Mohon tunggu...
Septya Eleyna
Septya Eleyna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hukum

Tertarik pada diving dan adventure

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sanksi Adat Bagi Pelaku Zina di Bojonegoro

30 Maret 2024   15:50 Diperbarui: 31 Maret 2024   01:20 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sabtu malam, 23 Maret 2024, Desa Mayangkalis Balen, Bojonegoro. Dalam unggahan video di akun X milik @Pai_C1 terdapat sepasang kekasih yang bukan suami istri sedang diarak warga. Menurut cuitan di akun tersebut, penggerebekan dilakukan warga di salah satu rumah pasangan. Sanksi adat arakan dilakukan bertujuan agar pelaku zina merasakan jera atas perbuatannya. Namun apakah sanksi adat tersebut tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia?

Indonesia merupakan bangsa yang memiliki berbagai macam ras, suku, budaya, dan agama. Keberagaman tersebut melahirkan berbagai kebiasaan adat yang dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat yang disebut hukum adat. Hukum adat memiliki nilai-nilai yang sangat erat kaitannya dengan tingkah laku, sosial dan budaya masyarakat. Maka dari itu, masyarakat lebih cenderung menggunakan hukum adat dan menjadikannya pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi.

Apabila terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam bermasyarakat dan bernegara maka peran hukum dapat dilihat secara lebih konkrit. Dalam hukum pidana, ada dua hukum yang dapat digunakan oleh Masyarakat yaitu hukum pidana yang bersumber dari peraturan tidak tertulis dan hukum yang bersumber dari KUHP serta peraturan yang tertulis ataupun kebiasaan adat yang disebut hukum pidana adat. Hukum pidana adat mengatur tindakan yang melanggar kepatutan dan keadilan dalam bermasyarakat serta memuat sanksi adat.

Jika dilihat dari hukum positif di Indonesia, dalam pasal 284 KUHP berbunyi:

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan:

  • 1. a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui pasal 27 BW berlaku baginya.
  • 1. b. Seorag wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.
  • 2. a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.
  • 2. b. Seorang Wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.

2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga.

3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

5) Jika bagi suami istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Dapat ditarik kesimpulan dari pasal 284 KUHP bahwa zina adalah hubungan suami istri yang dilakukan oleh laki-laki dan wanita yang telah kawin dengan seseorang yang bukan istri ataupun suaminya. Dan penuntutan atau pengaduan ini harus dilakukan oleh suami/istri yang tercemar. Jika terdapat pasangan yang dituduhkan baginya melakukan perzinahan namun keduanya belum menikah maka tidak dapat dibebankan pasal 284 KUHP untuknya. Berhubungan suami istri dengan orang yang bukan suami/istri memang bertentangan dengan norma-norma yang dianut masyarakat. Hal itu dapat dipidana berdasar pasal 281 ayat 1 KUHP jika melakukan perbuatan tersebut di muka umum. Pasal tersebut berbunyi diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat juta lima ratus ribu rupiah bagi orang yang dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan. Jika dilihat dari pasal 281 ayat 1 KUHP hal itu hanya dapat ditujukan apabila pelaku melakukannya di tempat terbuka yang dapat dilihat dan didatangi banyak orang.

Menurut R. Soesilo, meskipun pelaku tidak melakukan perbuatan tersebut di muka umum, perbuatan tersebut tetap dapat dihukum apabila ada seseorang yang tidak sengaja atau tidak mendatangi tempat kejadian bermaksud untuk melihat perbuatan itu.  Seseorang yang tidak sengaja melihat atau menjumpai pasangan yang melakukan hubungan suami istri bukan dengan suami/istrinya dikenal dengan istilah tertangkap tangan. Tertangkap tangan diatur dalam pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun