Namun demikian, kasus Prita telah menyesatkan menjadi contoh bagi jurnalis, pakar, aktivis, dan politisi Indonesia sebagai bukti dampak positif media sosial dalam politik.Â
Dengan demikian, aktivisme media sosial di Indonesia menghasilkan "banyak klik tetapi hanya sedikit tongkat" dan bahwa kasus aktivisme media sosial yang sukses, seperti kasus Prita, sebagian besar tetap anomaly (penyimpangan).
Sementara aktivis dan komunitas yang terpinggirkan menggunakan media untuk berbagai alasan, media sosial menyediakan lingkungan yang ramah bagi aktivisme yang berkisar pada narasi yang disederhanakan yang dirancang untuk konsumen kelas menengah perkotaan. Â Lanskap ini umumnya tidak menguntungkan untuk narasi kompleks tentang keadilan dan ketidaksetaraan, atau orang miskin.
Penyebab orang miskin sebagian besar dibingkai oleh advokat kelas menengah dan jarang digambarkan oleh orang miskin sendiri. Â Selain itu, platform media sosial tergantung pada sistem media yang lebih besar.
Untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan, aktivisme media sosial memerlukan akomodasi dari "budaya gigitan yang menyusut luar biasa" dari media mainstream.Â
Pemanfaatan media sosial dalam politik tertanam dalam praktik sosial dan budaya sehari-hari kelas menengah perkotaan yang berkisar seputar konsumsi.Â
Oleh karena itu, pemahaman kita tentang dampak dan peran media sosial dalam politik, termasuk dalam politik elektoral seperti situasi Pilkada, harus dikontekstualisasikan dalam munculnya bentuk-bentuk khusus dari partisipasi politik kelas menengah perkotaan.Â
Walhasil, dalam lingkungan ini, praktik komunikasi tidak terlepas dari orientasi konsumsi, dan individu dimobilisasi oleh kerangka kerja komersial, dengan pengaruh dan emosi sebagai mata uang utama.