Jurnalis Bergeming
Adakah kebenaran di era ini, era ketika post-truth pun dilampaui, arti dan makna milik orang yang punya kuasa, bahkan jika ingin hidup, manusia berkompromi dengan yang berkuasa? Mungkin saja masih ada, ketika diam adalah salah satu jawabannya. Akan tetapi, tidak selamanya diam itu emas, ada saatnya kebenaran harus dikatakan meskipun tidak mengenakan. Memang demikianlah semestinya, kebenaran harus diungkapkan (Salam, 2024) meskipun bahaya kekerasan selalu menggeliat disebelah mereka yang melakukannya.
Kebenaran merupakan kebaikan tertinggi, demikian kata filsuf bernama Plato  (Taufik, 2018). Namun, kebenaran pun dapat menjadi penyebab keburukan paling pahit dan demikianlah yang terjadi pada keresahan yang sering dialami para jurnalis (Communication and Campaign Officer Tifa, 2025), yang terus mendapat ancaman kekerasan ketika berusaha mengungkap informasi faktual dan kebenaran kepada publik. Mereka kerap menjadi sasaran empuk berbagai model kekerasan dari oknum dan pihak berkuasa yang tidak ingin kebenaran dan informasi faktual diungkap ke publik.
Dengan mengkomparasi pendekatan kualitatif dan kuantitaif, data survei terkait indeks keselamatan jurnalis ditilik, guna mengkritisi kebebasan pers dan keselamatan jurnalis yang kian hari kian meresahkan. Cela dibalik nilai bagus pada indeks keselamatan jurnalis jangan dibiarkan bungkam. Generasi baru berpengaharapan pada yang sekarang, apabila saat ini bergeming pupuslah kebenaran.
Terpaksa Memilih Diam
Berdasarkan survei terhadap 760 jurnalis aktif di 38 provinsi Indonesia (Populix, 2024), didapatkan skor 60,5 untuk indeks keselamatan jurnalis 2024, yang menunjukkan kategori 'agak terlindungi'. Sayangnya, data yang tampaknya positif ini dibarengi sebuah ironi karena sekitar 56 persen jurnalis justru memilih lebih berhati-hati dalam membuat berita bahkan membuat sensor secara mandiri. Dari 432 jurnalis yang melakukan sensor mandiri, 37 persen melakukannya karena khawatir dengan keselamatan pribadinya, 57 persen menghindari kontravensi yang berlebihan dan 48 persen demi melindungi sumber informasi. Sementara itu, Â 17 persen menjawab karena pernah mendapatkan tekanan dari pihak tertentu dan dan 15 persen karena pemberitaan sebelumnya mendapatkan respon negatif., serta 3 persen karena alasan lainnya. Mirisnya lagi, bahkan 18 persen jurnalis mendapatkan kekerasan saat meliput aksi demokratis yang menjadi dasar dari semua kebebasan.
Bukan tanpa alasan  mengatakan bahwa kebenaran sungguh-sungguh dibungkam. Kebenaran lenyap bersama hilangnya kebebasan jurnalis untuk membuat berita yang lebih transparan tanpa sensor dan tanpa takut dikriminalisasi. Dari segala sisi mereka dibekap, bahkan 15 persen jurnalis pernah berurusan dengan UU menyusul pemberitaannya, sebuah kekonyolan bagi dunia jurnalis. Menurut Morissan (2010), berita merupakan referensi masyarakat untuk kebenaran yang terjadi di keseharian hidup mereka. Jika berita saja dibatasi, kemana lagi publik menemukan fakta dan kebenaran informasi. Melirik data yang ada, 39 persen jurnalis tidak dapat menayangkan berita yang telah ditulisnya karena sensor dan larangan (Populix, 2024).
Sejauh penggalian pengalaman, persepsi, dan dinamika di balik angka-angka, pengalaman beberapa jurnalis yang mengalami kekerasan seharusnya tidak bisa diabaikan. Berdasarkan data hasil wawancara mendalam dengan beberapa jurnalis, kejadian tahun 2024 tetap memperlihatkan berbagai faktor penyebab kecemasan pada jurnalis, bentuk kekerasan yang dialami, serta tantangan dalam praktik jurnalistik sehari-hari yang memprihatinkan.
167 jurnalis mengalami kekerasan di tahun 2024. 118 jurnalis laki-laki dan 49 jurnalis perempuan.
Dalam kategori umur: jurnalis generasi X 40 orang, Â jurnalis generasi Millennial 90 orang, dan jurnalis generasi Z 30 orang.
Bentuk Kekerasan