Mohon tunggu...
SEPTIARUHTA
SEPTIARUHTA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menggenggam Bara Api

Anak Sasian

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Secopeng Rasa dari Buku Imam Samudra

20 Juni 2021   12:03 Diperbarui: 20 Juni 2021   12:04 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bukujihad.wordpress.com

 

"Tangismu wahai bayi-bayi tanpa kepala

dibentur di tembok-tembok Palestina

Jeritmu wahai bayi-bayi Afganistan

yang memanggil-manggilku tanpa lengan

dieksekusi bom-bom jahanam


saat ayah bundamu menjalani Ramadhan"

September 2004, cetakan pertama buku "Aku Melawan Teroris" resmi diterbitkan oleh Jazeera, Solo. Sampai cetakan ketiga buku ini laku keras, namun setahun setelahnya dikabarkan pembaca sulit untuk mendapatkan buku tersebut, sebagaimana dilansir oleh detikcom pada November 2005. Dan ternyata hal itu bukan kabar belaka, saya sendiri menemukan buku ini baru sekitar lima tahun silam dan merupakan milik seorang kakak alumni SMA yang diwakafkan. Sungguh, sebuah nikmat yang luar biasa, Allah Swt.izinkan saya untuk menggali banyak ilmu yang penulis sajikan di dalam bukunya. Tidak hanya berkaitan dengan jihad fii sabilillah, darinya saya petik sejuta hikmah dari autobiografi penulis sejak masa kecil hingga akhirnya divonis mati pada September 2003.

Buku yang merupakan torehan catatan harian Imam Samudra ini, ditulis dibalik jeruji besi sembari menunggu proses eksekusi atas permintaan dari TPM (Tim Pengacara Muslim). Pada awalnya penulis menolak untuk menuliskan autobiografi dirinya, namun karena terbesit pada benaknya akan kewajiban memberikan penjelasan dalil-dalil syar'i operasi jihad, akhirnya sampailah sang penulis di ujung buku yang tebalnya 280 halaman. Berdasar atas perang batin yang telah dilaluinya, dikutip dalam bukunya sebuah judul "Biografi setengah hati". Selain buku yang satu ini, ia juga menulis beberapa buku lain selama di penjara seperti "Sekuntum Rosela Pelipur Lara".

Kata orang "Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali". Mungkin beberapa orang beranggapan penulisan resensi ini sudah ketinggalan zaman, atau bahkan saat saya membaca buku ini pertama kali juga sudah sangat jauh dari tahun penerbitan. Tapi, bagi saya tidak ada kata terlambat, toh orang yang pengetahuannya mendahului saya, dulunya juga tidak tahu. Terlepas dari itu, ilmu-ilmu yang tergores di dalamnya penting sekali untuk diketahui, khususnya bagi generasi Islam yang di masa depan akan mengibarkan raayatul Islam lii'laai kalimatillah, serta mengingatkan kaum muslimin yang kurang melek terhadap perang salib yang masih terjadi hingga saat ini. Oleh karena itu, buku ini terpilih untuk diresensi dari sekian buku popular zaman now. Semoga apa yang menjadi harapan akan Allah Swt. kabulkan, amin.

"Terima kasih, Musuhku", saya sedikit tersontak dengan sambutan itu, tapi, keinginan saya untuk segera sampai ke bagian akhir malah semakin menggebu. Judulnya sudah membuat saya dan beberapa rekan tidak bisa tidur, lantaran kehidupan asrama yang memberikan antrian untuk banyak hal, termasuk untuk membaca buku pinjaman. Di halaman 4, sang editor (Bambang Sukirno) memaparkan sejumlah paragraf yang dinukil dari Syukron Ayyuhal A'da, tulisan syekh Salman Fadh, seorang ulama senior Timur Tengah. Sungguh kata-kata yang luar biasa, setiap baitnya akan membangkitkan energi postif bagi diri pembaca yang menghayatinya. Tidak seperti biasanya, saya merasa sangat disayangkan untuk melewati satu huruf saja dari buku ini, bahkan kata pengantar dan hal-hal lain yang biasanya saya lewatkan ketika membaca buku tertentu, kali ini saya bahas tuntas hingga sampul akhir.

Abdul Aziz alias Imam Samudra alias Qudama adalah seorang pemuda asal Banten, semangat jihadnya diwariskan oleh sang nenek moyang yang merupakan seorang mujahid di peristiwa Geger Cilegon tahun 1988 dan kini monumen jihadnya diabadikan berupa patung lelaki berjubah di tengah kota Serang, bahkan perjuanganya sempat difilmkan, beliau adalah Ki Wasyid. Abdul Aziz kecil merupakan anak yang cerdas, ia sering mewakili sekolahnya dalam beberapa perlombaan seperti mengarang, wajar saja tulisanya tidak kalah dari tulisan-tulisan best seller. Tidak ada satu pun muslim sejati yang membacanya, kecuali hatinya akan tersayat-sayat, matanya akan menangis haru, atau sekejap marah memerah, atau timbul rasa iri akan keistimewaan yang Allah Swt. berikan, saat memilihnya untuk berpulang setelah mencapai dzirwatu sanaamil Islam (puncak tertinggi agama Islam) yaitu jihad, walau mungkin terluka di mata sejarah.

