Mohon tunggu...
Sesa Malinda
Sesa Malinda Mohon Tunggu... Mahasiswi Prodi Manajemen Universitas Cendekia Mitra Indonesia

Saya Sesa Malinda yang kerap disapa Saelin, adalah Mahasiswi Prodi Manajemen Universitas Cendekia Mitra Indonesia. Saya gemar menulis terutama terkait lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ubah Norma, Bukan Sekadar Narasi

21 Juni 2025   23:21 Diperbarui: 21 Juni 2025   23:21 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah dapat membuat seribu aturan untuk mencegah perkawinan anak, tetapi bila budaya lokal tetap memelihara praktik lama yang membenarkan kawin lari atau "pengambilalihan" anak perempuan tanpa persetujuan, maka regulasi hanya akan menjadi kertas. Pemerintah Indonesia sendiri sudah menaikkan batas usia minimum menikah menjadi 19 tahun (PP No. 61 Tahun 2014), namun implementasinya masih menjadi tantangan. Kita tidak dapat mengandalkan hukum berjalan sendiri tanpa dukungan sosial. Sama halnya, kita juga tidak dapat membiarkan budaya terus melenggang bebas tanpa dikritisi, apalagi bila isinya sudah tidak relevan dan malah melukai generasi muda.

Di NTB, sekitar 15% perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, dan banyak dari mereka dinikahkan melalui praktik kawin lari atau isbat nikah. (UNICEF Indonesia, 2020). Isbat nikah seringkali digunakan sebagai cara untuk mengesahkan pernikahan anak di bawah umur setelah mereka dinikahkan secara adat. (Komnas PA, 2022). Ini adalah celah sistem yang dimanfaatkan, bukan untuk melindungi anak, tetapi untuk menyiasati aturan. Di titik ini, hukum dan budaya bukan berjalan bersama, tetapi saling mengelabui.

Agar upaya pencegahan benar-benar efektif, hukum harus hadir di tengah masyarakat dengan wajah yang tegas sekaligus membumi. Aparat penegak hukum tidakak dapat hanya menunggu laporan atau menyebar spanduk. Mereka harus aktif masuk ke komunitas, membangun dialog, dan menjalin kerja sama dengan tokoh adat, tokoh agama, serta keluarga besar. Hukum harus tegas memberi perlindungan, bukan sekadar mengesahkan. (UNFPA, 2020).

Di sisi lain, budaya juga perlu diberi ruang untuk bertransformasi. Kita tidak perlu menghapus tradisi, yang perlu dilakukan adalah mereformasi nilai-nilai di baliknya. "Merarik" bukan harus dibuang, tetapi harus diubah menjadi proses yang menghormati hak dan persetujuan kedua belah pihak, terutama anak perempuan. (World Bank, 2020).

Pencegahan perkawinan anak hanya akan berhasil bila hukum dan budaya benar-benar bergandengan tangan. Jika tidak, anak-anak perempuan akan terus menjadi korban di tengah tarik-menarik dua kekuatan yang seharusnya justru melindungi mereka.

Anak perempuan bukan barang yang dapat diambil, dinikahkan, lalu ditinggalkan seolah hidup mereka tidak berarti. Mereka memiliki hak atas masa depan, atas pendidikan, atas tubuhnya sendiri. Tetapi selama kita masih menormalisasi kawin lari, menikahkan anak karena "sudah hamil" atau "jatuh cinta", dan membungkusnya dengan dalih tradisi atau malu keluarga, maka kita sedang gagal menjadi manusia yang melindungi sesama.

Perkawinan anak bukan sekadar isu domestik. Ini adalah krisis kemanusiaan yang terjadi di halaman belakang kita sendiri. Dan yang paling menyedihkan? Banyak dari kita tahu, tetapi memilih diam. Menutup mata, telinga, dan hati, karena mengubah budaya dianggap terlalu rumit.

Padahal, perubahan itu mungkin, dan sudah mulai terjadi. Ada Rika yang berhasil diselamatkan. Ada Sara yang kini menjadi penyuluh. Ada organisasi akar rumput yang dengan segala keterbatasan terus bergerak. Tetapi mereka tidak mampu bekerja sendiri.

Jika kita benar-benar peduli, maka hentikan romantisasi tradisi yang menyakiti. Bangun norma baru yang memuliakan anak, bukan menjebaknya dalam jerat pernikahan dini. Karena anak-anak bukan milik adat, bukan milik negara. Mereka adalah manusia seutuhnya yang layak hidup merdeka, belajar bebas, dan bermimpi tanpa batas. (Sesa Malinda, Mahasiswi Universitas Cendekia Mitra Indonesia) 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun