Terdapat semboyan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu “Ing Ngarsha sung Tulada (dari depan, seorang pendidik harus memberikan teladan yang baik), Ing Madya Mangun Karsa (dari tengah, seorang pendidik harus menciptakan prakarsa atau ide), Tut Wuri Handayani (dari belakang, seorang pendidik harus bisa memberi arahan).Â
Dalam semboyan tersebut, tersirat makna bahwa seorang guru harus mampu membuah hal baru yang bisa diteladani kepada muridnya.
Dalam hal inilah budaya bertanya atau daya kritis seorang siswa harus dibangun oleh seorang guru untuk menghasilkan pengalaman baru kepada siswanya.
Maka dari itu penjelasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyoal budaya menghafal di Indonesia ini harus dirubah menjadi budaya bertanya atau daya kritis.
Hal tersebut mengadopsi sistem pendidikan negara-negara yang memiliki sistem pendidikan yang maju.
Sebagai contoh ketika ada suatu teori yang diberikan kepada seorang murid, maka murid tersebut lebih mementingkan bertanya mengapa, kenapa, dan bagaimana.Â
Namun di Indonesia berbeda, mereka disuruh menghafalkan teori dan berilmu berlandaskan teori tersebut.
Maka otak berkembang seorang murid akan berbeda dengan menghafal dan bertanya. Budaya bertanya inilah yang membuat daya kritis murid akan terbangun dan bisa melangkah lebih maju.Â
Di sisi lain ketika di zaman Taman Kanak-kanak atau TK, seorang guru hanya memberitahu gambar-gambar hewan dan seorang anak menghafalkannya.
Namun alangkah baiknya membawa murid tersebut bermain di alam atau kebun binatang agar bisa melihat langsung hewan-hewan tersebut, maka ada daya tarik tersendiri seorang murid untuk mengetahui lebih dalam tentang hewan tersebut.
Sistem pendidikan yang baik adalah yang mengaplikasikannya ke dunia nyata dan saat ini. Maka dari situlah spesialisasi atau fashion seorang murid akan mudah ditemui yang sangat bermanfaat dalam menentukan arah jalan ke depannya.