Amrozi c.s atau peristiwa jihad bom Bali, mungkin dua hal itu yang sering terlintas jika disebutkan nama Imam Samudra. Peristiwa yang terjadi pada tahun 2002 itu banyak kurang telah memicu adanya pertanyaan 5W+1H dan ungkapan-ungkapan perih yang terucap lirih tentang agama Islam, hal ini digambarkan oleh Imam Samudra sebagaimana lima orang buta yang masing-masing memberikan komentar tentang gajah, dari sini ia berusaha mengajak pembaca untuk tidak melihat Islam secara kasat mata saja, bahkan sangat diperlukan kacamata tebal sehingga tidak ada yang menganggap gajah sebagai kipas. Di dalam bukunya ia menjelaskan peristiwa jihad bom Bali dengan sangat mendetail berikut penalaran mengenai jihad dan tingkatan-tingkatanya, serta jawaban dari pertanyaan 5W+1H itu, sebab memahaminya tidak bisa hitam putih begitu saja, ada spektrum permasalahan dengan segenap wacanannya yang harus dimengerti secara mendasar dan fundamental. Secara tegas ia mengatakan "Bali bukanlah sasaran". Selain itu, ia juga menyebutkan dalil-dalil naqli ataupun aqli yang mendasari aksi jihad itu, sebab seorang muslim tidak layak bertindak atau beramal tanpa ilmu. Terlepas dari tujuan justifikasi, ia lebih berkeinginan untuk menyampaikan sebuah kebenaran yang didatangkan oleh syariat Islam. Berkaitan dengan bom Bali, penulis menyebutkan juga beberapa kasus seperti tragedi WTC 11 Sepetember, serta berbagai bentuk serangan dan penindasan terhadap umat Islam seperti yang terjai di Palestina, Afganistan, Poso, dll. Melalui bukunya, ia ingin mengundang para pembaca untuk sedikit menilik sejarah panjang penindasan umat Islam dan kebungkaman dunia akan hal itu, terparahnya semenjak keruntuhan Khilafah Ustmaniyyah (Turki Usmani) pada 23 Mei 1924, yaitu saat benteng terakhir umat Islam tumbang.

"Ujian itu pasti, sabar itu pilihan" tulisnya, memulai jihadnya dengan pergi ke Afganistan hingga menetap di istana uzlah (penjara) dan dijatuhi hukuman mati, pastinya telah menjadi perjalanan panjang yang penuh ujian, namun baginya derita yang dialami kaum mukminin adalah rahmat dari sang Khaliq yang akan berbuah surga. Membeli surga memang perkara sulit, jika mudah mengapa keluarga Yasir rela tersiksa dan memegang iman? Mengapa Bilal rela menanggung beban berat batu yang begitu besar dan menjaga Islam? Kerinduan kepada keluarga dan kepada ketua osisnya di masa SMP (istrinya, Zakiyah Derajat), air di lapas yang sering tidak mengalir, atau keinginan untuk memakan roti dan mentega sering kali membuat dirinya berucap istighfar, mengingat tangisan bayi-bayi Palestina.

"Wahai diri, bersabarlah

Ia memang berat

Ia memang penat

Benarlah firman-Nya

Benarlah sabda sang baginda Nabi "...laksana menggenggam bara api"

Di bagian akhir buku, disebutkan beberapa jenis karomah (kejadian luar biasa sebagai bentuk kemuliaan dan pertolongan dari Allah Swt. untuk hamba-Nya) yang terjadi pada diri Imam Samudra selama hidupnya di istana uzlah. Sang editor mengatakan bahwa Imam Samudra menuliskan mimpi-mimpinya yang benar (ru'yah shadiqah) dalam catatan khusus setebal 80 halaman kurang lebih, namun karna alasan tertentu tulisan tersebut  tidak bisa dimuat. Tulisan sekilas tentang masa SMA-nya juga pernah dituliskan, namun coretan yang diselundupkan ke luar jeruji itu raib, beberapa halaman dari buku tipisnya juga dikurangi oleh Tim Investigasi.

Terlepas dari segala bentuk catatan yang memang tidak bisa ditampilkan, saya ucapkan terima kasih kepada segenap tim penerbit berikut editor yang telah mengenalkan Imam Samudra kepada dunia, terkhusus generasi Z, generasi yang saat buku ini terbit masih ingusan dan hanya tahu makan, atau mungkin belum dilahirkan. Melalui penulisan resensi ini, saya semakin menyadari arti dari ungkapan sastrawan Pramoedya di sebuah yupa "Menulislah maka kamu akan abadi" atau akan selalu dikenang sepanjang sejarah.

Bismillahi fii awwalihi wa akhirihi.

IDENTITAS BUKU

Judul: Aku Melawan teroris

Pengarang: Imam Samudra

Editor: Bambang Sukirno

Desain Sampul: Rahmat Rudianto

Penerbit: Jazeera, Solo

Cetakan: I, September 2004

ISBN: 979-98690-0-2

Tebal: 280

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun