Mohon tunggu...
Sesa Malinda
Sesa Malinda Mohon Tunggu... Mahasiswi Prodi Manajemen Universitas Cendekia Mitra Indonesia

Saya Sesa Malinda yang kerap disapa Saelin, adalah Mahasiswi Prodi Manajemen Universitas Cendekia Mitra Indonesia. Saya gemar menulis terutama terkait lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Cuti Ayah Bukan Hak Istimewa, Melainkan Keadilan Keluarga

15 Juli 2025   10:19 Diperbarui: 15 Juli 2025   10:21 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesa Malinda. Sumber: Dok pribadi 

Oleh: Sesa Malinda 

Di dunia yang mengaku maju dan modern, bagaimana mungkin kita masih menutup mata terhadap ketimpangan mendasar dalam sistem kebijakan keluarga, yakni absennya cuti paternitas berbayar bagi para ayah? Sebanyak 71 negara di seluruh dunia belum memberikan hak ini. Bukan karena tidak mampu, tetapi karena tidak menganggap penting kehadiran laki-laki dalam hari-hari pertama kehidupan anaknya. Data tidak dapat dibantah, bahwa rata-rata ayah hanya mendapat 2,2 minggu cuti, sementara ibu diberi 24,7 minggu lebih banyak. Ketimpangan ini bukan hanya mencerminkan bias gender yang sistemik, tetapi juga kegagalan negara dalam memahami bahwa tanggung jawab membesarkan anak adalah kerja bersama, bukan beban tunggal ibu.

Ketika kita memperjuangkan kesetaraan gender, jangan hanya berbicara tentang hak perempuan. Kita juga harus memperjuangkan ruang yang adil bagi laki-laki untuk hadir sebagai ayah. Ini bukan tentang mengambil hak ibu, tetapi tentang membangun keluarga yang setara dan utuh. Cuti paternitas bukan hadiah, ia adalah hak dasar, fondasi keadilan sosial, dan investasi bagi masa depan anak-anak kita. Jika dunia sungguh ingin adil, maka sudah waktunya kesenjangan ini ditutup.

Ketimpangan Global yang Terstruktur 

Ketika kita berbicara mengenai keadilan dalam keluarga, kita tidak dapat terus membiarkan narasi patriarkal membentuk kerangka kebijakan negara. Fakta bahwa 71 negara di dunia masih tidak memberikan cuti ayah berbayar (UNICEF, 2019) adalah gambaran konkret bahwa ketimpangan gender bukan hanya menyasar perempuan, tetapi juga mengkerdilkan peran laki-laki dalam urusan domestik yang paling mendasar, yakni menjadi ayah. Ini bukan sekadar soal cuti. Ini adalah persoalan pengakuan atas eksistensi laki-laki sebagai figur pengasuh, bukan hanya pencari nafkah.

Lebih menyakitkan lagi, menurut laporan World Policy Analysis Center (2021), durasi rata-rata cuti ayah secara global hanya 2,2 minggu, dibandingkan dengan 24,7 minggu untuk ibu. Itu artinya, para ayah "dipulangkan" kembali ke ruang publik sebelum sempat mengenali wajah bayinya dengan utuh. Negara-negara maju sekalipun masih terjebak dalam kontradiksi ini. Amerika Serikat, misalnya, bahkan tidak mewajibkan cuti orang tua berbayar baik untuk ibu maupun ayah, meski mengklaim sebagai pelindung nilai-nilai keluarga.

Dengan memperkuat sistem yang timpang ini, negara secara aktif memperkuat asumsi bahwa tanggung jawab pengasuhan hanya melekat pada perempuan. Akibatnya, perempuan semakin terbebani secara fisik, mental, dan ekonomi, sementara laki-laki kehilangan kesempatan untuk membangun kedekatan emosional dengan anak sejak hari pertama.

Penelitian dari OECD (2020) menunjukkan bahwa keterlibatan ayah sejak dini berdampak langsung terhadap perkembangan kognitif dan sosial anak, serta menurunkan tingkat depresi pascamelahirkan pada ibu. Maka mengapa kebijakan negara belum menjadikan ini prioritas? Mengapa kita masih menerima norma bahwa laki-laki hanya "membantu", bukan "ikut serta"?

Ini saatnya kebijakan publik berhenti mengasumsikan bahwa hanya ibu yang dibutuhkan dalam hari-hari awal kehidupan seorang anak. Cuti paternitas berbayar bukan fasilitas, ia adalah bentuk minimum dari keadilan, pengakuan, dan tanggung jawab bersama. Bila kita ingin membangun dunia yang benar-benar setara, maka kesenjangan ini tidak boleh lagi ditoleransi.

Diskriminasi yang Terlembaga dalam Kebijakan 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun