Mohon tunggu...
Noris Roby Setiyawan
Noris Roby Setiyawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Sosiologi FISIP UNS

Hidup Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pemberantasan Korupsi sebagai Amanat Reformasi yang di Kebiri Oligarki

22 Juli 2021   14:00 Diperbarui: 22 Juli 2021   14:07 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Korupsi merupakan sebuah tindakan yang tidak berperikemanusiaan dan layak untuk dimusnahkan karena memperlambat perekonomian, merusak kelembagaan demokratis ,menyumbat konsep pembangunan berkelanjutan dan merugikan negara dalam upaya mewujudkan  penghidupan yang layak serta kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.

Perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami proses yang begitu panjang dimulai dengan pemerintahan orde lama yang dipimpin Soekarno dilanjutkan orde baru dengan sosok Soeharto yang telah memimpin lebih dari 30 tahun lamanya. Soeharto sering  menyampaikan komitmennya dalam memberantas korupsi dan telah banyak mengeluarkan peraturan terkait pemberantasan korupsi.

Akan tetapi, peraturan yang ada dan komitmen upaya memberantas korupsi hanya lah omong kosong saja karena di orde baru justru banyak terjadi tindak pidana korupsi, bahkan pelakunya orang terdekat penguasa dan memperoleh fasilitas serta perlindungan dari rezim yang berkuasa. Bung Hatta yang merupakan wakil presiden pertama Indonesia  mengklaim bahwa korupsi merupakan budaya di era orde baru dan menyimpang dari semangat perjuangan para pendiri bangsa pada masa itu. 

Peristiwa 1998 dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden ke-2 RI menandakan runtuhnya rezim ini. Semangat pemberantasan korupsi digaungkan kembali dan menjadikan sebagai salah satu bagian amanat dalam perjuangan reformasi. Setelah itu, presiden selanjutnya yakni Bj.

Habibie mengesahkan UU no 28 tahun 1999 mengenai penyelengaraan negara yang terbebas dari korupsi,kolusi dan nepotisme serta UU no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan menjadi cikal bakal terciptanya UU no 30 tahun 2002. Undang-undang tersebut  merupakan dasar terbentuknya lembaga independen dalam pemberantasan korupsi yakni  KPK yang terbentuk di era pemerintahan Megawati. Lahirnya KPK ini merupakan wujud dari pelaksanaan amanat reformasi dan menandakan pemberantasan korupsi di Indonesia telah memasuki babak baru.

KPK telah banyak melakukan pembongkaran kasus korupsi yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan pusat hingga daerah dari lembaga eksekutif ,legislatif,yudikatif dan lembaga independen lainnya. 247 anggota parlemen ,22 hakim ,7 jaksa,4 perwira polisi, 7 komisioner KPU, 238 pejabat swasta,8 perusahaan dan 12 menteri dari kabinet Megawati hingga Joko Widodo dan yang teranyar yakni kasus korupsi BANSOS yang menyeret menteri sosial yakni Juliari Batubara. 

Dalam kurun waktu 4 tahun dari 2014-2018 KPK telah berhasil melakukan pencegahan dan pengembalian aset negara senilai 1,69 triliun. Keberadaan KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi dapat berjalan secara efektif karena mampu menjangkau segala lini pemerintahan  dan KPK dianggap sebagai lembaga anti rasuah paling sukses dalam memberantas korupsi hal ini dibuktikan dengan indeks persepsi korupsi atau IPK yang kian menanjak dari tahun ke tahun secara stabil dan konsisten. 

Situasi yang demikian menimbulkan berbagai upaya untuk melakukan penyerangan terhadap lembaga anti rasuah tersebut baik yang dilakukan secara frontal menggunakan unsur kekerasan secara fisik misalnya saja penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK yakni Novel Baswedan yang menangani kasus-kasus besar terkait korupsi e-ktp dan wisma atlet. Selain kekerasan fisik, penyerangan juga dilakukan dengan berbagai cara misalnya penggunaan hak angket pada tahun 2017,cicak vs buaya, serta kriminalisasi para pimpinan KPK. 

Penyerangan yang dilakukan terhadap KPK mencapai situasi klimaks ketika pemerintah dan DPR-RI mengesahkan RUU KPK tahun 2019 menjadi Undang-undang KPK. Pemerintah dan DPR berdalih bahwa dalam proses revisi dan pengesahan UU KPK diharapkan mampu memperlancar arus investasi di Indonesia karena mereka menganggap bahwa KPK bisa menghambat proses investasi yang ada. 

Padahal dalam setiap proses revisi yang diajukan pemerintah dan DPR selalu mempermasalakan perihal kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan. Hal ini secara eksplisit menunjukan bahwa  pemerintah dan DPR merasa takut pada proses penyadapan yang dilakukan oleh KPK karena beberapa kali dalam rekam jejaknya berhasil mengungkap kasus korupsi melalui proses penyadapan yang dilakukan terhadap pemerintah maupun DPR. 

Pengesahan UU KPK ini berakibat pada melemahnya KPK misalnya hilangnya independensi KPK karena menjadikan pegawai KPK sebagai ASN dan memasukan KPK sebagai bagian lembaga eksekutif, Pemangkasan kewenangan proses penyidikan,penyadapan,penuntutan,OTT, dan juga ancaman kriminalisasi pegawai KPK terkait aturan yang tidak jelas serta pemusatan KPK di ibukota negara akan menghambat pemberatasan korupsi di daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun