Mohon tunggu...
Setoprayogi SP
Setoprayogi SP Mohon Tunggu... - -

suka pada budaya dan tradisi Nusantara... hobi membuat konsep acara...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wonderful Eclipse, Merdekakan Konsep Menikmati Peran

25 Maret 2016   17:19 Diperbarui: 25 Maret 2016   17:33 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jangan takut pada hal-hal yang belum pasti…

 

Kata-kata sederhana dan mungkin cenderung biasa-biasa saja untuk bersanding dengan kutipan-kutipan kata mutiara yang banyak bermunculan lewat meme sosial media… Apalagi jika seorang yang mengatakan itu adalah, saya!!! Tapi bagaimana kalau yang mengucapkan itu adalah orang sekaliber Soeharto, atau Soekarno? Atau yang lebih ekstrim, bagaimana jika kalimat itu diucapkan oleh seorang mahapatih Gajah Mada (dan) di saat bersamaan ada sosok Pramoedya Ananta Toer di sebelahnya yang siap merekam serta menulis moment ini dalam ratusan atau ribuan kata dalam bukunya??!!! Aahhh, sudahlah, membayangkan kelanjutannya mungkin bisa membuat setengah badan saya lumpuh…

 

Gerhana Matahari Total (GMT) 11 Juni 1983 akan dikenang sebagai salah satu peristiwa yang menggemparkan (sekaligus menakutkan) bagi masyarakat di Pulau Jawa. Penyebabnya, penduduk Jawa ketika itu masih mempercayai mitos seputar gerhana. Orang tua saya sendiri menceritakan kisah menarik yang berkembang di masa itu, bahwa gerhana adalah peristiwa Batara Kala memakan matahari. Untuk menggagalkannya, orang harus membunyikan suara suara gaduh, kentongan, lesung, dll untuk mengusirnya. Tanaman, pohon-pohon buah, ternak harus diselamatkan. Yang paling mengerikan adalah, Batara Kala bisa membutakan mata siapapun yang melihatnya.

 

33 tahun berlalu, tepatnya pada 9 Maret 2016 masyarakat Indonesia kembali kedatangan ‘hajatan istimewa’ tersebut. Gerhana Matahari Total lagi!!! Menariknya, sambutan yang kontras justru terjadi pada tahun ini. Poster-poster bermunculan sebelum datangnya gerhana. Pesta dan perayaan penyambutan disiapkan di banyak tempat. Gerhana matahari yang sebelumnya sangat ditakuti, kini tidak sabar dinantikan kedatangannya. Dia yang dulu dibenci, kini diinginkan (hampir) semua orang… From Zero to Hero… Dari seorang Judas dia telah menjelma Mesiah!!!! (cukuppp…!!! pengandaian ini sepertinya berlebihan…)

 

[caption caption="infografis gerhana dari detik"][/caption]Kisah yang dialami gerhana ini seakan mengingatkan saya pada sosok Tommy dalam serial andalan waktu kecil dulu, Power Rangers. Tommy adalah ranger hijau ciptaan ratu kejahatan Rita Repulza. Sebagai ciptaan sosok jahat, Tommy menjadi musuh utama pasukan ranger yang menakutkan. Apalagi, Tommy juga dibekali dengan Dragonzord, sosok robot raksasa berwujud naga yangsupercool!!!! Tidak butuh waktu lama bagi Tommy untuk menjadi seorang ‘anti-hero idola’, sampai akhirnya Zordon menyadarkan Tommy dan bergabung dengan pasukan Power Ranger untuk berbalik memusuhi Rita Repulza…

 

Pada akhirnya, analogi kisah gerhana dengan Tommy si ranger hijau ini hanyalah ‘otak-atik gathuk’, ilmu cocoklogy kalau istilah jaman sekarang. Keduanya adalah mahakarya. Jika Power Rangers adalah karya film untuk anak-anak, maka gerhana matahari adalah karya alam yang memang dipersembahkan untuk kita. 33 tahun silam karya ini ditampilkan di Indonesia sebagai sosok yang misterius. 


Kondisi masyarakat yang masih sangat minim informasi itu diserap kemudian dihadirkan ke dalam sosok-sosok spiritual melalui cerita Betara Kala dan lain-lainnya. Publikasi yang sangat tepat sasaran karena masyarakat Indonesia memang telah lama mengenal ‘mitologi dewa-dewi’ dan ritual tradisional semacamnya. Kemudian sampailah kini di tahun 2016. Tahun dimana masyarakat telah jauh mengenal informasi dan teknologi yang jauh lebih berkembang. 


Konsep spiritual dengan publikasi yang sama tentu tidak akan tepat sasaran, sementara agenda gerhana mau tidak mau harus tetap dilaksanakan sesuai jadwalnya… EO penyelenggara gerhana tentu berpikir keras menyikapi hal ini. Mereka butuh tindakan-tindakan kreatif yang menerobos stagnasi, lebih banyak kebijakan yang disusun dengan cermat, detail dan dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan.

 

Maka panitia mulai dibentuk, konsep dimatangkan, dan rundown disusun untuk menghadirkan hajatan 33 tahun sekali ini. Selayaknya hajatan, untuk memeriahkannya maka alam mengajak warga Indonesia untuk kembali berpesta. Nyatanya, konsep tahun ini benar benar mencerminkan terobosan dibanding sebelumnya, SCIENCE…

 

Konten-konten pendukung segera dipersiapkan dengan cermat. Tugas pertama adalah memastikan bahwa pengetahuan masyarakat akan gerhana matahari total selama jeda 33 tahun ini benar-benar berubah. ‘Cek Ombak’ sudah dilakukan beberapa tahun sebelumnya dengan membuat gerhana matahari sebagian yang mampu membuat animo masyarakat sedikit tergerakkan. Setelah yakin benar bahwa masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup, maka saatnya untuk mengubah total mindset akan pengaruh dan kuasa gerhana matahari. 


Hal yang kemudian kita tahu, e-flyer yang menampilkan perbandingan mitos dan fakta gerhana bermunculan di internet. Para ahli astronomi pun tak kalah kebanjiranjob-desc dengan menjadi penyampai pesan melalui radio, televisi maupun media cetak, dll. Merayakan science berarti memastikan bahwa Indonesia tidak kekurangan orang-orang akademik, bahwa masyarakat mampu menikmati pengetahuan dan bahwa bangsa Indonesia tidak sebodoh brand yang mengatakan sebagai “negara dengan tingkat pendidikan yang hanya menempati peringkat ke bla bla bla…”

 

SUKSES!!!!

Panitia gerhana layak bangga karena hajatan tahun ini berhasil mengundang animo yang sangat besar dengan konsep barunya. Ketakutan bahwa konsep baru ini akan susah diterima masyarakat sirna seketika. Gelaran karya bertajuk ‘Gerhana Matahari Total 2016’ nyatanya sampau menyihir seantero penduduk dunia. 


Dimulai dari trending topicbeberapa social media, pemberitaan besar-besaran dari media massa, hingga kemunculan pedagang-pedagang kreatif yang memperjual-belikan teropong, kacamata gerhana, hingga sekedar berjualan minuman dan makanan ringan di beberapa spot dan ‘posko melihat gerhana’ adalah indikator ringan suksesnya sebuah pagelaran. Pemerintah bahkan mendorongnya lagi menjadi sebuah kampanye pariwisata. Sebuah keberhasilan nyata yang kompleks.

 

Tidak ada gambling dalam penyelenggaraan tahun ini. Semua perubahan konsep ini diukur secara cermat dan terperinci, sangat rigid. Mereka sadar bahwa karya yang bisa dimengerti hanyalah karya yang sesuai dengan ketentuan yang sedang berlaku dan sejalan dengan pemahaman-pemahaman yang terjadi saat ini, bahwa karya dibuat sesuai dengan kondisi dan situasi yang berkembang dalam masyarakat. Panitia yang tahu benar bahwa tahun-tahun belakangan ini adalah tahunnya science, bukan lagi tahun spiritual seperti 33 tahun silam, maka karya-karya yang melibatkan science (terutama diwakili oleh data-data statistik) adalah karya yang diakui (sekaligus dipercaya) sebagai kebenaran absolut (untuk masa sekarang). Sebuah pemikiran yang cemerlang dan sangat logis.

 

Yang kemudian menjadi menarik, fenomena dan kecenderungan budaya dari perilaku masyarakat Indonesia sudah lama terekam secara ilmiah, salah satunya melalui indexhofstede. Hofstede adalah salah satu (kelompok/organisasi) yang membuat index untuk mengukur perilaku negara-negara ke dalam 5 dimensi budaya, yaitu: PowerDistance, Individualism vs Collectivism, Uncertainty Avoidance, Masculinity vs Femininity, dan Long Term Orientation.Untuk Indonesia sendiri dapat dilihat pada link berikut ini. (http://geert-hofstede.com/indonesia.html ). 


Ada dua dari kelima dimensi tersebut yang termasuk dominan merepresentasikan Indonesia, yaituPower Distance dan Individualism vs Collectivism. Skor Indonesia untuk Power Distance termasuk tinggi (78). Ini berarti masyarakat Indonesia cenderung tergantung pada hirarki, ada perbedaan hak yang besar antara penguasa dengan non penguasa, serta kontrol yang kuat pada pemimpin. Masyarakat dengan tingkat Power Distanceyang tinggi akan cenderung menjadi pencari opini (opinion seeker) dibanding masyarakat dari budaya dengan Power Distance yang rendah. 


Yang kedua adalah nilaiIndividualism vs Collectivism. Indonesia mempunyai skor yang rendah (14), yang berart masyarakatnya sangat kolektif. Budaya kolektif cenderung lebih menyukai kerangka sosial yang kuat di mana individu diharapkan untuk mengikuti nilai-nilai dalam masyarakat dan kelompok di mana dia berada. Masyarakat dari budaya yang tinggicollectivism-nya akan cenderung lebih terpengaruh oleh orang lain (dalam hal ini,reference group, atau influencer). Dua nilai yang dimaksimalkan lewat peran pemerintah sebagai pendorong dan peran media yang menggandeng sosok ataupun icon pengetahuan alam sebagai influencer. Dua hal yang lebih dari cukup untuk meyakinkan diri bahwa gelaran ini akan sukses membludakkan massa. Kloppp…!!!

 

 

Demikian alam seperti sudah mengajarkan bagaimana mentransfer perubahan dengan sebuah konsep yang layak di dalam masyarakat. Bukan hanya sebuah perubahan frontal yang babibu tanpa pertimbangan matang, namun perubahan yang memberi dampak dengan memperhatikan kondisi dan kemampuan masyarakatnya. Jadi percaya dan berbanggalah jika memang kita memiliki semangat untuk selalu berubah menjadi lebih dan lebih lagi, berkarya dengan hal yang baru, baru dan lebih baru lagi. Tahu pastilah bahwa masyarakat kita sudah menemukan peran terbaik bagi warga dunia, bahwa Indonesia adalah penikmat perkembangan… Tidak ada yang salah juga dengan peran sebagai penikmat… Toh, apa gunanya karya jika semua jadi pembuat dan tidak ada yang menikmati bukan??? :))

 

note: ini copy tulisan dari blog saya untuk wonderful eclipse beberapa hari yang lalu...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun