Menurut UNICEF, sekitar 11% perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun, dan di beberapa daerah seperti NTB, angka ini dapat jauh lebih tinggi. Di daerah pedesaan, norma sosial sering kali mendukung praktik kawin lari dan pernikahan dini.
Kita dapat gembar-gembor mengenai hak anak dan kesehatan reproduksi, tetapi selama norma sosial di masyarakat masih membenarkan praktik kawin lari, selama ibu-bapak masih merasa malu bila anaknya "dibawa lari" dan tidak jadi dinikahkan, maka perubahan tidak akan terjadi. Narasi tanpa perubahan norma hanya akan menjadi dekorasi, bukan solusi. Dan yang lebih menyakitkan, semua pesan kampanye itu tidak berarti apa-apa bagi anak-anak yang tetap dinikahkan paksa di usia belasan, lalu ditinggalkan tanpa perlindungan hukum maupun akses pendidikan. Anak perempuan yang dinikahkan di usia muda sering kehilangan akses ke pendidikan dan perlindungan hukum, yang berakibat pada siklus kemiskinan dan ketidakberdayaan. (Komnas PA, 2022)
Mengubah pola pikir tidak dapat hanya melalui selebaran dan seminar. Harus ada kerja sistematis yang menyasar jantung norma sosial: keterlibatan tokoh adat dan agama, pendidikan kritis sejak dini, dan penguatan kapasitas komunitas lokal. Karena yang kita lawan bukan hanya kemiskinan, tetapi juga mentalitas yang menganggap anak perempuan sebagai beban, atau "tanggung jawab" yang harus segera dinikahkan. Penelitian dari Save the Children (2021) juga menunjukkan bahwa banyak kampanye tidak menjangkau komunitas pedesaan secara efektif, karena seringkali hanya fokus di kota-kota besar.
Masyarakat perlu lebih dari sekadar tahu. Mereka perlu merasa tergugah, merasa bertanggung jawab, dan akhirnya merasa perlu ikut bergerak. Karena bila kita berhenti di narasi, tetapi tidak menyentuh norma dan nilai yang dipegang masyarakat, maka kita hanya menata kata, bukan menyelamatkan anak. Perubahan sejati tidak dimulai dari spanduk, tetapi dari keberanian untuk mengubah apa yang dianggap "wajar".
Tokoh Adat dan Agama Harus Jadi Bagian Solusi
Perkawinan anak di NTB bukan sekadar persoalan ekonomi atau kurangnya pendidikan. Masalah ini mengakar jauh dalam struktur sosial yang dikuatkan oleh otoritas budaya dan agama. Di NTB, sekitar 15% perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, menunjukkan bahwa masalah ini terkait kuat dengan norma sosial. (UNICEF Indonesia, 2020). Maka tak cukup hanya mengandalkan regulasi dari atas dan kampanye dari luar, kita butuh perubahan dari dalam komunitas itu sendiri. Dan perubahan itu hanya mungkin jika tokoh adat dan agama turut bersuara.
Jujur saja, di banyak desa, ucapan tokoh adat atau pemuka agama jauh lebih didengar daripada peringatan dari pemerintah. Bila tokoh adat diam saja ketika terdapat anak perempuan "dibawa lari", atau justru ikut merestui karena alasan harga diri keluarga, maka pesan-pesan perlindungan anak akan terdengar hampa. Penelitian dari Save the Children (2021) menunjukkan bahwa suara tokoh adat dan pemuka agama memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk norma sosial. Sebaliknya, ketika seorang tokoh agama menegaskan bahwa memaksakan pernikahan di usia anak adalah dosa moral dan sosial yang mampu mengguncang norma usang yang sudah terlalu lama dibiarkan.
Kita butuh lebih banyak tokoh lokal yang bersuara lantang, bukan yang bersembunyi di balik tafsir sempit atau alasan "tak enak sama keluarga si A." Budaya dapat dibentuk ulang. Agama dapat dijelaskan dengan kasih, bukan kekuasaan. Namun itu hanya mungkin bila para pemimpin komunitas bersedia turun tangan, bukan hanya turun tangan ketika akad nikah berlangsung.
Sudah saatnya pendekatan pencegahan perkawinan anak melibatkan mereka yang paling dihormati oleh masyarakat. Menjadikan tokoh adat dan agama sebagai agen perubahan, bukan penonton pasif atau bahkan pendukung diam-diam. Program-program yang melibatkan tokoh lokal ini terbukti lebih efektif. (World Bank, 2020). Jika mereka bersuara, masyarakat akan mendengar. Jika mereka melawan praktik ini, tradisi pun dapat berubah.
Karena melindungi anak bukan hanya tugas pemerintah atau aktivis. Itu tanggung jawab bersama---terutama mereka yang selama ini dianggap penjaga moral dan nilai. Dan kalau mereka memilih bungkam, maka merekalah yang sesungguhnya sedang merawat kebiasaan yang melukai.
Hukum dan Budaya Harus Berjalan Beriringan