Mohon tunggu...
Septian Ananggadipa
Septian Ananggadipa Mohon Tunggu... Auditor - So let man observed from what he created

Pejalan kaki (septianangga7@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ketika Skandal Minyak Mengguncang Singapura

26 Mei 2020   07:27 Diperbarui: 26 Mei 2020   07:29 1856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: unsplash.com/Swapnil Bapat

Singapura dikenal sebagai salah satu negara bisnis terbaik di dunia, banyak aktivitas perdagangan skala internasional berbasis disana. Namun, awal tahun 2020 ini menjadi mimpi buruk bagi dunia bisnis di negeri merlion.

Perang dagang AS vs China, pandemi Covid-19, ditambah perang harga minyak Saudi vs Rusia, membuat bisnis trading berdarah-darah.

Terbaru, salah satu trader minyak terbesar di Singapura yaitu Hin Leong (Pte) Ltd terungkap menyembunyikan kerugian hingga USD 800 juta! Wow.

Bagaimana bisa tidak ada yang tahu? apa tidak keuangannya tidak diaudit?

FYI, kantor akuntan publik yang melakukan audit keuangan tahun 2019 adalah Deloitte & Touche LLP, salah satu Big Four, bukan sembarang pemeriksaan (seharusnya...).

Lalu, siapa sebenarnya Hin Leong? dan apa yang terjadi?

Skandal Keuangan

Hin Leong didirikan oleh Lim Oon Kuin sejak tahun 1963, berawal dari hanya bermodal 1 kapal kecil untuk mensuplai minyak kemudian berkembang hingga memiliki lebih dari 100 kapal tanker raksasa.

Jelas bukan bisnis instan yang abal-abal. Majalah TIME pun menyebut Hin Leong sebagai One of the World's Largest Oil Trading Firms.

Pada posisi 31 Oktober 2019 pun Hin Leong masih mencatatkan laba USD 78 juta, namun secara mengejutkan Maret lalu, Lim Oon Kuin mengaku menyembunyikan kerugian hingga USD 800 juta.

Lim Oon Kuin menyatakan bahwa ia yang menyuruh bagian keuangan untuk menyembunyikan pencatatan kerugian tersebut, dengan harapan permasalahan harga minyak akan segera berlalu.

Namun nyatanya, harga minyak makin jungkir balik, apalagi ketika Pangeran Salman dari Saudi perang harga habis-habisan dengan Rusia. Minyak yang dulu dibeli Hin Leong dengan harga di atas 50 dolar/barel harus dijual 30 dolar/barel.

Akhirnya setelah berbulan-bulan, Hin Leong-pun tak sanggup lagi, kasnya habis...

Banyak pihak pun terkejut bukan kepalang. Terutama tentu saja para kreditur yang merupakan bank-bank internasional besar.

Informasi yang dihimpun dari Bloomberg menunjukkan Hin Leong tercatat memiliki utang USD 3,85 milyar atau hampir Rp60 triliun dari sekitar 23 bank internasional, antara lain HSBC Holdings, DBS Holdings, OCBC, UOB, dan Societe Generale.

Kreditur terbesarnya adalah HBSC, sebesar USD 600 juta, atau Rp9 triliun.

Jaminan kredit-kredit jumbo itu sebagian besar adalah stok minyak yang tersimpan di tanki dan kapal tanker raksasa, yang kini mungkin tak banyak bersisa.

Angkat tangan, Hin Leong bersurat kepada Pengadilan Tinggi Singapura untuk pengajuan bangkrut.

Pada presentasi April lalu, berdasarkan sisa aset yang kini dimiliki Hin Leong, tingkat pengembalian utang hanya sebesar 18 sen per dolar (artinya setiap 1 dolar uang pinjaman hanya mampu dikembalikan 18 sen). Sehingga, uang puluhan triliun tadi terancam menguap tanpa bekas.


Dampak Keras

Singapura dikenal sebagai salah satu commodities trading hub terbaik di dunia. Namun seiring dengan makin tak menentunya kondisi keuangan global, dunia trading menghadapi permasalahan serius.

Negeri merlion yang menjadi basis para trader pun kelimpungan. Jatuhnya Hin Leong menjadi tamparan keras bagi reputasi negara, saat psikologi pasar belum sepenuhnya pulih dari jatuhnya 2 commodity trader besar sebelumnya yaitu Noble Group dan Agritrade International.

Ambruknya Hin Leong juga menjadi sinyal bahaya bagi trader-trader minyak lainnya. Di tengah kondisi harga minyak yang tidak stabil, kini kreditur pun mulai sangat waspada, artinya trader makin sulit mencari dana segar.

Tidak hanya itu, otoritas hukum kini mulai memicingkan mata ke para trader. Kecurigaan atas transaksi trading dan penyembunyian pencatatan keuangan mengemuka.

Berdasarkan pemberitaan S&P Global, selain Hin Leong, banyak trader yang masuk radar bahaya dan dalam penyelidikan. Diantaranya adalah ZenRock Group dan Hontop Energy.

Jelas, Singapura tidak bisa berleha-leha, apalagi para trader, masa-masa penuh keuntungan besar dari perdagangan berjangka sudah berlalu, kini ketidakpastian mau tidak mau harus dihadapi.

Para konsultan internasional dan otoritas Singapura menyatakan bahwa dampak kerugian atas kasus skandal minyak masih manageable. Perusahaan minyak dan commodities trader memang akan menyesuaikan biaya dan skala bisnisnya, tapi badai akan berlalu.

Namun sebagian pakar ekonomi berpendapat bahwa seharusnya otoritas dan asosiasi tidak tinggal diam, utamanya terkait what should and should not be on the balance sheet of a commodity trader, mereka juga mendorong perubahan regulasi dan praktik akuntansi.

Skandal beberapa korporasi minyak dan komoditas besar mengingatkan kita tentang kasus Enron Energy di Amerika tahun 2001 yang menyebabkan kerugian hingga USD 74 miliar, dan turut membuat dibubarkannya kantor akuntan terbesar Arthur Andersen, serta merombak praktik akuntasi global.

Pandemi Covid-19 kini belum sepenuhnya berlalu, dan kita tidak pernah tahu trade war atau bencana apa yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang. Dunia ekonomi memang seharusnya serius menghadapi ketidakpastian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun