Mohon tunggu...
seroja white
seroja white Mohon Tunggu... -

berpikir dengan hati, menulis dengan jiwa

Selanjutnya

Tutup

Puisi

JAWABAN KEMATIAN

3 Juni 2011   15:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:54 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

By Seroja W

Aku telah memilih cara matiku sendiri.Kali ini dengan cara konvensional. Beberapa meter tali tambang, gantung diri.Tapi setelah kupikir-pikir pasti aku akan mati dengan rupa yang sangat jelek sekali, wajah membiru, lidah terjulur dengan cairan sperma yang menetes.

Lagi pula kalau aku mati dengan cara itu berarti aku harus melakukannya di rumah ini, ah…aku hanya ingin kenangan indah indah di rumah ini.Setelah lima belas tahun aku berjuang mengumpulakn rupiah demi rupian hanya untuk melunasi tagihanKPR rumah mungilku ini.

Setahap demi setahap aku pugar rumah ini, menambah sebuah kamar lagi yang sebelumnya hanya ada dua kamar, sehingga anak-anakku tak harus berebut kamar tidur.

Juga membuat sebuah gajebo mungil di halaman depan yang hanya tersisa tiga meter dari sisi jalan.Kubuat agak tinggi dengan sebuah kolam ikan mini pula di bawanya, hanya berukuran dua kali dua setengah meter. Tak lupa di sekeliling kolam aku tanami bunga Lili putih kesukaan istriku—Alice.

Kini aku mulai menyimpul tali itu lalu menggantungnya di langit-langit kamarku di mana sebelumnya aku pasang kait bor. Tapi tampaknya kait itu tak akan mampu menahan tubuhku yang agak tambun ini.

Kutarik-tarik untuk mengetes kekuatannya, dan benar beberapa hentakan kait itu terlepas. Sepertinya aku harus membeli pengait yang lebih besar. Lelah berpikir akhirnya aku terduduk di sudut kamarku sambil menyulut sebuah rokok.

Aku mulai berpikir mencari cara lain untuk mengakhiri hidupku ini. Gantung diri bukan cara yang praktis. Kuputuskan untuk menunda kematianku hari ini. Harus ada cara lain pikirku.

***

Sore itu sepulang dari kantor aku sengaja singgah di toko kelontong.Hendak membeli insektisida, racun serangga.Tetapi ketika sampai di sana pikiranku berubah, lalu aku tanyakan pada penjaga toko apakah tersedia racun tikus.

Zat Arsen yang terkandung dalam racun tikus lebih ampuh dari pada insektisida.Toh Aku bukan nyamuk atau lipas.Penjaga toko itu memberikan aku sebungkus racun tikus, ternyata harganya juga murah.Aku membawa pulang racun tikus yang berbentuk butiran sebesar beras itu sambil bersiul.

Kini aku menemukan cara yang lebih praktis dan ekonomis pula.Sepanjang jalan aku tersenyum-senyum sendiri, sampai-sampai setiap orang yang berpapasan denganku memandangku dengan mimik keheranan. Yah..Mereka pasti menganggap aku orang gila. Biar saja terserah mereka, toh setelah ini aku tak akan pernah lagi bertemu dengan mereka.Selamat tinggal! Pekikku dalam hati.

Aku menatap sepiring nasi goreng yang ada di hadapanku dengan keluh.Racun tikus yang aku beli sore tadi telah aku campurkan ke dalam nasi goreng itu. Aku tambahkan telur goreng mata sapi, beberapa potong sosis, irisan timun dan tomat.

Aku berusaha menghidangkannya semenarik mungkin, tapi tetap sampai detik ini aku belum mampu menyendokkannya sesuap pun ke dalam mulutku.Seharusnya cara mati yang kupilih kali ini lebih gampang dan menyenangkan. Ternyata aku salah.Cara ini pun sulit sekali kurasa.

Kembali aku membayangkan bagai mana aku akan bergumul dengan maut nanti.Perut yang sakit luar biasa, tenggorokan yang terasa terbakar, mulut yang berbusa dan mata hampir keluar karena maut seperti mengaduk-aduk isi perutku.Sudah hampir lima belas menit berlalu, tapi aku masih belum mampu.

Mengapa harus sesusah ini aku mati. Sebelumnya aku pernah menabrakkan diriku ketika sebuah truk melintas tapi sialnya supir truk itu melihat gelagatku itu. Aku hanya lecet-lecet sedikit karena supir dengan sigap membanting stirnya ke pinggir jalan.

Lalu aku juga sudah pernah mencoba bunuh diri dengan berniat terjun dari atap kantorku yang berlantai lima tapi gagal, karena pada saat itu sekuriti pengawas gedung juga mencurigai tingkah lakuku yang tertangkap kamera CCTV yang di pasang di atap gedung.

Akhirnya nasi goreng itu aku buang ke tong sampah. Aku urungkan niatku.Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku akan segera mengakhiri hidupku ini, segera.

***

Tentu kalian bertanya-tanya mengapa aku begitu ingin mengakhiri hidupku ini bukan? Baiklah aku akan menceritakan alasannya.

Aku lahir tanpa ayah, ibuku seorang TKW di Hongkong. Tiga bulan bekerja di sana sebagai PRT, pada suatu malam majikan laki-lakinya memintanya untuk mengurut kakinya dengan alasan keseleo.Malam itu juga ibuku diperkosa, tak hanya malam itu saja, tapi malam-malam berikutnya.

Tentu saja tak lama berselang ibuku hamil dan segera di pulangkan ke tanah air oleh majikannya dengan alasan tidak becus bekerja.Berbekal seonggok tas kain kusam dan beberapa gepok uang, ibuku dipaksa tutup mulut dan kembali dengan perut yang mulai membesar.

Selanjutnya tentu dapat ditebak, kekecewaan keluarga karena dianggap membawa aib. Ibuku pun terlunta-lunta di ibu kota.Dengan ketidak berdayaannya terpaksa menitipkan aku di sebuah panti asuhan tepat setelah tiga bulan kelahiranku. Setelah itu ibu menghilang, bahkan sampai hari ini aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Entah bagai mana nasibnya.Mungkin bumi telah menelannya.

Aku pun tumbuh menjadi bocah yang jauh dari sentuhan kasih sayang.Kasih ibu panti tak akan cukup berbagi dengan hampir lima puluh anak-anak lain yang nasibnya tidak jauh berbeda denganku.

Tapi ajaib, aku memiliki kepintaran yang aku sendiri tidak tahu diturunkan dari siapa. Aku lulus sekolah dengan nilai gemilang, prestasi akademikku membanggakan. Kuliah dengan beasiswa penuh dari sebuah perusahaan Otomotif tempat aku bekerja sekarang.

Tapi tetap dunia masih memandang seseorang itu dari mana ia berasal, acap terlontar pertanyaan siapa nama ayahmu, nama ibumu, dari mana keluargamu berasal, bla bla bla.

Dan masa laluku seperti sebuah awan mendung yang selalu menggelayuti langitku. Belasan tahun bekerja aku tetap saja sebagai seorang karyawan biasa.Hanya sebuah robot yang diperas otak dan tenaganya dan sialnya Menegerku mengakui kalau itu semua hasil kerja dan pemikirannya.Aku hanya onggokan daging yang dimanfaatkan.

Tak ada seorang pun yang menganggapku.Hingga pada suatu hari hatiku tertaut pada sosok Alice, seorang office girl baru di kantorku.Alice lah satu-satunya orang menganggap keberadaan diriku.

Berbekal keyakinan, aku lamar Alice. Dan dia menerimaku dengan tangan terbuka.Kami menjadi pasangan yang sangat berbahagia saat itu. Dua tahun berturut-turut kami dianugerahi anak-anak yang lucu-lucu.Puncak kebahagiaan dalam hidupku.

Hingga suatu hari awan hitam itu kembali memenuhi langitku. Alice pergi dengan kedua anakku yang sedang beranjak remaja.Ketika pada suatu sore aku menemukan secarik kertas di atas meja makan. Hanya secarik kertas yang bertuliskan KAMI TAK SANGGUP LAGI TINGGAL BERSAMA DIRIMU.

Ada apa dengan diriku? Tak layak kah aku hidup bahagia. Jadi sudah jelas bukan, mengapa aku begitu ingin sekali mengakhiri hidupku ini. Untuk apa aku hidup? Istri dan anak-anakku telah pergi, tinggal aku dan penyakit terkutuk ini.

Sengaja dari awal tak aku ceritakan tentang penyakitku ini.Penyakit kutukan, mungkin aku harus menanggungnya sendiri.Aku masih ingat tamu-tamu masih ramai ketika di atas pelaminan epilepsi-ku kumat.Tak sempat kurekam betapa terkejutnya Alice dan keluarganya pada saat itu. Malu, tentulah.

Juga ketika pada saat aku mengambil raport anak-anak di sekolahan mereka, penyakit sial itu datang tanpa pernah aku bisa cegah. Dan sejak itu anak-anak selalu pulang sekolah dengan mata sembab karena selalu diejek teman-temannya.

Waktu ternyata tak dapat membuat Alice dan anak-anak menerima kondisiku. Mereka menyerah, tak tahan menanggung malu. Apa lagi sejak anak-anak menginjak remaja dan mungkin Alice telah menemukan sosok lain yang lebih sempurna di matanya. Seorang duda beranak satu, tetangga baruku.

Ah..sudahlah, aku tak ingin memikirkannya lagi.Terlalu sering memikirkan hal itu seminggu ini saja sudah dua kali penyakitku itu kumat.Atasanku meminta aku untuk mengambil cuti panjang dan menyarankan aku beristirahat. Mungkin ini cara halus mereka agar aku resign dari pekerjaanku ini.Lihatlah! Bukan lagi awan mendung tapi kini langit telah runtuh dan menimpaku.

Sampai hari ini aku masih berpikir cara apa yang paling tepat untuk mengakhiri hidup, atau kubiarkan saja tubuhku ini habis digerogoti penyakit sialan itu. Penyakit psikis,  hingga akhirnya aku juga akan mati pelan-pelan.Entah lah…Mungkin Tuhan yang tahu jawabanya. Tiba-tiba aku rindu Tuhan, melebihi rinduku pada kematian.

*****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun