Hermeneutika filosofis pada awalnya dimulai oleh Heidegger dan kemudian dilanjutkan oleh Gadamer. Hermeneutika filosofis dalam pemikiran mereka bukan sekadar persoalan metode memahami ilmu-ilmu kemanusiaan melainkan tentang pemahaman atas eksistensi manusia sendiri sebagai Dasein. Heidegger dan Gadamer sangat menekankan dimensi ontologis pemahaman dalam hermeneutika mereka (1). Bagi mereka, hermeneutika merupakan kondisi asali seorang manusia sekaligus cara berada seorang manusia. Seorang manusia sudah selalu dan harus melakukan sebuah tindakan hermeneutis dalam hidupnya. Berhermeneutika secara konsekuen memperlihatkan secara jelas kenyataan bahwa seseorang hidup dan menghayati keberadaannya.
Hermeneutika filosofis menurut Gadamer juga bukan sebagai suatu metode berfilsafat, melainkan kesadaran estetis berfilsafat dari fenomena pemahaman. Hermeneutika tidak pertama-tama menetapkan otomatisasi gejala, proses dan hasil. Dimensi estetis pun bukan dalam sebuah konsep bahwa penafsir menampakkan yang ingin dinilai indah dan menyenangkan. Dimensi estetis yang dimunculkan lebih pada sebuah proses menangkap fenomen dan proses menafsir yang dialektis. Pemahaman bukanlah aktivitas sadar pada pilihan manusia ketika menghadapi teks tetapi respon atau interpretasi dari pengalaman dalam horizonnya, bersifat historis, menurut dunia masing-masing yakni dunia teks, dunia pengarang, dan dunia pembaca yang penuh dengan prasangka.Â
Oleh karena itu, dasar penafsiran adalah sifat kekinian yang diwariskan tradisi. Dalam hal ini, proses pemahaman selalu berlangsung terus menerus, bersifat dinamis, dan kontekstual. Proses pemahaman tidak pernah membunuh kreativitas berpikir. Artinya, orang yang memahami secara niscaya memunculkan sebuah ide dan pemikiran baru. Proses pemahaman membuat orang menembus batas cakrawala lamanya dan menciptakan cakrawala baru yang juga selalu berkemungkinan untuk bertambah dan berubah.Â
Dalam sebuah proses hermeneutis, memahami makna merupakan kerja produktif melalui perjalanan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Pemahaman merupakan sebuah upaya bersifat produktif yang dilakukan secara dialektik (2). Interpretasi dan penemuan makna baru merupakan keniscayaan dan keharusan. Interpretasi tentu dalam asas yang sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan. Interpretasi yang dihasilkan selalu bisa dijelaskan secara argumentatif bahkan kausal, terlebih atas pemaknaan baru yang diperoleh oleh seorang penafsir.Â
Dalam konteks ini, hermeneutika bukan ilmu atau kumpulan aturan untuk menafsir teks atau pun metodologi untuk ilmu-ilmu manusia melainkan uraian fenomenologis eksistensi manusia. Apabila merunut kembali ke Heidegger, ia mengatakan bahwa pemahaman dan penafsiran merupakan modus dasariah keberadaan manusia. Hermeneutika ontologis Heidegger dalam fenomenologi Dasein memperluas baik isi maupun metode pemahaman. Dengan demikian, menurut Heidegger, mengerti harus dipahami sebagai sikap dasar eksistensi manusia. Mengerti menyangkut seluruh pengalaman manusia (3).Â
Gadamer kemudian membahas runutan sejarah perkembangan hermeneutika, menghubungkan hermeneutika dengan estetika dan mencetuskan filsafat pemahaman historis. Â Menurut Gadamer pemahaman secara hakiki bersifat historis. Baginya, baik sejarah penafsir maupun sejarah gejala yang ditafsirkan perlu diambil serius dalam peristiwa pemahaman. Sebagaimana Heidegger, Gadamer menganggap "Ada", "sejarah" dan "bahasa" saling merasuki.Â
Menurut Gadamer, pemahaman bukan tindakan subjek yang bebas dari segala prasangka dan praduga ketika berhadapan dengan objek yang bersifat eksternal terhadap subjek. Pemahaman dengan demikian tertuju pada realitas di dalam diri dan realitas di luar diri. Ada kondisi yang tidak bisa hilang dalam hermeneutika yakni menduga dan menyangka. Dugaan dan sangkaan secara filosofis menyentuh kesadaran bahwa realitas selalu berubah. Secara personal, seorang penafsir menyadari bahwa dirinya pun senantiasa mengalami perubahan. Perubahan merupakan sebuah kondisi yang secara sadar atau pun tidak sadar melekat pada diri manusia. Kesadaran yang sama pun dapat ditempelkan pada objek atau realitas di luar subjek, bahwa perubahan merupakan sebuah kondisi stabil yang melekat pada fenomena.Â
Pemahaman yang melibatkan proses penafsiran selalu berangkat dari prasangka dan praduga subjek penafsir berhadapan dengan apa yang mau ditafsirkan dan dipahami. Pemahaman dapat diartikan sebagai penempatan diri subjek sebagai penafsir dalam arus tradisi diri dan tradisi apa yang mau dipahami sehingga terjadi fusi horizon keduanya yang bersifat dinamis. Oleh karena itu, selalu ada kemungkinan timbulnya pemaknaan baru yang dapat diperoleh oleh seorang penafsir dalam proses dialektis yang dinamis bahkan estetis. Kondisi subjek pun turut menjadi bagian yang integral dalam menafsirkan objek-objek yang menjadi kajian seorang penafsir.
Dalam hal ini, horizon penafsir mengalami transformasi terus-menerus melalui pengujian prasangka dan praduganya terhadap gejala, peristiwa dan teks yang mau dipahami. Horizon penafsir tidak hanya situasi konkret saat menafsirkan, tetapi juga akar tradisi dan keterbukaan ke depan. Berhadapan dengan gejala yang mau dipahami, penafsir perlu terbuka terhadap pelbagai kemungkinan makna dan membiarkan pradugaannya dan prasangkanya dikoreksi. Sikap yang perlu disiapkan dan miliki penafsir adalah terbuka dan kritis. Semua asumsi tentu sangat penting untuk menduga dan menanggapi hasil tetapi adanya hasil yang sangat berbeda merupakan fakta yang siap diterima oleh penafsir.Â
Demikian juga horizon gejala, peristiwa, dan teks yang ditafsirkan dan mau dipahami mengalami transformasi seiring proses dan peristiwa pemahaman. Proses pemahaman adalah proses terjadinya fusi horizon keduanya. Kesadaran akan efektivitas sejarah sebagaimana tercermin dalam tradisi, berperan penting dalam proses pemahaman. Fakta sejarah yang ditampilkan bagaimanapun menampakkan diri juga dan telah mengalami nuansa berbeda. Tentu catatan yang juga harus diperhatikan bahwa sejarah dan bahkan teks diciptakan oleh yang berkuasa dan berkepentingan pada zamannya. Meski demikian, tradisi yang menyertai yang dapat dilihat dalam realitas masyarakat juga menunjukkan bahwa kebenaran faktual yang dapat dilihat tidak bisa diabaikan.
Makna teks, gejala, dan peristiwa yang mau ditafsirkan dengan demikian tidak dapat dilepaskan dari situasi historis sang penafsir. Penafsir dalam hermeneutika filosofis Gadamer mendapatkan perhatian khusus. Subyektivitas penafsir baginya menjadi bagian integral dari proses penafsiran yang turut menentukan hasil penafsiran. Latar belakang penafsir, kemampuan intelektual, kualitas emosional dan situasi dari penafsir menjadi hal-hal yang tidak bisa diabaikan. Dalam hal ini, semua unsur yang diperhitungkan memperkuat objektivitas tafsiran  sehingga lebih dapat diandalkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.