Mohon tunggu...
Septia RositaDewi
Septia RositaDewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Negeri Malang

Menyukai isu terkait ekonomi dan bisnis

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

EIGER Green dan Komitemen Industri Fesyen terhadap Isu Lingkungan

27 September 2023   09:00 Diperbarui: 27 September 2023   09:21 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Cherie Birkner on Unsplash 

 

Merek EIGER sudah tidak asing lagi ditelinga Masyarakat Indonesia. Apalagi bagi orang-orang yang hobi melihat keindahan alam tropis. EIGER kini memiliki pasar dan pembeli setia yang sudah merambah ke pasar internasional. Dimulai pada tahun 1989 di Bandung, sekarang EIGER berani membuka toko di kaki Gunung Eiger, Swiss. Momentum ini merupakan kesempatan bagi EIGER untuk memperluas jangkauan pasarnya.

Perluasan pasar berarti perluasan volume produksi. Sehingga EIGER pastinya akan memproduksi lebih banyak produk EIGER. Tentunya proses produksi dari hulu ke hilir ini berpotensi melukai alam sekitar. Tidak tinggal diam, EIGER merespons dengan hadirnya produk EIGER Green dan pengaplikasian  5 (lima) pilar keberlanjutan pada produktivitas EIGER. Kelima pilar tersebut di antaranya yaitu eco and friendly store, innovative and sustainable production and consumption, good corporate governance, educate and empower people, responsible shipping, dan warehousing. Pilar-pilar tersebut terintegrasi dalam proses produksi produk EIGER mulai dari pemasok, pengrajin, aktivitas di kantor dan pabrik EIGER, offline store, bahkan sampai mengganti bubble wrap dengan honeycomb wrap yang lebih mudah terurai untuk belanja di online store

EIGER Green Project menjual produk upcycling yang hanya dijual di Lazada. Produk yang dihasilkan untuk EIGER Green ini berasal dari limbah mode produk yang tidak memenuhi standar kualitas. Namun, melalui EIGER Green Project ini sampah tersebut disulap menjadi produk baru yang layak pakai dan stylish. Sehingga melalui model upcycling ini, sampah fesyen bisa berkurang. 

Dari 2022, EIGER melakukan penghematan energi dengan mengurangi intensitas penggunaan listrik di kantor pusat dan pemasok. Sebelumnya, setiap karyawan di EIGER akan memakai 4,80 KWH per hari. Setelah penghematan dengan gerakan mematikan lampu dan komputer setiap jam istrirahat, mematikan AC dari pukul 16.00 hingga 17.00 WIB, mutasi data server ke cloud, peralihan pompa air menjadi pompa inverter, dan inisiatif lainnya. Kini, penggunaan listrik turun sebesar 18% menjadi 3,92 KWH per hari. Dalam produksi produk EIGER, penggunaan listrik per item kini menjadi 0,36 KWH. Yang mana turun 3% dari tahun sebelumnya. 

Untuk menjaga komitmennya, EIGER juga memberlakukan asesmen dengan Eco and Friendly Store and Office atau EFSO Score Card yang sudah diterapkan di 40 toko EIGER yang tersebar di 19 provinsi di Indonesia. 

Langkah-langkah EIGER Green Project ini sangat serius. Walaupun tentunya EIGER harus bekerja keras untuk menjalankan komitmennya tersebut. Mengapa EIGER sangat berkomitmen sekali dalam melakukan keberlanjutan dalam lini usahanya? Bagaimana dengan merek-merek fashion lainnya? Apakah mereka juga peduli dan melakukan hal yang sama seperti yang EIGER lakukan? 

Ternyata EIGER tidak sendiri, merek-merek fesyen besar seperti H&M, Uniqlo, dan Adidas juga berkomitmen untuk menjaga bumi melalui sustainablillity project-nya masing-masing. Dilansir dari Forbes, H&M memiliki target untuk hanya memakai bahan-bahan yang ramah lingkungan di 2030. Conscious collection yang dihadirkan oleh H&M memakai bahan katun organik dan recycled polyester. Adidas dengan strategi Own the Game yang mereka tujukan untuk sustainability. Juga ada Uniqlo yang sudah mulai membuka Re.Uniqlo Studio di kota besar seperti London untuk menggapai target penggunaan 50% bahan produksi yang bisa didaur ulang dalam produknya. 

Banyaknya merek-merek fesyen ternama yang tergerak untuk lebih memperhatikan akibat dari proses produksi mereka merupakan hal yang sudah dinantikan oleh bumi kita. Industri fast fashion ternyata menyumbang limbah air di dunia sebesar 20% dan juga merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia yaitu sebesar 10%. Angka ini bahkan melebihi industri aviasi yang hanya 2% saja. Bahkan sungai-sungai di Indonesia seperti Sungai Citarum telah teridentifikasi mengandung senyawa berbahaya seperti timah hitam. merkuri, arsenik, dan nonylphenol dari limbah industri fesyen (Fransiska et al., 2022). 

Dilansir dari The New York Times, semenjak dokumenter yang berjudul “The True Cost” rilis pada tahun 2015, masyarakat mulai sadar mengenai seberapa mahalnya lingkungan yang harus dikorbankan untuk industri fesyen.  Penelitian yang dilakukan oleh Mckinsey, menemukan bahwa 40% Gen Z dan milenial konsumen akan mempertimbangkan dampak lingkungan dari suatu produk sebelum mereka membelinya. 

Dalam artikel lain, The Japan Times memaparkan bahwa merek fashion kenamaan seperti Shein, H&M, Zara, dan Boohoo telah berulang kali mendapat protes dari konsumen, aktivis, bahkan media massa dan tokoh publik. Ini dikarenakan dampak buruk bagi lingkungan yang mereka timbulkan. Sementara itu, laporan demi laporan menunjukkan konsumen memberi perhatian lebih pada lingkungan ketika memutuskan untuk membeli produk fashion. Dalam suatu survei pada 2021, misalnya, dua pertiga konsumen Amerika Serikat mengatakan mereka akan membayar lebih untuk produk yang berkelanjutan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun