Mohon tunggu...
Setio Budianto
Setio Budianto Mohon Tunggu... Guru - Saya adalah seorang Praktisi dan Akademisi Pariwisata, juga Guide Berbahasa Inggris. Disamping itu menulis buku fiksi dan non fiksi

Saya menyukai Pariwisata dan kebudayaan, sejarah terutama masa klasik Hindu Buddha. Juga menyukai perjalanan wisata serta topik mengenai lingkungan hidup serta pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Setelah Modern

29 Mei 2023   23:40 Diperbarui: 29 Mei 2023   23:44 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Resto Rumah Jawa Kab Kediri. Sumber Dok Pribadi

Setelah modern, lalu apa? Pertanyaan yang sering menggerayut dalam pikiran. Orang-orang berlomba-lomba ingin menjadi modern, atau paling tidak ingin "terlihat" modern. Pada awal dekade 2000, modern atau "canggih" identik dengan seseorang yang sedang menunggu (apapun itu, entah angkutan umum, menunggu seseorang) ditepi jalan dan ia memainkan handphone nya. 

Kala itu HP hanya bisa diakses kalangan tertentu, dan seseorang yang menggunakan akan terlihat "wah". Banyak mata melirik, apalagi yang "ngeceng" adalah anak muda rupawan. 

Pasti dengan cepat menarik lawan jenis. Tapi sekarang, saat HP diakses semua orang, kesan modern dan canggih hilang. Seseorang yang bertindak "norak" dengan HP nya, misalnya menelepon di angkutan umum atau di sepanjang jalan akan dicibir. Ukuran kekayaan seseorang tidak lagi diukur dari seberapa lama ia bisa berkomunikasi lewat hp tanpa WIFI. 

Semua orang menganggap di sekeliling mereka penuh jaringan WIFI. Sehingga seseorang yang ingin menarik perhatian karena menelepon (atau ingin terlihat penting dan sibuk) kini justru dianggap kampungan dan mengganggu privasi sekeliling. Bahkan persepsi orang tua terhadap HP kini telah berubah, menjadi "musuh" dan "momok" karena membuat anaknya kecanduan. Lalu ekspektasi apalagi yang diharapkan?  

Di kurun waktu sebelumnya, dekade 90 an seorang pemuda atau pemudi yang menenteng tas, atau ransel khas anak kuliahan mengundang decak kagum. 

Pembicaraan-pembicaraan mengenai lokasi kuliah, jurusan yang diambil baik dikereta maupun bus tidak lagi menarik, dan teramat "klise" karena banyak orang telah bisa mengakses bangku kuliah sekarang ini, hingga ke desa-desa. Pembicaraan justru meluas untuk mengetes seberapa siap sang pemuda setelah lulus, apa yang dilakukan. Lalu ekspektasi apalagi yang diharapkan?

Yang terbaru adalah akses mobil. 30 tahun yang lalu, seseorang yang bisa menyetir dan pulang kampung akan membuat mata seluruh warga kampung terbelalak. Bahkan anak-anak  berlarian mengikuti dengan suara riuh rendah. Seseorang yang keluar dari mobil terlihat berpakaian berbeda dengan orang kebanyakan. Langkahnya juga agak dibuat "beda", dan orang mengangguk hormat. 

Namun bagaimana dengan sekarang. Mobil telah dapat diakses oleh semua orang. Ia tak lagi menjadi barang mewah yang hanya ada diangan-angan. Orang-orang yang berpakaian berlebihan dan bersikap berlebihan juga mengundang tawa sinis dari sekeliling. 

Meski demikian di era ini, mobil juga punya fungsi "lain". Ia mengangkat (baik alami maupun dipaksakan) prestise dari pemilik. Banyak orang memaksakan diri, memarkir mobilnya tepat didepan toko miliknya sehingga menutupi akses pembeli. 

Namun banyak yang tak peduli, mereka berusaha mencitrakan diri bahwa "usaha"nya berhasil. Bagi mereka mobil adalah tentang "pencapaian" suatu hal, meskipun mungkin bagi orang yang telah lama mengakses, mobil bukan berarti apapun. Ia sekedar alat transportasi fungsional. Tak lebih. Lalu ekspektasi apalagi yang diharapkan?

Dari sini kita melihat dan mempertanyakan lagi hal mendasar : Apa sebenarnya yang kita kejar? Modernitas kah? Kecanggihan kah? Apakah waktu terasa begitu cepat berlalu?  Sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer pernah berkata " Hidup sungguh sederhana, yang hebat hanya tafsiran-tafsirannya". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun