Mohon tunggu...
Seto Permada
Seto Permada Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Konten

Penulis Cerpen

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Keluhan Panjang Para Penulis Sastra di Media Cetak

4 September 2017   05:36 Diperbarui: 7 September 2017   10:23 1413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keluhan Panjang Para Penulis Sastra di Media Cetak

Barangkali tulisan ini bukan santapan yang lezat. Terutama bagi para penggemar cumi dan makanan cepat saji. Belakangan ini saya makin gemas dengan keluhan panjang para penulis sastra media cetak terkini. Dalam rangka apa? Apa lagi kalau bukan masalah keuangan yang tak kunjung cair. Momok utamanya karena banyak media cetak yang jelas-jelas tidak membayar honor penulis sastra. Terutama di bidang percerpenan dan perpuisian.

"Kalau memang tidak bisa membayar honor cerpen, taruhlah headline berita yang menayangkan ketidaksanggupannya itu. Biar jelas. Bukan janji kosong biar tidak ada lagi yang berharap-harap cemas dan berakhir dengan kekecewaan." kata salah seorang teman yang tidak bisa disebutkan namanya.

Ia takut kalau ke-pelit-an media cetak tersebut bisa membawa dampak serius, terutama untuk penulis yang baru memulai kancah sastranya di belantara media cetak. Bisa-bisa gantung pena sejak dini.

Tentu ini sangat menyusahkan hati para penulis cerpen dan puisi yang budiman. Mengingat cerpen dan puisi tidak dibikin dari sehelai kertas dan juga janji-janji kosong seperti para calon politisi. Memangnya dibuat dari apa? Darah. Ya, darah. Oleh karena itu, banyak para penulis sastra media cetak mengeluhkan soal kesulitan mencairkan honor padahal telah menulis sampai berdarah-darah sepanjang tahun. Ada yang menambahkan juga dengan komposisi kalimat konotatif yang lebih hiperbolis: "sampai berdarah-darah dan bernanah-nanah".

Apakah membayar honor penulis sastra media cetak terlalu sulit? Mungkin ini pertanyaan yang akan jadi pembahasan panjang kalau diuraikan. Secara singkat, cerpen dan puisi memang tidak sepraktis artikel kesehatan, gaya hidup, politik, dan beragam bentuk tulisan yang diambil dari sumber lalu-lintas trending topic. Apalagi dibanding dengan iklan yang sanggup bikin media cepat tumbuh dewasa.

Saya yang selama ini menulis cerpen pun pernah kebagian getahnya juga. Tapi itu tidak berjalan dalam waktu lama. Toh, seberapa keras teriakan tentang honor macet, hampir tidak ada yang menampung, kecuali cuitan dan selentingan curhat di media sosial yang tak begitu berarti. Jadinya, saya menumpahkannya di Kompasiana ini. Meskipun hanya sedikit yang membaca, yang penting bisa sedikit mewakili apa yang tengah dirasakan oleh para penulis sastra media cetak.

Saya berusaha selalu optimis kalau baru saja terkena getah itu dari suatu media. Begini, "Mungkin media cetak tersebut lagi kekurangan dana, tetapi hasrat yang terpendamnya tidak bisa memungkiri bahwa ia juga ingin membangun sastra di negeri ini. Ia tidak bermaksud mengerdilkan sastra (terutama cerpen dan puisi) dengan mengesampingkan honor. Ia tahu betul betapa kerasnya langkah para penulis sastra dalam mencapai kesejahteraan hidup."

"Ia hanya ingin menjaga tradisi sastra yang sudah bertahan dari tahun ke tahun. Ia sama sekali tidak punya niatan menjegal langkah para penulis sastra yang budiman. Oleh karena itu, ia siap dikritik dan diprotes, tapi tak akan membalas secuil pun nada protes itu dengan headline berita yang buruk. Ia punya alasan kenapa memberi janji kosong dengan iming-iming honor menulis: tentu saja karena ingin tampak kompetitif sebagai media penyalur minat sastra di negeri ini."


Pikiran optimis saya di atas tidak muluk-muluk, kan? Kalau cerpen dan puisi memang tidak sama dengan iklan, tentunya kita juga menganggap bahwa apa yang didapatkan dari menulis sastra juga tidak sama dengan pendapatan iklan.

Untuk menempatkan iklan di suatu media, pihak yang bersangkutan pasti menggelontorkan dana yang segar. Pihak tersebut tidak segan-segan menghadiahi media besar dengan upah yang memadai. Keuntungan yang didapat pun jelas: jasa atau produknya akan lebih memiliki kesempatan diminati masyarakat dan bisa meningkatkan profit.

Berbeda dengan apa yang diberikan oleh para penulis sastra pada media cetak yang bersangkutan. Apa yang diberikan? Pandangan hidup? Filosofi? Upaya merawat kebudayaan? Solusi masalah? Ada tambahan?

Oleh karena itu, untuk tampil di media cetak, karya yang masuk harus melewati tahap seleksi karena para penulis tidak membayar satu rupiah pun pada media. Justru sebaliknya. Diharapkan dengan proses seleksi yang ketat akan menampilkan karya yang lezat dan siap santap masyarakat serta pantas diberi apresiasi, terutama terkait dengan honorarium.

Tak dipungkiri, kehadiran sastra di media cetak memang memiliki kharisma tersendiri. Ini sebaiknya menjadi kesadaran bersama. Kalau menulis sastra karena ingin dibayar, menulislah di media yang sudah dipercaya membayar, seperti Kompas, misalnya. Di harian Kompas, tidak pernah ada penulis yang mengeluhkan soal honorarium. Jadi, tidak perlu menulis lagi ke media yang tidak akan membayar tulisan sastra. Apalagi sampai marah-marah dan membuat keluhan panjang yang tidak berarti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun