangan mengenai bagaimana penerapan pemerintahan demokratis yang sesuai dengan Indonesia. Persis sebagaimana ia mengagumi penerapan demokrasi di Eropa, dalam gagasannya ia merekomendasikan konsep sistem pemerintahan yang notabene bercorak parlementer. Ia menjelaskan, “Jika politik yang dijalankannya (pemerintah) tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah terpaksa mengundurkan diri. Tetapi apabila cukup bukti bagi pemerintah untuk menduga bahwa sikap yang diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat tidak lagi sesuai dengan cita-cita dan kemauan rakyat, maka ia meminta pertimbangan kepada rakyat. Dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan dan diadakan pemilihan baru” (hal 81).

Tetapi, anehnya, pada bagian yang lain, ia justru memberikan kritis keras atas beralihnya sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer. Ia menyebutkan, “Semangat yang ultra-demokratis yang merajalela di dalam dada pemimpin-pemimpin partai mengubah sistem pemerintahan dan pemerintah presidensil yang tertanam di dalam UUD 1945 menjadi kabinet parlementer”(hal 91).Pernyataannya itu menunjukkan bahwa ia di sisi yang lain mendukung sistem presidensial. Selanjutnya menulis, “Sistem kabinet parlementer seperti yang berlaku di Eropa Barat, di mana pemerintah bertanggungjawab kepada parlemen, orang anggap lebih demokratis daripada sistem pemerintahan presidensiil. Orang lupa, bahwa Indonesia dalam masa peralihan ke pemerintahan nasional yang demokratis perlu akan suatu pemerintahan yang kuat (presidensial)” (hal 91).

Antara gagasan Hatta yang berbau parlementer dan sikapnya yang memihak kepada corak pemerintahan presidensial sesungguhnya sangat membingungkan. Kalaupun pada prinsipnya Hatta mengusung sistem presidensial, itu berarti gagasan Hatta tentang pemerintahan yang demokratis bercorak parlementer tidaklah sesuai. Karena, pertama, Hatta mengatakan bahwa pemerintah (presiden dan kabinetnya) dapat dibentuk atas persetujuan DPR. Kedua, ia menambahkan, pemerintah dapat dibubarkan oleh DPR, pun sebaliknya, DPR dapat dibubarkan oleh pemerintah. Semua itu, menurut Hatta, adalah bagian dari menegakkan demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Pemikiran Hatta itu berlawan dengan konsep sistem presidensial, di mana semestinya pemerintah dibentuk tidak atas persetujuan DPR. Dalam sistem presidensial, presiden memiliki masa jabatan yang pasti (fixed term). Sehingga, menurut Lijphart, presiden tidak mudah dijatuhkan oleh parlemen.[1] Lembaga parlemen pun memiliki masa yang tetap sehingga tidak bisa dibubarkan oleh presiden.[2] Hal ini tentu saja bertolak belakang dari pemikiran Hatta yang lebih condong pada konsep parlementer, sekalipun ia kukuh memihak kepada presidensial. Ia sendiri mengatakan bahwa pemerintah dapat dibubarkan oleh parlemen melalui mosi tidak percaya. Jelas itu adalah konsep sistem parlementer yang, menurut Yudha, parlemen secara mudah dapat menjatuhkan kabinet hanya karena alasan politik, yaitu melalui mekanisme yang biasa disebut mosi tidak percaya (vote of cencure) terhadap kinerja kabinet dan terhadap kebijakan pemerintah.[3] Jika memang sistem ini yang diusung oleh Hatta, maka akan terjadi dominasi parlemen terhadap eksekutif sebagaimana terjadi pada Indonesia sebelum 1959 yang akibatnya mengganggu kontinuitas kebijakan pemerintah.[4]


[1] Arend Lijphart, Democracies Pattern of Majoritarian and Consesnsus Government in Twenty-One Democracies,New Heaven and London : Yale University Press, 1984, hlm 72

[2] Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial,Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995, hlm 4-6

[3] Hanta Yudha, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm 18

[4] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm 298

Daftar Pustaka

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Hatta, Mohammad. 2014. Demokrasi Kita.Bandung: Sega Arsy

Lijphart, Arend. 1984. Democracies Pattern of Majoritarian and Consesnsus Government in Twenty-One Democracies.New Heaven and London: Yale University Press

_____________ 1995. Sistem Pemerintahan dan Presidensial.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Yudha, Hanta. 2010. Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun