Mohon tunggu...
Sesa Malinda
Sesa Malinda Mohon Tunggu... Mahasiswi Prodi Manajemen Universitas Cendekia Mitra Indonesia

Saya Sesa Malinda yang kerap disapa Saelin, adalah Mahasiswi Prodi Manajemen Universitas Cendekia Mitra Indonesia. Saya gemar menulis terutama terkait lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Cuti Ayah Bukan Hak Istimewa, Melainkan Keadilan Keluarga

15 Juli 2025   10:19 Diperbarui: 15 Juli 2025   10:21 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesa Malinda. Sumber: Dok pribadi 

Ketika negara menciptakan kebijakan publik, semestinya ia berdiri di atas fondasi keadilan sosial, bukan warisan patriarki yang menyamar dalam kebijakan administratif. Namun hari ini, yang kita saksikan adalah sebuah bentuk diskriminasi struktural yang begitu gamblang, di mana menjadi seorang ibu adalah "hak" yang diakomodasi oleh negara, sementara menjadi ayah hanyalah status simbolik yang tidak diberi tempat dalam sistem. Rata-rata cuti paternitas global hanya 2,2 minggu, sedangkan cuti maternitas mencapai 24,7 minggu (World Policy Analysis Center, 2021). Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah bentuk perbedaan perlakuan yang tidak lagi dapat diterima sebagai sesuatu yang "normal".

Ketimpangan ini memperlihatkan bagaimana negara dengan sadar atau tidak telah membiarkan diskriminasi berbasis gender berakar dalam kebijakan keluarga. Kebijakan yang semestinya melindungi seluruh unit keluarga malah memperkuat dikotomi peran, antara perempuan sebagai pengasuh utama, laki-laki sebagai penyedia utama. Ironisnya, justifikasi biologis yang selama ini digunakan untuk memperpanjang cuti ibu nyatanya tidak dapat membenarkan timpangnya angka lima bulan durasi cuti antara ibu dan ayah. Ini bukan soal tubuh, ini soal struktur yang mendikte siapa yang dianggap penting dalam pengasuhan anak.

Lebih jauh lagi, diskriminasi ini bukan hanya merugikan laki-laki yang ingin menjadi ayah yang terlibat, tetapi juga memperpanjang beban tak kasat mata pada ibu. International Labour Organization (ILO) mencatat bahwa kurangnya keterlibatan ayah memperbesar beban ganda ibu dalam rumah tangga, dan secara tidak langsung turut menyumbang pada stagnasi partisipasi perempuan dalam dunia kerja (ILO, 2020). Dengan kata lain, ketimpangan cuti ini menciptakan efek domino sosial yang membatasi kemajuan kedua gender.

Sudah waktunya kita akui, bahwa cuti paternitas yang setara bukan ancaman terhadap hak-hak perempuan, melainkan syarat untuk menciptakan keseimbangan yang sesungguhnya. Bila negara ingin membentuk masyarakat yang setara, maka ia harus berhenti membiarkan kebijakan keluarga menjadi alat reproduksi ketidakadilan yang dilembagakan.

Pengasuhan Bukan Tanggung Jawab Ibu Semata 

Dalam masyarakat yang terus memproklamasikan kemajuan dan kesetaraan, mengapa kita masih membiarkan narasi usang bahwa pengasuhan anak adalah domain eksklusif perempuan? Ketika kebijakan negara hanya memberikan rata-rata 2,2 minggu cuti ayah, dibandingkan dengan 24,7 minggu cuti ibu secara global (World Policy Analysis Center, 2021), maka yang terjadi bukan hanya ketimpangan administratif, melainkan pengingkaran atas kapasitas laki-laki untuk hadir secara emosional dalam kehidupan anaknya. Ini bukan persoalan teknis kebijakan semata, tetapi sebuah cermin dari kegagalan kolektif kita mengakui bahwa cinta, kepedulian, dan peran pengasuhan tidak mengenal jenis kelamin.

Pengasuhan bukanlah fungsi biologis yang melekat pada uterus. Ia adalah kerja emosional, psikologis, dan sosial yang seharusnya ditopang oleh dua orang tua yang hadir. Ketika cuti ayah dipotong pendek atau bahkan dihilangkan sama sekali, negara sesungguhnya tengah mencabut hak anak untuk mengenal ayahnya sejak hari pertama kehidupan. Lebih jauh, ini juga memperkuat anggapan bahwa ayah hanya berfungsi sebagai penyedia materi, bukan sebagai figur pengasuh yang setara. Narasi ini menjerat dua pihak sekaligus, antara ibu yang semakin dibebani, dan ayah yang dirampas haknya untuk hadir.

Studi dari UNICEF (2017) menunjukkan bahwa kehadiran ayah secara aktif dalam fase awal kehidupan anak berdampak positif terhadap perkembangan sosial-emosional anak, serta meningkatkan kesejahteraan ibu secara signifikan, termasuk menurunkan risiko postpartum depression. Namun sayangnya, kebijakan negara belum cukup progresif untuk menerjemahkan temuan ini ke dalam tindakan konkret.

Lebih dari itu, budaya "ayah yang membantu" harus dihentikan. Ayah tidak "membantu", mereka berpartisipasi penuh. Selama negara terus memberi porsi yang tidak adil dalam cuti orang tua, maka selama itu pula kita membiarkan ketimpangan dan beban ganda terjadi di dalam rumah, yang seharusnya menjadi tempat pertama keadilan dimulai. Jika kita benar-benar ingin membentuk generasi yang setara, maka pengasuhan harus dimulai dengan kesetaraan hak untuk hadir.

Cuti Paternitas Adalah Investasi Sosial 

Bila kita ingin membangun masyarakat yang adil, maka kebijakan negara harus dimulai dari hal paling mendasar, yakni keluarga. Dan keadilan dalam keluarga hanya dapat tercapai bila negara memberikan ruang setara bagi kedua orang tua untuk hadir, terlibat, dan bertanggung jawab atas kehidupan anak-anak mereka. Namun, fakta hari ini mencerminkan realitas yang menyedihkan, para ayah di seluruh dunia rata-rata hanya menerima 2,2 minggu cuti berbayar, sedangkan para ibu mendapatkan durasi lima bulan lebih lama (World Policy Analysis Center, 2021). Ini bukan sekadar angka, ini adalah kegagalan moral dan sosial dalam memberikan hak yang setara atas peran pengasuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun