Mohon tunggu...
Hajar Setyaji
Hajar Setyaji Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Jambi

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Saatnya Rain Harvesting

28 Desember 2014   05:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:20 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bulan-bulan ini saatnya musim hujan. Hampir semua wilayah di Indonesia mengalami musim hujan. Air melimpah dimana-mana, bahkan terjadi banjir yang cukup tinggi. Hujan adalah anugerah yang harus kita syukuri, bukankah kita baru lepas dari bencana sesak napas kabut asap dan kekeringan. Jika kita tengok data keberadaan air tawar didunia ini hanya sekitar 2.4 % dari total jumlah air di bumi. 2.4 % air tawar berada di tersebar diseluruh daratan yang luasnya 28,9 % dari luas bumi, ada daerah yang kurang air tawar, dan ada daerah yang cukup air tawarnya. Saat penduduk belum padat keseimbangan alam berjalan harmonis.

Air hujan mencurah ke bumi dengan volume yang relatif tetap setiap tahun, sementara permukaan bumi berubah sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan jumlah penduduk. Lahan yang semula merupakan hutan dirubah menjadi lahan budidaya. Kawasan pegunungan yang sejuk dan lembab menjadi kawasan permukiman, hotel dan vila, tanah terbuka menjadi aspal dan lapisan beton, perkembangan masyarakat agraris perlahan tapi pasti berubah menjadi masyarakat industri. Lahan pertanian menjadi lahan industri, sungai-sungai mengalami penciutan dan pendangkalan akibat adanya sedimentasi. Kondisi tersebut mengakibatkan banjir.

Air tawar yang dicurahkan kebumi menjadi bencana, tidak lagi membawa kemakmuran, air tidak lagi menumbuhkan tanaman tetapi menenggelamkan. Keadaan tersebut seyogyanya bisa dikurangi atau diantisipasi. Saat musim hujan sebanarnya adalah saat rain harvesting (memanen air hujan). Eksploitasi tanah dan air yang tidak di imbangi dengan pasokan air telah terbukti membawa berbagai bencana berupa penurunan permukaan tanah (kasus di Jakarta), timbulnya lahan kritis, Daerah Aliran Sungai (DAS) yang rusak, menurunnya cadangan air tanah, dan lain sebagainya.

Rain harvesting metupakan metode yang ditawarkan untuk memperbaiki kerusakan lahan, rain harvesting merupakan konsep menahan kecepatan aliran hujan  menuju lautan, sehingga memungkinkan air tawar tersebut dapat dimanfaatkan sebaik mungkin pada saat kekeringan. Terdapat beberapa teknologi yang sudah tersedia untuk rain harvesting yaitu, teknologi biopori, sumur resapan dan pembuatan waduk. Pembuatan biopori pada lahan tertentu dapat membantu menangkap air hujan kedalam tanah, tetapi cara ini tidak efektif untuk menagkap  air hujan dalam jumlah yang tinggi. Pembuatan sumur resapan memiliki kemampuan menangkap air hujan dalam jumlah yang besar tetapi masih memerlukan pengkajian yang lebih lanjut tentang dampak yang ditimbulkan (misalnya timbulya rongga dan ceruk dalam tanah, potensi landslide). Pembuatan waduk menjadi alternatif yang paling mungkin untuk diaplikasikan.

Pada masa lalu waduk dibangun untuk kepentingan irigasi lahan pertanian semata, sehingga rata-rata waduk dibangun pada ketinggian yang relatif rendah dibawah 250 m dpl. Pembangunan waduk pada dataran rendah memiliki keuntungan dilihat dari kapasitas air waduk yang besar, tetapi juga memiliki kelemahan yaitu resiko pendangkalan akibat sedimentasi, dan membiarkan daerah tangkapan air diatasnya bekerja  sesuai dengan sifat alamiahnya. Untuk kepentingan peningkatan kapasitas serapan air dan pasokan air tanah sebaiknya kawasan diatas waduk juga perlu direkayasa.

Pengalihan lahan hutan menjadi lahan perkebunan juga telah menjadi penyebab rusaknya DAS-DAS di Sumatra. Pada bagian hulu, umumnya lahan perkebunan tidak dirancang dengan sistem terasering, sehingga air segera melimpas dan bermuara di sungai, pembangunan terasering pada lahan perkebunan sebenarnya menjadi lahan untuk rain harvesting, sementara pembukaan lahan gambut untuk perkebunan akan menurunkan air tanah sehingga memicu kebakaran dilahan gambut, sehingga diperlukan ijin yang ketat dan selektif. Pembukaan lahan gambut sebaiknya memperhatikan ketinggian air minimal yang harus ada, misalnya dengan membuat batas bawah air yang boleh dibuang dari lahan tersebut.

Pekerjaan rain harvesting memang masih menyisakan PR yang besar, ibarat puncak gunung es. Mudah-mudahan air hujan yang tercurah kedepan lebih bisa dimanfaatkan secara maksimal. Amin

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun