Sebagai daerah kepulauan, masyarakat Bangka Belitung memiliki akses langsung ke sumber daya ikan segar setiap hari. Ikan mayung yang biasa ditangkap nelayan lokal dijual dengan harga yang jauh lebih terjangkau dibanding salmon impor, yakni sekitar Rp25.000--35.000/kg, sementara salmon bisa mencapai Rp180.000--250.000/kg. Kelebihan lainnya, ikan mayung ditangkap secara berkelanjutan menggunakan perahu kecil dan alat tangkap sederhana yang tidak merusak habitat laut. Ini selaras dengan prinsip perikanan lestari yang digagas oleh FAO dan dijalankan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia.
Mengonsumsi ikan lokal bukan hanya soal gizi, tetapi juga bentuk nyata dukungan terhadap ekonomi nelayan, penguatan ekonomi daerah, serta pelestarian ekosistem laut. Ketika masyarakat Bangka Belitung lebih banyak memilih ikan lokal, maka akan tercipta dampak berantai yang positif: perekonomian pesisir meningkat, kesejahteraan nelayan terangkat, dan komoditas ekspor dapat difokuskan pada ikan bernilai tinggi seperti kerapu, tenggiri, dan udang.
Meskipun sebagian besar ekspor Babel masih terfokus pada produk mentah seperti cumi, ikan karang, dan hasil budidaya, tren global kini mengarah pada value-added product. Produk olahan seperti ikan mayung asap, abon ikan, atau minyak ikan kaya omega-3 dari hasil sampingan ikan lokal memiliki potensi pasar besar di Asia Tenggara dan Timur Tengah. Menurut laporan International Trade Centre (2022), permintaan akan produk pangan kaya omega-3 meningkat 11% per tahun di negara-negara berkembang. Jika Bangka Belitung mampu memproduksi minyak ikan mayung secara higienis dan memenuhi standar ekspor, maka kontribusi ekspor berbasis nilai gizi lokal akan semakin signifikan.
Berdasarkan semua fakta di atas, perlu adanya gerakan nyata untuk mengedukasi masyarakat agar tidak terjebak dalam persepsi "mewah" terhadap ikan impor. Ikan lokal seperti mayung terbukti tidak kalah bergizi, lebih segar, lebih murah, dan lebih mendukung ekosistem perikanan berkelanjutan di Bangka Belitung. Masyarakat khususnya generasi muda, perlu didorong untuk:
- Mengonsumsi ikan lokal minimal 3 kali per minggu.
- Mendukung UMKM olahan perikanan seperti abon ikan, bakso ikan, dan minyak ikan.
- Membagikan informasi gizi ikan lokal di media sosial untuk mengubah narasi konsumsi ikan nasional.
- Berkolaborasi dengan pelaku ekspor agar produk olahan lokal juga memiliki nilai ekonomi tinggi di pasar internasional.
Membandingkan ikan salmon dan ikan mayung bukanlah upaya menjatuhkan satu jenis ikan terhadap yang lain, tetapi membuka kesadaran akan kekayaan laut yang dimiliki Indonesia, khususnya Bangka Belitung. Kandungan omega-3 yang tinggi, harga terjangkau, keberlanjutan ekosistem, dan potensi ekonomi lokal menjadikan ikan mayung simbol baru gizi dan kemandirian pangan.
Mari konsumsi ikan lokal karena terjamin segar, sehat, harga terjangkau, dan meningkatkan ekonomi pesisir Bangka Belitung.
Referensi
- Ade Wijaya, A., Bija, S., & Abdiani, I. M. (2023). Karakteristik Minyak Ikan Manyung (Arius sp.) dengan Metode Dry Rendering. Jurnal FishtecH, 12(1), 4754.
- Dewi, A. L., Permata, E., & Virginia, M. (2023). Pengaruh Metode Penyimpanan Es dan Refrigerated Seawater (RSW) Terhadap Karakteristik Mutu Ikan Salmon (Salmo salar). Jurnal Kelautan dan Perikanan Indonesia, 3(2), 113--120.
- ITC (International Trade Centre). (2022). Omega-3 Global Market Overview. Retrieved from www.intracen.org
- Kementerian Kelautan dan Perikanan (2024). Laporan Tahunan Perikanan Budidaya dan Tangkap Bangka Belitung. Jakarta: Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI