Pasca berakhirnya Perang Dunia II, globalisasi dan multilateralisme seolah menjadi kata kunci yang harus dilaksanakan semua negara. Saat itu banyak negara-negara yang baru merdeka, termasuk Indonesia, menghadapi pusaran politik ekonomi global yang berporos pada perdagangan bebas dan kapitalisme.
Para pemenang perang seperti Amerika Serikat, Inggris Raya, Perancis, dan beberapa negara Eropa memposisikan diri menjadi "pemimpin dunia". Mereka membentuk lembaga-lembaga multinasional seperti United Nations (UN), International Monetary Fund (IMF), dan World Trade Organization (WTO), yang ditujukan untuk mendorong terwujudnya era multilateral dimana berbagai negara saling terhubung dalam kerangka kerjasama internasional.
Sejak saat itu, negara-negara 'Global North' memimpin perputaran ekonomi dunia dan mengarahkan bagaimana negara-negara lain bekerja menangani isu-isu global.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, dunia cenderung berbalik arah menjauhi globalisasi. Sang adidaya, Amerika Serikat, menarik diri dari berbagai kesepakatan multilateral antara lain keluar dari Perjanjian Iklim, WHO, dan UNESCO. Selain itu, Inggris Raya resmi menarik diri dari Uni Eropa atau sering disebut sebagai 'Brexit'.
Selain itu, AS terus menekan ekonomi global dengan kebijakan tarif tingginya pada berbagai negara. Hal yang perlu dicermati dari sisi geopolitik, berbagai langkah kontroversial ini terus digelorakan AS ketika tidak lagi menjadi poros utama dunia. Kini ada China, raksasa Asia yang menjadi penantang hegemoni AS. Terlebih juga muncul negara-negara dari 'Global South' yang mesin ekonominya mulai melaju kencang seperti India, Brazil, dan Vietnam.
Negara-negara tersebut bahkan bergabung ke dalam aliansi ekonomi dan politik bersama China dan Rusia yaitu BRICS. Membuka persaingan terbuka dengan aliansi penguasa 'status quo' yaitu G7 yang dipimpin AS.
Berbagai dinamika global itu membuat negara-negara lain terseret untuk menjauhi multilateralisme, dengan cenderung mengutamakan ketahanan ekonomi nasionalnya masing-masing atau membentuk kerjasama blok regional.
Bahkan di beberapa negara kini sedang marak gerakan sayap kanan jauh (far-right) atau ultranasionalisme. Slogan-slogan seperti 'Make America Great Again' (Amerika Serikat), 'Take Back Control' (Inggris Raya), 'Germany for the Germans' (Jerman), menggelorakan sentimen proteksionisme dan menjauhi globalisasi.
Semua perubahan ini menandai pergeseran besar, dari dunia multilateral menjadi unilateral yang penuh dengan gesekan. Menjadi sebuah periode yang penuh ketidakpastian.
Siaga Eskalasi
Pergerakan politik yang cenderung ultranasionalis dan berbagai konflik yang menjauhkan dunia dari globalisasi menimbulkan kekhawatiran bahwa ketegangan global semakin memanas. Bahkan Fawaz Gerges, Profesor Ilmu Hubungan Internasional di London School of Economics, mengatakan bahwa saat ini kita berada pada momen-momen paling berbahaya semenjak era Perang Dunia II.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres bahkan menyebut saat ini kita hidup di masa 'Age of Chaos'. Pembahasan-pembahasan penting di Rapat Umum maupun Dewan Keamanan PBB sering mengalami deadlock.Â
Perang Rusia-Ukraina, genosida di Gaza, konflik di Sudan, Myanmar, dan Haiti membuat banyak warga menderita dan merusak kedamaian dunia. Berbagai konflik yang semakin banyak terjadi tidak mampu diatasi melalui kerjasama global, bahkan kekacauan justru semakin meningkat.Â
Banyak pihak yang khawatir bahwa ketegangan geopolitik ini dapat memicu perang dunia berskala global. Meskipun tentu kita tidak berharap perang besar terjadi, namun kita perlu belajar dari sejarah untuk mencegahnya terjadi.Â
Perang Dunia I, terjadi ketika dunia berada di masa 'Belle Epoque', periode kemajuan ilmu pengetahuan dan kesenian di Eropa. Namun ketegangan yang memang sudah ada antar blok-blok aliansi mengalami eskalasi dengan cepat ketika Franz Ferdinand dibunuh.Â
Lalu Perang Dunia II, terjadi ketika dunia tengah dalam masa perjanjian Versailles. Meskipun pada saat itu juga terjadi krisis ekonomi 'Great Depression' yang memicu konflik dengan solusi militeristik.Â
Meskipun saat ini perang secara militer tidak terjadi dan semoga tidak akan terjadi, namun konflik tidak langsung seperti era 'Cold War' sudah semakin terasa. Perang tarif antara AS dan China, konflik di Timur Tengah, hingga persaingan teknologi membuat relasi antar negara semakin kompleks.Â
Negara-negara maju kini semakin berhati-hati dalam menentukan langkah politik dan ekonominya. Terlebih bagi negara-negara berkembang yang semakin serba salah menentukan mana kawan dan mana lawan. Â Â
Globalisasi memang belum benar-benar berakhir, namun tidak dipungkiri sedang berada di persimpangan jalan. Jika negara-negara terus terjebak dalam ultranasionalisme dan persaingan elitis maka dunia akan semakin terfragmentasi. Dunia seharusnya belajar bahwa untuk mencegah krisis dan konflik global, semangat kerjasama antar negara secara setara harus dihidupkan kembali.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI