Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menguak Penyebab Pelecehan Seksual di Indonesia

13 Juli 2020   08:38 Diperbarui: 13 Juli 2020   09:30 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: wcax.com

Angka pelecehan/kekerasan seksual di Indonesia setiap tahun sangat tinggi. Tahun 2019, angkanya mencapai 431,471 kasus, lebih tinggi daripada tahun 2018 yang mencapai 406,178 kasus.

Lantas, apa faktor penyebab kekerasan seksual di Indonesia sangat tinggi?

Patriarki

Patut diakui banyak hal yang bisa dijadikan corong faktor penyebab maraknya problem pelecehan seksual di Indonesia. Namun, salah satu faktor yang banyak disorot khususnya oleh kalangan ilmuwan sosial adalah budaya patriarki.

Salah satu tulisan yang membahas mengenai patriarki dan pelecehan seksual di Indonesia adalah yang ditulis oleh Rohani Budi Prihatin dengan judul Perspektif Sosiologis tentang Kekerasan Seksual terhadap Perempuan (2017), yang mengungkap bahwa patriarki kental di Indonesia dan sering melegitimasi kekerasan terhadap perempuan.

Patriarki adalah stereotip-isasi dimana laki-laki sering tampil terdepan yang memiliki kuasa atas perempuan di berbagai lini kehidupan. Artinya, sebuah paham dimana laki-laki diutamakan dalam segala hal.

Hal tersebut berawal dari adanya kesan kepentingan perempuan masih dianggap domestik (dapur, sumur, kasur). Artinya, konstruksi perempuan lemah, bisa disakiti, sehingga jadi stereotip baru bahwa perempuan identik dengan korban/kekerasan.

Kekerasan yang dilakukan laki-laki masih seringkali dianggap wajar (lumrah), karena dianggap laki-laki harus diturut. Atau laki-laki selalu memperdaya perempuan, menyiksa perempuan. Misalnya, KDRT.

Namun demikian, anehnya budaya patriarki ini malah seolah-olah dijaga dan di pelihara (maintain) kelestariannya. Misalnya, film Suara Hati Istri, yang memposisikan perempuan selalu menjadi tokoh korban keganasan ulah laki-laki, kejahatan laki-laki, dan laki-laki yang selalu menjadi tokoh antagonis. Maksudnya, mengapa sinetron tersebut memelihara patriarki? Ya, televisi sebagai media perkasa mampu memengaruhi opini publik, melalui ideologi yang disebarkannya. Alih-alih mengurangi patriarki, yang ada sinetron tersebut malah banyak di tiru karena anggapan sebuah film dapat menjadi contoh.

Sinetron tersebut juga terus menerus meng-highlight perempuan lemah dan sering dianiaya, dihilangkan hak dan kebebasannya. Walhasil, hal tersebut mungkin saja banyak ditiru oleh kaum lelaki diluar sana dengan memanfaatkan sebuah tren yang ada di televisi.

Selain itu, patriarki juga menjadikan laki-laki sebagai orang yang selalu menggoda, jika bersiul di depan perempuan dianggap biasa, dan bahkan perempuan dianggap sebagai objek.

Selanjutnya, faktor lain yang juga sangat penting adalah adanya stigma victimblaming atau suatu usaha menyalahkan korban. Perempuan sebagai korban seringkali dimaknai karena selalu berpakaian mini, seksi, gayanya menggoda, tingkah lakunya, dan bahkan situasi/keadaannya.

Liberalisasi Pakaian

Peliknya, hal ini dipengaruhi oleh adanya liberalisasi budaya. Atau over-kebebasan terhadap budaya fashion (berpakaian) oleh sebab pengaruh globalisasi yang merambah ke berbagai dunia. Liberalisasi ini tidak melihat sebuah budaya, atau jenis masyarakat, atau suatu hukum, melainkan yang ada menerjang batas-batas tersebut. Meskipun, berpakaian serba minim di negara A dilarang, tetapi banyak diikuti karena menjadi budaya popular yang menarik minat untuk diikuti.

Liberalisasi Media

Hal tersebut kembali diperparah oleh kuatnya pengaruh media popular yang bertugas menyebarkan apapun ke belahan dunia melaui ideologi terselubung.

Misalnya, TV, selalu menyuguhkan tayangan iklan cantik merek tertentu pakai bikini, tidak berbaju, iklan sabun yang menyuguhkan bagian tubuh, erotis, dan bahkan vulgar. Peliknya lagi, hal tersebut terkadang selalu diikuti masyarakat dan kembali menempatkan perempuan sebagai objek kecantikan, kemolekan, yang tidak jarang berdampak buruk bagi masyarakat luas.

Inilah yang menyebabkan kekerasan kembali timbul, karena TV mengajarkan dan menggambarkan kemolekan tubuh yang menjadi inspirasi para penjahat seksual untuk bertindak.

Jadi, tidak semua (stigma) salah laki-laki juga kan?

Adakah faktor lainnya?

Pornografi 

Tadi sekilas telah dibahas bagian dari masifnya pornografi yang dipertontonkan di TV. Adanya media lain, yakni medsos, film, dan website memperluas penyebaran konten pornografi dan pornoaksi. Buktinya, masih banyak akses terhadap konten-konten pornografi dan berdampak pada kembali meluasnya kekerasan seksual. Apalagi bagi yang sudah kecanduan, mereka selalu mencari objek baru sebagai pelampiasan.

Misalnya, sebuah buku yang ditulis oleh Farhandhika Mursyid, yang berjudul Ketika di Dalam Penjara: Cerita dan Fakta tentang Kecanduan Pornografi (2017). Salah satu isinya adalah bagaimana seseorang yang sudah sangat kecanduan pornografi akan melakukan berbagai cara untuk melampiaskan nafsunya, baik secara mandiri maupun mencari objek lainnya. Termasuk melakukan kekerasan seksual.

Dan masih banyak faktor lainnya sesuai sudut pandang keilmuan lainnya, yang bisa dignakan untuk menganalisis penyebab kekerasan seksual.

UU PKS Solusi Tepat?

Jika melihat fakta bahwa tinginya angka kasus pelecehan/kekerasan seksual, adanya patriarkis, liberalisasi pakaian, liberalisasi media, dan pornografi, maka jelas diperlukan payung hukum yang mampu menyelesaikan problem tersebut.

Meski demikian, adanya sebuah undang-undang juga tidak dapat menjadi tameng kuat jika tidak dibarengi dengan peran kultur hukum yang positif, serta penegak hukum yang adil.

Inilah yang menjadi kunci dari analisa sosiologi hukum, dimana suatu hukum akan ajeg di masyarakat apabila dilandasi oleh kekuatan kultur sadar hukum yang tinggi. Alhasil, jika masih ditemukan budaya kebebasan berpakaian yang tanpa batas, tanpa norma, atau budaya pornografi yang menjulang di media, sulit rasanya mendambakan hukum yang ajeg.

Begitupun penegak hukum itu sendiri, jika masih bisa disuap atau selalu bermain kepentingan pribadi, alangkah sulit kita merasakan hukum yang adil. Apakah kasus Baiq Nuril itu sudah benar-benar berkeadilan? Rasanya tidak.

Yang lebih kuat bahkan intrik politik dibalik polemik UU ini; buktinya sampai sekarang belum jelas bagaimana kelanjutan RUU ini. Minimnya suara perempuan sebagai representasi kepentingan perempuan di parlemen yang hanya 30% juga ditengarai menjadi penyebabnya.

Belum lagi mis-konsepsi dan mis-persepsi esensi yang berbeda tafsiran seperti ditunggangi LGBT, dan pro zina juga turut mengkontroversi RUU ini dan berujung penolakan. Hal inilah yang justru memunculkan statement bahwa RUU ini sulit dibahas oleh anggota DPR? Sesulit itukah? Sungguh heran!

Yang kencang juga perihal minimnya 'anggaran' atau 'uang' yang bisa dijadikan proyek kepentingan anggota DPR sendiri. Apakah karena RUU ini sedikit uang, jadi ditunda kembali?

Menarik ditunggu kelanjutannya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun