Cerita tentang Sinisme dimulai dari seseorang bernama Antisthenes (sekitar 445– sekitar 360 SM). Awalnya Antisthenes yang merupakan penduduk Athena ini adalah prajurit gagah berani yang bertempur dalam Pertempuran Tanagra (457 SM antara Sparta melawan Athena). Menurut Antisthenes keberaniannya itu terkait karena dia keturunan seorang merdeka dan seorang budak Thracian, dan dia tidak akan seberani itu kalau kedua orangtuanya orang merdeka. Kemudian Antisthenes menjadi teman dekat Socrates bahkan hadir dalam kematiannya. Antisthenes merasa sangat bangga dengan kekayaannya meskipun dia tidak memiliki uang, karena dia merasa dapat hidup dengan apa yang dia miliki dalam keadaan apapun. Dalam hal ini, Antithenes mengikuti Socrates dalam tiga cara.Pertama, Socrates hidup tanpa mempedulikan rasa sakit dan kesenangan. Socrates dapat menahankan berjalan telanjang kaki di salju. Kedua, Socrates menganggap bahwa seseorang yang berbudi selalu lebih baik dalam keadaan apapun dibanding mereka yang tidak berbudi. Dari sini Anisthenes kemudian mengembangkan etika bahwa budi sudah cukup untuk kebahagiaan, karena seorang berbudi merasa cukup dengan apa yang ada. Ketiga, Socrates dan Antisthenes berpandangan bahwa jiwa jauh lebih penting dari tubuh dan mengabaikan tubuh demi jiwa. Perbedaannya dengan Sinis berikutnya adalah bahwa Antisthenes dan Socrates masih bersedia menikmati kesenangan kalau memang ada.
Tetapi Sinisme mulai mendapat nama setelah murid paling terkenal Antisthenes, Diogenes dari Sinope (kira-kira 400–kira-kira 325 SM) tampil. Meskipun Diogenes masih hidup seadanya dan menganggap jiwa lebih penting dari tubuh, tetapi dia lebih ektrim menolak kesenangan dan memilih hidup mengabaikan diri sendiri. Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Plato menyebut bahwa kalau Socrates berubah menjadi orang gila, maka hasilnya adalah Diogenes. Diogenes terusir dari Sinope karena kasus perusakan koin kerajaan yang dilakukannya atau oleh orang lain, atas perintah ayahnya. “Rusakkan Koin!” (Deface the coinage!) menjadi motto Diogenes, yang bermakna bahwa menurutnya standar yang ada sudah korup, dan sesuatu yang sudah korup harus ditandai dengan merusaknya. Penolakannya untuk hidup berdasarkan standar itu merupakan cara Diogenes merusaknya. Misalnya, Diogenes tinggal di gentong-gentong bekas anggur , makan apa saja sampah yang nampak di depannya, serta membuat tulisan yang menyetujui kanibalisme dan hubungan inses. Sebuah cerita menyatakan bahwa dia pernah membawa lampu dengan api menyala ke tengah pasar di siang hari bolong untuk mencari manusia jujur, seolah-olah ingin menyatakan bahwa manusia yang dilihatnya saat itu sudah sedemikian korupnya sehingga mereka bagi Diogenes tidak tampak lagi sebagai manusia. Diogenes ingin mengganti standar rusak saat itu dengan standar asali dari alam—maksudnya dengan standar asali adalah hidup cukup dengan segala sesuatu yang bisa dicapai dan didapat manusia dengan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Karena pandangan dan gaya hidupnya inilah dia disebut cynic, berasal dari kata Yunani kuon atau kunikos, yang berarti anjing. Layaknya seekor anjing, dia begitu berani bicara keras kemudian menjalani hidup tanpa rasa malu. Tetapi penjelasan lain kenapa dia (dan kelompoknya) dipanggil Cynic adalah karena gurunya Antisthenes mengajar disebuah gimnasium di luar Athena bernama Cynosarges (anjing putih). Gimnasium itu sendiri diberi nama begitu terkait anjing putih yang membawa bagian-bagian korban yang dipersembahkan pada dewa-dewa. Mungkin nama tempat mengajar dan gaya hidup ini saling berkontribusi satu sama lain.
Demikianlah murid-murid Antisthenes kemudian disebut kaum Cynics atau “Filsuf-filsuf Anjing”, sebuah mazhab filsafat yang mementingkan hidup asketis dan menganggap hidup seminimal mungkin adalah jalan menuju kebahagiaan. Bagi Kaum Sinis, kebahagiaan terdapat pada ketidakbutuhan akan sesuatu sehingga kebahagiaan juga adalah tidak merasa kekurangan sesuatu. Kaum Sinis terus-menerus mendorongorang lain untuk menolak keinginan-keinginan yang ditanamkan oleh masyarakat dengan menunjukkan sikap ekstrim meremehkan kehidupan sosial. Begitu ekstrimnya kaum Sinis sehingga mereka juga mengejek seni, kehormatan, kebebasan, dan belajar formal. Dengan contoh dari gaya hidup mereka ini, mereka berharap orang lain bisa melihat betapa dangkalnya kehidupan sosial yang ada.
Aliran ini aktif hingga abad ketiga sebelum Masehi, kemudian setelah sempat padam, tumbuh besar lagi di abad kedua Masehi.
Sumber:
Robert Hendrickson, Encyclopedia of Word and Phrase Origins, 4th ed,2008
The Cambridge Dictionary Of Philosophy, 2nd ed, (1999)
John Ayto, Word Origins,2006
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI