Aku pernah merasa kuat, merasa bisa menghadapi segalannya. Merasa cukup dengan diri ku sendiri. Aku piker, sela aku punya mimpi, tekad, dan tenaga, aku bisa melangkah sejauh yang akum au. Aku piker, aku bisa berjalan sejauh mungkin, sekuat kakiku melangkah. Tapi ternyata, kuat saja tidak cukup jika arah yang kita tuju tak jelas. Jika hati kita kosong. Jika langkah-langkah kita menjauh dari Tuhan.
Kita hidup di zaman yang serba cepat. Kita diajarkan untuk mengejar, berlari, berpacu dengan waktu, menaklukkan pencapaian demi pencapaian. Tapi tidak semua dari kita sempat bertanya: ke mana sebenarnya kita sedang menuju?
Aku pernah sampai di titik itu. Saat hidupku penuh targer, yang Dimana apa yang aku ingginkan bisa aku dapat, Tapi Secara kasat mata, semuanya tampak baik. Tapi hatiku kosong. Aku berjalan, ya, tapi tanpa arah yang benar. Kaki-kaki ini kuat, tapi tidak tahu ke mana seharusnya menuju. Aku mulai sadar, ternyata ada satu hal yang hilang: Tuhan.
Terkadang kita berpikir, kita tidak butuh siapa-siapa. Kita bisa berdiri sendiri. Tapi yang sering luput dari pikiran kita, bahwa kekuatan manusia itu sangat terbatas. Kita bisa semangat hari ini, tapi bisa rapuh besok. Kita bisa tertawa hari ini, tapi menangis diam-diam di malam hari. Kita bisa terlihat kuat di luar, tapi hancur perlahan di dalam.
Dan di saat-saat seperti itu, baru kita sadar: ternyata selama ini kita terlalu percaya pada kaki sendiri, terlalu percaya bahwa kita bisa sampai di tujuan hanya dengan mengandalkan diri sendiri.
Tapi... apa jadinya jika jalan yang kita tempuh ternyata salah? Apa gunanya kaki yang kuat kalau arahnya menjauh dari cahaya? Apa artinya pencapaian kalau hati kita jauh dari damai?
Tuhan bukan hanya sekadar tempat bersandar ketika kita lemah. Tuhan adalah arah. Dia adalah kompas. Dia yang tahu ke mana hidup kita seharusnya pergi.
Penah aku merenung dalam keheningan. Bukan karena kau sedang merasa religious, tapi aku merasa hidup ini terasa kosong. Rasanya seperti berjalan di lorong panjang yang gelap. Aku lelah. Semua hal yang dulu kuanggap membanggakan kini terasa hampa. Dan saat aku berseru, aku hanya ingin satu: arah.
Tuhan tidak menjawab dengan suara dari langit. Tapi tuhan menjawab dalam keheningan hati ku. Lewat damai yang tiba-tiba mengalir, lewat kesadaran bahwa aku harus berhenti berjalan sendiri.
Kadang kita baru sadar bahwa kita membutuhkan Tuhan ketika segalanya terasa buntu. Tapi justru di sanalah Tuhan hadir paling nyata. Bukan untuk menghukum, tapi untuk merangkul.
Dan sekarang aku selalu melibatkan tuhan dalam setiap langak ku. Bukan berarti semuannya jadi mulus sesuai yang aku inginkan, pasti masih ada kesulitan dalam setia proses kita, masih ada kegagalan. Tapi bedannya, sekarang aku tau aku tidak sendirian. Aku tau arahku tidak lagi kabur.