Kita semua pasti sudah terbiasa mendengar omongan dari orang sekitar yang seringkali membanding-bandingkan bagaimana hidup di generasinya dengan generasi sekarang. Mengenai sikap dan perilaku antara satu sama lain pun tak luput dari bahan perbincangan.
"Anak zaman dulu kayaknya nggak gini-gini banget, deh"
"Anak zaman sekarang mainannya Cuma hape aja nggak mau bersosialisasi"
"Kita dulu kalau mau main langsung nyamperin ke rumah, manggil namanya. Anak sekarang mana ada yang gitu, semuanya lewat hape!"
Well, di satu sisi ada benarnya. Tapi, di sisi yang lain kita pun tidak bisa membatasi eksplorasi anak terhadap perkembangan zaman. Salah satunya bermain hape, yang saat ini semakin lekat dengan banyak anak-anak zaman sekarang.
Dan berkata seperti yang dicontohkan pada kutipan sebelumnya, terlebih jika membandingkan antara generasi satu dengan yang lain, rasanya nggak fair. Sebab sederhananya, beda generasi, pasti akan beda perkembangan dari berbagai aspek. Teknologi, ekonomi, sosial-budaya, dan lain sebagainya.
Karena hal itu pula, anak-anak zaman sekarang dicap sebagai generasi yang kurang beruntung karena tidak sempat merasakan keseruan apa pun yang dialami oleh generasi 90-an. Sekali lagi, beda generasi, pasti akan beda apa-apa yang dialami. Termasuk pemilihan kegiatan yang dijalani sekaligus permainan apa yang dimainkan.
Anak zaman sekarang, seringkali kena julid nggak mau mengenal apalagi memainkan permainan tradisional. Eits, tunggu dulu. Memangnya benar demikian?
Atau jangan-jangan, justru hal tersebut juga dipicu oleh orang sekitar (termasuk orang tua) yang sudah enggan untuk mengenalkan jenisnya dan bagaimana permainan tradisional dimainkan, lalu lebih memilih memberi gadget agar tidak repot ketika mengasuh anak.
Cukup fair dari kedua sisi, bukan? Dibanding hanya mengambinghitamkan anak juga generasi sekarang yang katanya tidak familiar dengan permainan tradisional.
Faktor lain yang cukup kontras dan sering kita lihat, juga rasanya akan sulit untuk digugat, adalah berkurangnya lahan bermain di sekitar yang disulap menjadi gedung bertingkat, perumahan, ruko, dan lain sebagainya.
Jika lahan bermain saja berkurang, lalu bagaimana anak-anak bisa bermain dan mengenal permainan tradisional?
Pasalnya, permainan tradisional banyak mengandalkan ketangkasan juga gerakan aktif dari para pemainnya. Berlari, mengejar satu sama lain, mencari tempat persembunyian, dan lain sebagainya.
Jika lahan bermain yang luas sudah disulap menjadi bangunan bertingkat demi keuntungan pribadi, bagaimana anak-anak bisa berekspresi melalui ragam permainan tradisional? Dengan atau tanpa menggunakan peralatan tambahan.
Mungkin, ada beberapa pihak swasta yang bekerjasama dengan pemerintah setempat perihal pembuatan lahan bermain atau ruang terbuka hijau, namun rasanya belum maksimal dan belum bisa dirasakan manfaatnya oleh banyak kalangan.
Untuk urusan ini, semoga semakin banyak lagi gerakan dari pemerintah setempat dan pihak swasta yang memerhatikan lahan bermain untuk anak-anak, yang dikombinasikan dengan adanya edukasi atau pengenalan mengenai ragam permainan tradisional di Indonesia.
Lumayan, kan? Selain jadi pusat wisata dan rekreasi, anak-anak zaman sekarang pun tetap bisa mempelajari bagaimana cara main permainan tradisional. Jadi, tidak perlu lagi menyalahkan anak sekarang tanpa alasan dan solusi.
Sebetulnya, bisa saja orang tua dan banyak anak yang bisa memanfaatkan lahan di sekitar tempat tinggal walau pun terbilang kurang luas untuk bermain permainan tradisional. Hanya saja, tentu sensasinya akan terasa berbeda.
Meski sensasi terasa berbeda, soal keceriaan saya rasa akan tetap sama di antara anak-anak yang bermain. Dan untuk para orang tua, bisa juga sambil bernostalgia ketika melihat anak-anak zaman sekarang bermain permainan tradisional.
Segala sesuatu memang ada masanya, termasuk permainan tradisional yang menurut sebagian orang sudah hampir dilupakan. Namun, perlu juga disadari bahwa, kesempatan untuk melestarikan tetap harus digalakkan.
Lagipula, masa hanya menyalahkan anak zaman sekarang tapi diri sendiri tidak ikut melestarikan sekaligus memberi contoh bagaimana cara bermain permainan tradisionalnya, sih. Apa nggak egois namanya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI