Setiap kali terjadi peralihan kepala daerah, publik kerap disuguhi narasi indah tentang rotasi dan mutasi aparatur sipil negara (ASN). Kata-kata seperti "penyegaran organisasi," "penempatan sesuai kompetensi," atau "upaya meningkatkan kinerja birokrasi" begitu sering diucapkan. Namun, di balik manisnya kata-kata itu, realitasnya sering jauh berbeda. Fenomena inilah yang bisa kita sebut sebagai sugar coating dalam birokrasi daerah.
Wajah Manis Rotasi dan Mutasi
Secara formal, mutasi ASN memang diatur dalam regulasi sebagai bagian dari manajemen aparatur. Idealnya, kebijakan ini dilakukan berdasarkan kebutuhan organisasi dan profesionalisme pegawai. Tetapi, dalam praktik di lapangan, terutama pasca-pilkada, narasi manis tentang rotasi sering hanya menjadi pembungkus dari agenda politik kepala daerah terpilih.
Pejabat publik mengemas kebijakan mutasi dengan kata-kata normatif seperti "demi efisiensi," "demi pemerataan pengalaman kerja," atau "untuk optimalisasi pelayanan publik." Publik seakan diyakinkan bahwa semuanya berjalan sesuai aturan. Namun, faktanya mutasi lebih sering dikaitkan dengan loyalitas politik dan balas jasa dukungan saat pilkada.
Politisasi di Balik Sugar Coating
Praktik ini jelas terlihat di banyak daerah:
- ASN yang tidak mendukung kepala daerah terpilih "dimutasi" ke posisi yang lebih pinggiran, meskipun secara kinerja baik.
- ASN pendukung atau loyalis politik justru mendapat promosi, meskipun tidak selalu sesuai kompetensi.
- Semua ini lalu dipoles dengan bahasa manis birokrasi agar terlihat sah, seakan-akan murni demi organisasi.
Sugar coating di sini berfungsi sebagai tameng politik. Pejabat publik tidak menyebut mutasi sebagai bentuk balas budi atau hukuman, melainkan sekadar "penataan organisasi."
Dampak Negatif
Sugar coating dalam kebijakan mutasi birokrasi daerah membawa dampak serius:
- Merusak profesionalisme ASN: karena promosi tidak lagi berbasis merit, tetapi loyalitas politik.
- Menurunkan moral pegawai: ASN yang berprestasi bisa kehilangan motivasi karena tahu bahwa kinerja bukan faktor utama.
- Melemahkan pelayanan publik: rotasi berbasis politik membuat orang yang tidak kompeten duduk di jabatan strategis.
- Menciptakan instabilitas birokrasi: setiap pergantian kepala daerah, ASN resah menunggu "gelombang mutasi."
Solusi: Hentikan Bahasa Manis, Tunjukkan Integritas
Untuk memutus lingkaran ini, ada beberapa langkah yang seharusnya dilakukan:
- Transparansi Alasan Mutasi
- Kepala daerah harus berani menjelaskan secara terbuka kriteria objektif mutasi, bukan sekadar narasi umum.
- Penguatan Sistem Merit
- Komisi ASN dan lembaga pengawas kepegawaian perlu benar-benar menjalankan fungsi kontrol agar mutasi tidak jadi alat politik.
- Perlindungan ASN
- ASN perlu dijamin haknya untuk netral, tidak boleh dipaksa terlibat politik praktis dan tidak boleh dihukum karena pilihan politiknya.
- Budaya Jujur dalam Birokrasi
- Sugar coating harus dikikis dengan keberanian berkata apa adanya. Jika mutasi karena kebutuhan organisasi, sampaikan dengan data; jika tidak, publik berhak tahu ada apa di balik kebijakan itu.
Â
Sugar coating dalam birokrasi daerah membuat publik mendengar bahasa manis, tetapi merasakan pahitnya politisasi. Mutasi dan rotasi ASN yang seharusnya berbasis profesionalisme berubah menjadi instrumen balas budi politik, lalu dipoles dengan kata-kata normatif agar tampak sah.
Jika praktik ini terus dibiarkan, birokrasi daerah tidak akan pernah menjadi motor pelayanan publik yang efektif. ASN akan tetap cemas setiap kali pilkada usai, bukan karena ingin meningkatkan kinerja, melainkan karena takut terjebak dalam "mutasi politik."
Sudah saatnya kepala daerah berhenti menutupi kepentingan politik dengan bahasa manis. Publik membutuhkan integritas, bukan gula kata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI