3. Ekonomi Klasik (1770-1870 M)
Memasuki akhir abad ke-18, muncul tokoh penting yang mengguncang fondasi merkantilisme: Adam Smith. Lewat karya monumentalnya The Wealth of Nations (1776), cendekiawan asal Skotlandia ini memperkenalkan ide-ide penting seperti kebebasan individu dalam berusaha (free market), pembagian kerja (division of labor), serta pentingnya membatasi intervensi negara dalam ekonomi.
Menurut Smith, jika setiap individu dibiarkan mengejar kepentingannya sendiri, "invisible hand" akan secara alami mengarahkan ekonomi ke arah efisiensi dan kemakmuran bersama. Pemikiran ini bukan hanya mengubah arah teori ekonomi, tapi juga memicu Revolusi Industri yang mengguncang Inggris, Eropa, dan Amerika.
Namun, setiap arus besar selalu mengundang tandingan. Sekitar satu abad kemudian, Karl Marx, muncul sebagai pengkritik keras sistem kapitalis yang dianggap terlalu menguntungkan kaum borjuis dan menindas kelas pekerja. Lewat The Communist Manifesto dan Das Kapital, Marx menggambarkan bagaimana orientasi pada akumulasi modal justru menciptakan ketidakadilan sosial. Ia menawarkan alternatif radikal: penghapusan kepemilikan pribadi atas alat produksi dan pengorganisasian masyarakat secara kolektif. Pemikiran Marx ini memperkuat ideologi sosialis, hingga melahirkan filosofi ekonomi Marxisme.
4. Ekonomi Neoklasik dan Perang Dunia (1870-1944)
Sekitar tahun 1870, ekonomi mulai memasuki fase baru yang lebih analitis dan matematis, dikenal sebagai era Ekonomi Neoklasik. Di periode ini, sejumlah ekonom seperti William Stanley Jevons, Carl Menger, dan Lon Walras mengembangkan konsep utilitas marjinal, dan keseimbangan pasar untuk mendorong stabilitas ekonomi. Termasuk berkembangnya gold standard, sebuah sistem moneter yang mengikat nilai mata uang pada cadangan emas. Pada prinsipnya, uang kertas, cek, dan instrumen keuangan lainnya merupakan surat janji yang bisa ditukar dengan emas.
Namun stabilitas ekonomi tak bertahan lama. Konflik antar negara memuncak dan meletus menjadi Perang Dunia I (1914-1918), yang memicu inflasi dan utang besar-besaran. Tak lama kemudian, dunia dihantam Great Depression (1929-1939), akibat spekulasi pasar dan lemahnya pengelolaan ekonomi. Krisis ini memperlihatkan bahwa pasar tidak selalu bisa menyeimbangkan dirinya sendiri, sebuah kritik keras untuk pemikiran Adam Smith.
Dari kekacauan tersebut, lahirlah pemikiran baru dari ekonom Inggris John Maynard Keynes. Ia mengusulkan negara berperan lebih aktif dalam menjaga stabilitas ekonomi, terutama lewat belanja publik dan kebijakan fiskal. Gagasannya dituangkan dalam The General Theory of Employment, Interest, and Money dan menjadi landasan banyak kebijakan ekonomi modern, termasuk pembiayaan atau pencetakan uang besar-besaran selama Perang Dunia II (1939-1945). Pemikiran yang disebut Keynesian ini masih menjadi landasan kebijakan ekonomi banyak negara modern saat ini.
5. Tata Dunia Pasca-Perang dan Globalisasi (1944-saat ini)
Setelah Perang Dunia II berakhir, Amerika Serikat tampil sebagai penguasa ekonomi dunia. Lewat Bretton Woods Agreement (1944), mata uang negara-negara besar diikat pada dolar AS, yang saat itu masih bisa ditukar dengan emas. Sistem ini menciptakan kestabilan global, hingga akhirnya runtuh pada 1971 ketika di tengah krisis inflasi dan Perang Vietnam, Presiden AS Richard Nixon menghentikan konvertibilitas dolar terhadap emas.