Mohon tunggu...
Senobius Mbasu
Senobius Mbasu Mohon Tunggu... "Menulis adalah bagian dari keindahan"

"Biarlah Orang Bijak Mendengar dan Menambah Ilmu, dan Orang yang Berpengertian Memperoleh Bahan Pertimbangan." (Amsal 1:5)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengajar dengan Cinta, Tanpa Angka di Rekening

14 Juni 2025   07:02 Diperbarui: 14 Juni 2025   07:18 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar Ibu Dina (Gambar: Sahabat Belajar)

     Pagi itu, seperti biasa, langkahnya ringan menuju sekolah. Sepatu sudah mulai usang, tapi semangatnya tetap baru. Di tangan kirinya, tergenggam erat lembaran RPP yang dicetak beberapa minggu lalu sampai tinta printer pun sudah nyaris tak terlihat. Tapi ia hafal betul isi setiap barisnya. Ia tidak butuh melihat, karena ia mengajar dengan hati.

    Namanya Ibu Dina (bukan nama sebenarnya), seorang guru honorer di sebuah SD negeri kecil di pinggiran kota. Sudah lima bulan ini, dan kini memasuki bulan keenam, honor tak kunjung turun. 

Ia adalah satu dari ribuan guru honorer di negeri ini. Mereka yang kerap disebut "pahlawan tanpa tanda jasa." Sebutan yang indah, tapi terkadang begitu menyakitkan karena hanya berhenti di pujian, bukan pada pemenuhan hak.

     Beberapa teman sejawat mulai memilih pekerjaan lain untuk mengganjal perekonomian keluarga; ada yang mengojek, harian petik kopi, dan ada yang membantu usaha keluarga. Tapi Ibu Dina masih bertahan di kelas kecilnya, bersama puluhan pasang mata yang penuh harap.

     "Bu, nanti siang ajari aku baca ya. Aku pengen bisa kayak Kakak di kelas tiga," ucap Mia, siswi kelas satu, sambil memeluk tas lusuhnya. Ibu Dina tersenyum. Senyuman itu tulus, meski di baliknya ada rasa lelah yang tak pernah benar-benar bisa ditidurkan.

   Di rumah, beras mulai menipis. Uang kontrakan sudah lima bulan tertunggak. Suami hanya buruh lepas, dan anak-anak tak mengerti mengapa hari ini lauknya hanya garam dan nasi. Tapi di sekolah, Ibu Dina adalah pahlawan kecil yang tak pernah absen. Ia hadir bukan karena digaji, tapi karena ada suara di hatinya yang terus berkata: "Jangan tinggalkan anak-anak itu."

    Mengajar tanpa bayaran atau upah di bawah UMR  bukan hal baru bagi banyak guru honorer di negeri ini. Namun tetap saja, rasanya tak pernah wajar. Sebab meski pengabdian adalah panggilan jiwa, perut tetap butuh isi, dan anak tetap butuh sekolah, seragam, dan sepatu.

Ada yang bilang guru itu seperti pelita di tengah malam. Tapi pelita pun butuh minyak, bukan?

    Ibu Dina tidak minta disanjung. Ia hanya ingin dihargai. Bukan dalam bentuk pujian di mimbar upacara, tapi dalam wujud paling nyata: haknya sebagai guru dibayarkan tepat waktu. Karena dedikasi tak seharusnya diuji dengan kelalaian birokrasi.

"Apakah cinta mengajar harus selalu diuji dengan perut yang lapar?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun